Cerita Menjadi Mahasiswa Universitas Tadulako

Sudah lima tahun saya kuliah di Universitas Tadulako (UNTAD), universitas yang membuat saya jatuh cinta karena keindahan bangunannya dan statusnya sebagai salah satu universitas negeri. Untuk masuk menjadi mahasiswa di universitas ini tidaklah mudah karena di setiap penerimaan mahasiswa baru, universitas ini diserbu oleh banyak pendaftar. Sulitnya menjadi mahasiswa di universitas ini memunculkan istilah bahwa peluang untuk masuk tergantung garis tangan seseorang.

Kemegahan bangunan dan kebersihan lingkungan UNTAD harus kita akui saat ini. Taman-tamannya yang indah dan tertata rapi seringkali dijadikan tempat hunting foto bagi para mahasiswa untuk sekedar dijadikan foto profil di akun facebook atau twitter. Menurutku, untuk menciptakan suasana kampus yang indah tersebut, tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun saya tidak mengetahui dari mana sumber pembiayaannya, saya yakin bahwa setiap mahasiswa punya andil dalam pembangunan tersebut.

Kemegahan dan keindahan kampus ini tidak serta merta mencitrakan bahwa kampus ini tidak memiliki kekurangan. Sejak awal masuk kuliah, saya benar-benar merasakan bagaimana kekurangan dalam hal fasilitas belajar terutama perpustakaan di kampus ini. Sulit ditemukan buku-buku baru yang dapat menunjang pengembangan intelektual civitas akademiknya.

Untuk menyiasatinya, mahasiswa harus rajin mencari referensi di luar kampus seperti di toko-toko buku atau memesan ke luar daerah. Alternatif lainnya adalah mencari referensi di internet via google, wikipedia, dan lain-lain. Cara ini memang lebih praktis dan mudah diakses namun jika dilakukan secara terus menerus, berpotensi mematikan daya nalar dan kreativitas mahasiswa. Mahasiswa kemudian hanya akan menjadi generasi copy-paste dan plagiator. Jika sudah seperti ini maka tidak heran jika banyak mahasiswa akhirnya tidak punya keinginan untuk mengembangkan dirinya.

Keterbatasan referensi ini acapkali diperparah dengan metode mengajar para dosen, terutama di fakultasku. Para dosen “selalu” menggunakan metode ceramah yang divariasikan dengan metode kerja kelompok. Keterbatasan metode ini bukan karena miskin inovasi, tetapi lebih disebabkan oleh faktor keterbatasan waktu mengajar dan keengganan dari dosen itu sendiri.

Saat metode mengajar dari dosen tidak dapat terlalu diharapkan, mahasiswa juga dihinggapi penyakit “malas membaca”. Sebagian mahasiswa jika ditanyakan berapa banyak buku dibaca selama ia kuliah, jawaban mereka pasti tidak lebih dari 10 buku, itupun buku-buku yang dipaksa oleh dosen atau buku yang dipakai untuk mengerjakan tugas kuliah.

Maka menurutku, menjadi wajar jika mahasiswa UNTAD tidak dapat menemukenali dan memahami berbagai problem yang dihadapinya di kampus, maupun di luar kampus. Masalah yang paling wajib ditemukenali oleh mahasisiwa adalah kepekaan terhadap kondisi negeri ini. Mahasiswa harusnya mengerti dan memahami masalah konkrit negaranya misalnya masalah sipil-politik dan ekonomi-sosial-budaya. ini wajib diketahui oleh semua mahasiswa, karena mahasiswa adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa kedepannya.

 

Masalah mutu pendidikan di atas adalah salah satu dari berbagai masalah yang ada di kampus tercinta ini. Masalah yang juga seringkali menjadi sorotan adalah uang kuliah (baca: SPP) yang semakin hari semakin dirasa “mencekik leher”. Bagi sebagian orang, UNTAD dianggap “diskriminatif” dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Menurut mereka, masyarakat yang ekonominya masuk kategori menengah ke bawah kesulitan untuk masuk ke UNTAD. Kesulitan ini menjadi pemicu munculnya istilah “orang miskin dilarang kuliah”. Masalah seperti ini tidak hanya terjadi di UNTAD tapi juga terjadi pada kampus-kampus lainnya di Indonesia.

 

Biaya SPP di UNTAD merangkak naik dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010, SPP masih berkisar Rp. 500.000-Rp. 600.000/ semester. Pada tahun 2011, naik menjadi Rp. 850.000-Rp. 950.000/semester. Pada tahun 2012 naik drastis menembus angka Rp. 1.800.000-1.900.000/ semester. Pada tahun 2013, SPP diturunkan menjadi Rp.1.600.000-Rp1.700.000/semester. Melihat kenyataan ini, saya jadi ingat bahwa ada benarnya apa yang dikatakan oleh Max Weber ahli ekonomi dan sosiolog asal jerman yang menekankan agar setiap orang harus rajin menabung dan irit. Hal tersebut ia tegaskan dalamkaryanya yang paling populer yaitu Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. teori inilah yang bersama teori kapitalisme Adam Smith dan David Ricardo, didapuk sebagai tonggak awal kapitalisme dan digunakan untuk melumpuhkan kesadaran kritis masyarakat.

 

Masalah ini merupakan masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan biaya pendidikan yang semakin melangit, ada kemungkinan bahwa kedepannya, akan semakin banyak generasi muda yang tidak mampu mengecap “manisnya” pendidikan tinggi. Akibatnya, mereka akan terkonsentrasi di sektor non pendidikan dan besar kemungkinan menjadi pengangguran, sebagaimana dapat dilihat pada jumlah pekerja di sektor pertanian yang masih cukup tinggi yakni mencapai 8,4 juta (data BPS 2011). Ini belum termasuk jumlah kaum miskin perkotaaan secara nasional di Indonesia.

Sebagian besar masyarakat yang berpola pikir sederhana masih menganggap persoalan ini adalah takdir yang digariskan oleh sang pencipta, padahal pendidikan seyogyanya merupakan tanggung jawab negara. Negara semestinya memberikan pelayanan pendidikan secara murah bahkan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi.

 

Jika mencermati kondisi pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga saat ini, kita dapat melihat bahwa arah pendidikan kita telah menuju pada komersialisasi dan industrialisasi pendidikan. Pendidikan hanya jadi ladang bagi kelompok elit politik dan pemilik modal untuk meraup keuntungan. Bukti nyata yang bisa kita lihat adalah saat pemerintahan SBY-Boediono yang menetapkan Undang-Undang Perguruan Tinggi (UUPT) yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui sidang paripurna pada tanggal 13 Juli 2012.

Melalui undang-undang tersebut, pemerintah kita telah membuat pendidikan di Indonesia menjadi sangat komersil. Konsekuensi yang harus kita terima adalah setiap perguruan tinggi berhak untuk menentukan kebijakannya sendiri-sendiri termasuk terkait pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dan negara seolah telah melepaskan tanggung jawabnya.

Sederhananya, aturan tersebut “mengharuskan” setiap warga negara untuk mengurusi dirinya sendiri. Para orang tua harus bekerja lebih keras membanting tulang jika ingin anaknya mendapatkan pendidikan. Itu sudah menjadi hukum besi, di mana semua orang mesti berusaha memberikan hasil kerjanya, untuk mendapatkan apa yang ia mau.

Mahalnya biaya SPP ini berbanding lurus dengan penerapan batas masa studi. Masa studi maksimal yang semula ditetapkan tujuh tahun, dipangkas menjadi hanya lima tahun. Jika lewat dari batasan tersebut, maka mahasiswa dapat dikeluarkan dengan alasan masa kuliah telah melewati batas waktu yang ditentukan. Jika kita mencermati lebih jauh, sebenarnya aturan terkait masa studi tersebut diberlakukan agar kuota mahasiswa baru setiap tahunnya akan bertambah seiring dengan banyaknya lulusan/keluaran yang muncul setiap tahunnya. Jika jumlah mahasiswa yang masuk dan lulus tidak seimbang, maka akan ada hambatan pada kuota mahasiswa baru. Ini berdampak pada pemasukan kampus tentunya.

 

Dengan kondisi seperti saat ini, nampaknya kita harus melupakan “janji” jaminan pendidikan gratis yang dijamin dalam semangat tujuan bernegara seperti dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Saat ini, semuanya terkesan jauh panggang dari api dan seakan tidak akan pernah terwujud. Apalagi dengan disahkannya UUPT, harapan kita semua untuk memperoleh pendidikan tinggi secara murah bahkan cuma-cuma itu mungkin hanya akan menjadi mimpi yang utopis.

 

Mengapa dikatakan hanya tinggal mimpi? Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 73 UUPT tentang penerimaan mahasiswa baru, di mana ada kemungkinan terjadinya “transaksi” dalam penerimaan mahasiswa baru, selain penerimaan mahasiswa baru secara nasional. Apa yang kemudian terjadi? Calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi sudah pasti tidak bisa masuk kedalam universitas/Perguruan Tinggi pilihannya. Melihat kenyataan ini, lagi-lagi penerimaan mahasiswa baru menjadi ladang bagi universitas/perguruan tinggi untuk “meraup” keuntungan dari calon mahasiswa yang ingin mengenyam pendidikan tinggi.

 

Ini adalah masalah yang dihadapi oleh tidak hanya mahasiswa Indonesia, namun juga anak-anak petani miskin dan buruh yang tidak mampu memperoleh pendidikan. Bisa kita lihat data statistik tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia sebesar 16, 35% dan angka partisipasi murni perguruan tinggi kita adalah 11,01%. Sementara jumlah mahasiswa di Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung populasi penduduk yang berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4%. Artinya, masih banyak penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun yang tidak mengakses pendidikan tinggi, dan rata-rata disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan dan mahalnya jalur masuk ke perguruan tinggi.

 

Saya beranggapan bahwa jika negara lewat pemerintah tidak memiliki solusi bagi permasalahan di atas, maka angka tersebut akan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut kemudian diikuti dengan komersialisasi pendidikan yang semakin tak bisa dibendung dan diskriminasi terhadap anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi akan terus terjadi. Bagi saya, masalah serius yang dihadapi oleh negara kita berkaitan dengan pendidikan adalah komersialisasi pendidikan, yang hanya memberi akses kepada orang yang mampu secara ekonomi.

Di lain sisi, harus kita akui bahwa kualitas pendidikan yang kita peroleh dari perguruan tinggi masih jauh dari harapan. Pada awal tulisan ini saya telah menceritakan pengalaman yang saya dapatkan selama ini. Pengalaman tersebut adalah bukti bahwa “jaminan” kecerdasan bagi setiap mahasiswa sangat buruk, karena metode kuliah yang saya dapatkan selama ini lebih banyak ceramah mengenai hal yang bukan bagian dari ilmu pengetahuan dan hal tersebut lebih mendominasi proses pembelajaran. Para dosen lebih suka menceritakan masa lalunya, seperti romantisme memperoleh gelar sarjana hingga doktor. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk memberi motivasi kepada mahasiswa. Namun jika motivasi itu mengambil hingga 1-2 jam perkuliahan, perkuliahan malah tidak efektif jadinya.

Kemudian, dosen cenderung memberikan tugas dengan merujuk pada internet, bukan analisa dari buku, koran atau bahkan dari kehidupan sehari-hari yang dapat membuat daya berpikir mahasiswa menjadi lebih kritis. Mereka lebih suka menilai cara berpakaian mahasiswanya ketimbang kualitas pengetahuan yang dimilikinya. Cara berpakaian memang penting diperhatikan namun bukanlah masalah urgent yang harus menjadi prioritas untuk dikomentari. Ada banyak masalah yang dapat kita temui dari cara mengajar dosen. Setiap mahasiswa pasti punya pengalaman buruk terkait proses perkuliahan. Ini adalah gambaran umum yang saya dapatkan selama ini semenjak kuliah di UNTAD.

Masalah lainnya yang juga serius adalah kedisiplinan para pegawai di lingkungan UNTAD. Ada banyak hal yang semestinya tidak dipertontonkan ke khalayak seperti bermain kartu (remi/gaplek) di ruang pelayanan pengurusan Kartu Rencana Studi (KRS) dan Kartu Hasil Studi (KHS). Saya sebenarnya tidak ingin memuat masalah ini dalam tulisan ini tetapi hal ini menjadi penting kemudian sebagai kritikan sulit untuk menegur mereka secara langsung.

Di fakultas lain, mahasiswa dengan bebas bermain kartu, minum minuman keras, menonton film bokep, dan kelakuan-kelakuan lainnya. Bukan bermaksud menghakimi namun apabila iklim seperti ini terus dipertahankan, apa jadinya kampus ini? Kampus sebagai sarang para intelektual akan berubah menjadi sarang para penyamun.

 

Selain itu, dalam mengurus mata kuliahnya, mahasiswa tidak jarang harus memelas kepada dosennya. Ini nampaknya sudah menjadi tradisi yang sulit dirubah. Padahal dosen bukan dewa yang selalu benar, dan mahasiswa bukan kerbau yang dicocok hidungnya. Mahasiswa yang mencoba kritis dengan mengajukan pertanyaan atau pun komentar kritis tak jarang dijawab teguran keras, misalnya dikeluarkan dari ruangan, dan buntutnya, nilai mata kuliah yang ia program langsung jeblok.

Menurutku mahasiswa harus mulai berani menyuarakan aspirasinya tanpa harus takut pada tekanan baik dari dosen maupun birokrasi kampus. Namun tentunya aspirasi tersebut harus disampaikan dengan sopan dan tetap menjunjung tinggi nilai dan norma sosial sebab mahasiswa adalah mahluk intelek yang harusnya kritis dengan berpikir bukan dengan otot.

Kita semua memiliki hak atas pendidikan. Sudah terlalu lama kita dininabobokan dengan berbagai “alasan” akademik untuk membuat kita lupa dengan masalah mendasar yang kita alami, sementara jaminan pendidikan berkualitas tak pernah kita peroleh. Ini adalah problem bersama yang harus kita perjuangkan, sebab jaminan pendidikan murah bahkan gratis tidak hanya datang dari niat baik pemerintah. Kita harus mewujudkannya lewat segenap persatuan dan mendesak pemerintah untuk menghentikan segala kebijakan yang dinilai diskriminatif tersebut. Seluruh warga Indonesia berhak memperoleh pendidikan gratis, demokratis dan berkualitas tanpa batasan kemiskinan dan kedekatan keluarga.

Oleh: Kadi Katu, Ketua Serikat Mahasiswa Progresif Sulawesi Tengah


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags: