Asas Kekeluargaan atau Senioritas? Mana Yang Layak Kita Budayakan?

Sebagian dari pembaca pasti pernah mendengar istilah ini. Bahkan mungkin juga pernah melihat atau merasakanya. Terutama bagi mereka yang aktif mengikuti proses pengkaderan lembaga atau saat penerimaan mahasiswa baru.

Tahukah apa perbedaannya?

Menurut KBBI “ senioritas/se·ni·o·ri·tas/ /sénioritas/ n 1 perihal senior; 2 keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman, dan usia; 3 prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja”

Sementara kekeluargaan atau keluar menurut  KBBI ialah “keluarga/ke·lu·ar·ga/ n 1 ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah: seluruh — nya pindah ke Bandung; 2 orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih: ia pindah ke Jakarta bersama — nya; 3 (kaum — ) sanak saudara; kaum kerabat: ia sering berkunjung ke Jakarta karena banyak — nya tinggal di sana; 4 satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat dari arti di atas “.

Keduanya nampak berbeda, Senioritas menimbulkan rasa takut kepada senior sementara kekeluargaan menimbulkan keakraban bagai sebuah keluarga

Kedua konsep ini sering dijadikan asas dalam melakukan proses pengkaderan. Dimana penulis yang justru sering dapati ialah konsep pengkaderan yang menggunakan asas Senioritas

Apalagi bagi teman-teman yang berstatus Mahasiswa Baru, pasti paling sering mengalaminya. Meski tidak semua namun banyak oknum senior sering menindas dengan cara-cara yang menurut mereka benar. Dalih mereka bila tidak berbuat demikian “ Maba akan pandang enteng ”, “maba tidak menghargai seniornya”, dsb.

Tetapi menurut saya konsep seperti ini justru menciptakan rasa segan yang semu. Bahkan melatih mental munafik junior kita. Karena junior hanya segan bila di depan seniornya tetapi di belakang belum tentu.

Namun bila yang kita aplikasikan ialah asas kekeluargaan maka kita akan membentuk ikatan yang kuat antara diri kita dan junior kita. Menjadi sebuah keluarga baru. Senior tidak lain ialah kakak bagi kita dan junior tidak lain adalah adik kita sendiri.

Saya percaya jika hal ini diterapkan dalam kehidupan kampus kita, maka akan semakin banyak keluarga-keluarga baru tercipta. Sebab kita satu almamater yang sama, maka kita satu keluarga.


Diterbitkan

dalam

oleh