Kurang dari sebulan lagi, Universitas Tadulako akan menggelar pemilihan rektor. tiga calon yaitu Dr. Supriadi S.H. M.Hum, Prof. Dr. Ir. Muhammad Basir M.Si, dan Dr Syahruddin Hattab M Si, akan bertarung dengan masing-masing keunggulan dan pengalaman yang dimiliki, untuk menjadi nahkoda kampus bumi Tadulako periode 2015-2019. Segudang harapan dialamatkan kepada para calon rektor ini untuk makin menjadikan UNTAD sejajar dengan universitas-universitas maju di Indonesia.
Berbagai kemajuan telah tertoreh dalam perjalanan kampus yang telah berusia 33 tahun ini. Kemajuan tersebut nampak dari pembangunan terutama pembangunan fisik kampus yang semakin hari semakin jelas perkembangannya. Universitas Tadulako memiliki berbagai bangunan baru dengan arsitektur yang indah seperti gedung Media Center dan Research Center, gedung Rektorat baru, sekretariat bersama lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas dan fakultas, gedung perkuliahan baru, dan masih banyak lagi.
Universitas Tadulako pun kelihatan lebih bersih dan indah setelah tidak ada lagi hewan ternak yang berkeliaran, penataan taman kampus yang menjadi saat ini menjadi ikon baru, dan adanya petugas kebersihan yang selalu menjaga kebersihan kampus. Semua itu adalah bukti bahwa UNTAD sedang berbenah dan terus berbenah untuk mensejajarkan diri dengan kampus-kampus yang terkategori sebagai “kampus maju”. Hal ini tentu saja menjadi spirit tersendiri bagi seluruh civitas akademik di lingkungan Universitas Tadulako untuk berperan aktif dalam proses tersebut.
Berbagai torehan tersebut tentunya tidak akan dapat dicapai tanpa usaha dan kerja keras dari semua pihak. 33 tahun proses transformasi tersebut bukanlah sebuah catatan waktu yang singkat. Ada berbagai cerita tentang kesuksesan dan kegagalan tergambar jelas di dalamnya.
Namun, di balik segala torehan positif tersebut, Universitas Tadulako bukannya tanpa cela. Berbagai permasalahan kronis yang semakin membudaya, menggerogoti integritas institusi pendidikan ini sebagai “rumah” tempat menempa diri dengan pengalaman, idealisme, dan pengetahuan. Permasalahan-permasalahan ini sudah sedemikian terstruktur, sistematis, dan masif.
Kita mulai dengan pembangunan fisik yang gencar dilakukan namun nampaknya belum merata dan beriringan dengan pemenuhan sarana dan prasarana. Contoh kecil yang dapat kita lihat adalah masih banyak ruangan yang tidak memenuhi syarat untuk menggelar perkuliahan, wc yang tidak layak pakai, ketersediaan air, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang seperti kursi dan proyektor, tidak adanya aliran listrik di beberapa titik, dan lain-lain. Kenyataan ini kemudian memunculkan istilah bahwa “UNTAD hanya bagus jika dilihat dari depannya saja”.
Permasalahan tidak hanya sampai di situ saja. Kualitas pendidikan yang diterima juga masih dapat dipertanyakan. Tenaga pengajar (dosen) dengan mudah menginstruksikan kepada mahasisiwa untuk mencari materi kuliahnya lewat internet ketimbang mencari di buku. Dampaknya pun terlihat jelas dengan rendahnya minta baca mahasiswa dan lengangnya aktivitas mahasiswa di perpustakaan baik di tingkat universitas maupun fakultas. Ibarat kata, dari seribu orang, hanya satu orang yang terinfeksi virus baca tersebut. Kebutuhan akan referensi juga menjadi semakin sulit dengan tidak adanya toko buku yang memadai. Jadi, jangan heran jika praktik copy-paste dan plagiat masih menjadi “andalan” mahasiswa untuk mengerjakan tugas kuliah, bahkan sampai mengerjakan tugas akhir.
Kualitas pendidikan menentukan mental si pengenyam pendidikan. Jika kualitas pendidikannya rendah, maka jangan berharap mental mahasiswanya akan baik. Parahnya, hal ini seakan dipelihara bahkan dibiarkan membudaya di lingkungan kampus. Praktik copy-paste, plagiat dan pembuatan skripsi oleh pihak ketiga sudah sedemikian terstruktur, sistematis, dan masif sehingga jaringannya sudah seperti jaringan sindikat mafia yang memiliki impunitas dan seakan tak tersentuh.
Kemudian, masalah yang sampai saat ini masih hangat diperbicangkan adalah mengenai tradisi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Tadulako. Tradisi yang sudah berumur puluhan tahun tersebut merupakan sarana recruitment mahasiswa baru yang bertujuan untuk mengelola mental dan membentuk karakter mahasiswa baru, serta menginternalisasikan pengetahuan-pengetahuan dasar, kesadaran baru, agar mereka siap menjadi agen perubahan.
Namun niat baik tidak selalu diaktualisasikan dengan cara yang baik. Sebagian besar proses integrasi tersebut masih bernuansa perpeloncoan, yang di dalamnya dapat saja terjadi kekerasan baik fisik maupun mental. Dalih membentuk karakter yang “tahan banting”, tradisi yang sudah berumur puluhan tahun, hingga cara efektif membentuk karakter menjadi alasan ampuh untuk menghalalkan dan memuluskan prosesi tersebut.
Permasalahan-permasalahan seperti ini mungkin saja dipandang sepele atau malah diacuhkan oleh banyak pihak. Namun, kerikil-kerikil kecil ini bisa saja membuat sebuah kendaraan besar terjungkal masuk ke dalam jurang. Buat apa nampak fisiknya bagus jika kualitas pendidikan dan mental civitas akademiknya masih rendah? Ibarat seorang wanita, ia hanya cantik karena make up, bukan aura kecantikan yang lahir dari dalam diri.
Kepada para bakal calon rektor yang akan bertarung nanti, kami menitipkan permasalahan-permasalahan ini untuk segera dicarikan solusi dan jalan keluar terbaik. Kami bangga dengan UNTAD yang sekarang, tapi kami akan lebih bangga lagi jika kampus ini mampu membebaskan diri dari permasalahan-permasalahan di atas. Untuk itu kita butuh sosok pemimpin baru yang berani mengambil sikap untuk menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut.
Besar harapan kami bahwa siapapun rektor terpilih nanti dapat menjawab semua permasalahan tersebut dan menjadikan wajah UNTAD tidak hanya cantik dengan berbagai riasan tetapi cantik dengan aura yang terpancar dari dalam. Kami tidak butuh lagi janji-janji tapi bukti nyata karena janji hanya tinggal janji dan bukti semakin jauh panggang dari api.
Tinggalkan Balasan