Malam itu, sekitar pukul 4 dini hari, Arini terbangun untuk minta diantarkan kekamar mandi oleh ibunya, dengan tangan kiri yang masih tersambung dengan selang infus, membuatnya kerepotan ketika hendak kekamar kecil.
Arini masih saja tak mampu memejamkan matanya, perut yang terasa seakan diperas membuat tubuhnya basah menahan sakit, terlebih lagi hawa rumah sakit yang membuatnya tidak tenang. Ditatapnya wajah ibunda yang terbaring lelah tepat disebelahnya. Arini memaksakan matanya untuk dapat terpejam, namun rasa sakit itu membuat mata Arini tetap terjaga,meski rasa kantuk terus mengelayuti kelopak matanya.
“Arini, kamu harus banyak minum air nak… biar trombositmu cepat kembali normal” kata-kata ibu tertata manis di ingatannya, “huh… ini pasti karna aku sering minum, jadi buang air terus dan tidak bisa tidur. Lagi pula kemungkinan besar perutku sakit ini karena mag ku yang kambuh akibat penyakit tipus yang kuderita…hum….” Bisik Arini dalam hati.
Ditariknya selimut yang telah merosot kebawah hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya, Arini menahan dingin yang mulai terasa mengerogoti setiap baris tulangnya.
“makanya mama itu kalau siang jangan terlalu banyak makan, baukan jadinya” ujar anak itu sembari menganti popok ibu disebelah kanan tempat tidur Arini.
Serrr…. Bulu kuduk Arini berdiri. Arini terus memasang telinga kelincinya seakan menjaga jarak pada predator yang siap memangsa.
“coba bediri dulu. Berat itu lo…”dengan suara membentak,kembali suara itu masuk ditengah-tengah kesunyian rumah sakit.
DUP… jantung Arini tak memiliki irama.
“Astagfirullah, setega itukah, paling tidak dia tau kalau ibunya tidak mampu berdiri karena asam urat yang dideritanya serta penyakit gula yang mengerogoti kakinya”gumam Arini, sembari perpura-pura tertidur pulas.
Terlintas dipikirannya seseorang yang sedang tertidur pulas disampingnya. “akankah?” tidak, “betapa durhakanya diriku jika kuperlakukan wanita yang setia menjagaku, mendampingiku, tidak hanya ketika kebahagiaan menghampiriku, namun ketika masa-masa kritisku, dan ketika didunia ini tak satupun manusia yang menaruh kepercayaan kepadaku, maka ia ada dengan sejuta cinta, kebahagiaan,kepercayaan dan motivasi yang siap membangunkanku kembali dari keterpurukanku. Ibu” ujar Arini pada dirinya sendiri.
“sudah! Tidur sana! Mama tau, mama itu Cuma bisanya bikin susah saja.” Pria itu, anak bungsu dari ibu disamping ranjang Arini, kembali mengeluarkan suara kerasnya yang seakan menyayat hati sang ibu.
Seusai pria itu mengantikan popok sang ibu, pria itu membaringkan tubuhnya dibawah tempat tidur ibunya, yang telah terhampar tikat untuk pengalas agar dingin lantai rumah sakit tak merasuk dalam tubuhnya. Mata Arini melirik sembari menyimpitkan sedikit kelopaknya agar tak nampak bahwa ia sedang memperhatikan kejadian itu.
Fikiran Arini ikut mengalir dengan laju aliran infus yang telah diset agar pasien mendapatkan cairan yang cukup. Isak tangis perlahan memasuki gendang telinga Arini, ditengoknya kepala yang sedari tadi memperhatikan teteasan cairan infus yang masuk ketubuhnya.
“Ibu itu… menangis?”
“huhuhu… tenganya….” Suara itu melemah, hingga hampir tak terdengar.
Dup… beku.
***
Sinar mentari pagi menembus ventilasi jendela yang tepat berada di atas kepala Arini. Arini terbangun. Wajah ibundanya yang pertama kali terlihat diufuk mata Arini.
“Ibu….”
“makan dulu sayang, baru minum obat” senyum indah ibu memberikan kekuatan tersendiri pada tubuh lemah Arini, bak Handphone yang kembali tersisi full.
Arini menganguk lemah. Berusaha ditegakkannya tubuh yang lunglai. Sesuap nasi mengisi dan membasahi tenggorokannya. Mata Arini melirik kesamping ranjangnya. Anak itu belum juga bangun dan menyuapi ibunya dengan makanan yang diberikan rumah sakit, sementara sang ibu hanya dapat terbaring lemah.
Ingatan Arini seketika terpurar kebelang bak VCD yang sedang mencari lagu pada deretan daftar lagu. Sewaktu ibu yang memiliki penyakit gula dan asam urat itu bercerita sedikit tentang hidupnya dan keluarganya kepada ibuku, yang kebetulan satu suku dengannya.
Ibu itu memiliki tiga anak,anak pertamanya tidak lagi perduli padanya setelah ia memiliki istri yang hanya bisa berdandan, meski rumah ibu itu dan anak pertamanya hanya berbataskan dinding. Anak kedua ibu ini ada di jawa, beberapa hari lalu ia datang dan menjaga serta merawat ibunya, namun karena pekerjan yang menuntutnya untuk kembali dan tak dapat berlama-lama tinggal serta merawat ibunya dirumah sakit, hingga ia harus meninggalkan ibunya dan memberikan sejumlah uang untuk biaya hidup ibu itu. Sedang anak bungsunya sendiri, yang kini bersamanya telah bekerja menjadi seorang polisi. Dengan wajah berseri-seri ibu itu menceritakan sederet kejadian yang dialaminya kepada ibuku, bahkan tak ada perasaan yang mengganjal ketika ibu itu mengucapkan kalimat-demi kalimat yang menyebutkan pekerjaan anak-anaknya yang terbilang cukup mapan.
Tak terasa bubur yang ada dimangkuk telah habis dan kini menjadi penghuni perut Arini.
Ibu menyodorkan segelas air minum untuk melegakan haus yang dirasakan Arini, namun karena rasa pahit yang kerap menempel pada setiap jengkal lidah Arini membuatnya tak ingin menegak air putih itu, bahkan sesekali ketika Arini hendak memasukkan setegak air kedalam tenggorokannya Arini harus membarenginya dengan meminum madu.
Usai menyantap sarapan paginya Arini kembali membaringkan tubuhnya,tubuhnya yang lemah tak mampu berlama-lama duduk.
Anak itu msih juga belum terbangun.
Sekitar 10 menit usai Arini melahap habis buburnya, handphone pria itu berdering. Diangkatnya handphone yang suaranya memenuhi ruangan kamar Arini.
Nampak wajah bingung mulai memenuhi setiap lengkung wajah pria itu. Pria itu memutuskan obrolan dari seberang sana.
“ma…Bapak jatuh dari atap rumah”
Mata Arini menatap tajam wajah ibu itu. Raut wajah yang seakan bercampur antara menahan sakit dan sedih.
“Mbak, bagaimana kalu aku pulang saja ya….” Ujar ibu itu dengan dialeg jawanya yang kental. Mata sayupnya mengarah tepat pada mata ibu.
Kepala Arini kembali menatap ibunya, menanti jawaban. Kini kepala Arini bak seporter badminton sedang menikmati pertandingan yang sedang berlangsung. Ibu Arini tidak memperbolehkan ibu itu untuk pulang dengan alasan kondisi kakinya yang sangat memprihatinkan. Namun ibu itu berkesikeras, hingga ketika waktu kunjungan dokter, ibu itu berusaha memohon dan meyakinkan dokter bahwa iya dapat menjalaninya sendiri. Berbagai pertimbangan di sampaikannya mulai dari tidak ada yang mau menjaganya dirumah sakit karena anak bungsunya akan berangkat lagi untuk bertugas ,hingga alasan suaminya jatuh dari genting rumah. Akhirnya dengan berat hati dokter memperbolehkan ibu penderita penyakit gula itu untuk pulang.
***
Sekitar jam 4 sore Arini yang ditemani oleh ibunya menganti baju dan membasuh sebagian tubuhnya, agar lebih terasa segar.
Sore itu, anak bungsu dari ibu itu harus kembali untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang polisi. Sang ibu dengan tenang menanti datangnya malam dan ia akan segera kembali ketempat yang amat nyaman, Rumah.
Menanti detik demi detik kepulangannya, yang akan dijemput oleh anak sulung beserta istrinya. Membuatnya gelisah. Beberapa kali ia meminta ibu Arini untuk menghubungi nonor telefon rumah anaknya, namun tak ada jawaban.
***
Ibu itu nampak kesulitan membuka popoknya, sedang menentunya hanya melihat ibu yang sedang memerlukan bantuan itu dengan tatapan sinis.” Andai saja tubuh ini mampu berlama-lama menapak ditanah pastilah kubantu ibu itu”pikir Arini. Arini meluncurkan tatapan sinisnya kepada wanita yang seakan tak memiliki hati itu.
Ibu itu dengan wajah bahagianya bak burung yang terlapas dari sangkarnya ,barpamitan pada kami penghuni kamar seroja nomor 3 wanita, seakan memberikan energi positif pada kami.