Garam, Teluk Palu, dan Reklamasi: Ketika Sejarah Berbicara

Kota Palu merupakan kota yang sangat unik. Keunikan tersebut terletak pada keadaan alamnya. Keadaan alam Kota Palu yang terdiri dari lembah, pegunungan, dan laut membuat kota ini dijuluki sebagai kota tiga dimensi.

Salah satu pesona kota Palu yang sangat indah terletak pada keindahan teluknya. Teluk Palu terbentang dari Donggala di ujung sebelah barat laut, melingkar membentuk huruf U menuju kawasan Pantai Barat Sulawesi Tengah di sebelah utara, melintasi Kota Palu.

Sepanjang teluk ini, anda akan disuguhkan pada pemandangan menarik berupa birunya laut yang nampak menyatu dengan warna biru langit, desir angin, pantai berpasir putih (di wilayah Kota Palu agak berbatu), dan rindang pepohonan (kelapa, ketapang, johar, bakau, dan lain-lain).

Kawasan teluk Palu dengan segera menjadi salah satu ikon wisata di kota Palu. Di sepanjang pantai mulai dari daerah Taman Ria hingga Talise, kafe-kafe, rumah makan, restoran, hotel, dan pusat perbelanjaan meramaikan suasana. Spot-spot rekreasi keluarga juga tersedia mulai dari anjungan, jembatan merah, mesjid “terapung” hingga ikon kota palu yaitu Jembatan IV atau yang lebih dikenal dengan jembatan kuning.

Kawasan teluk Palu tampak serius dikembangkan oleh pemerintah kota Palu menjadi spot wisata yang menjanjikan investasi dan penyerapan tenaga kerja. Perlu diketahui bahwa mayoritas penduduk yang bermukim di sekitar wilayah teluk Palu berprofesi sebagai nelayan, petani garam, dan pelaku usaha kecil menengah (kafe-kafe di sepanjang pantai).

Petani Garam di Teluk Palu: Catatan Sejarah

Salah satu profesi yang digeluti oleh mayoritas masyarakat yang bermukim di kawasan teluk Palu adalah petani (baca:petambak) garam. Mereka mengais hidup dari tambak-tambak garam yang mereka buat di sekitar wilayah teluk Palu. Lahan tambak garam seluas kurang lebih 18 hektar terbentang di sebelah utara teluk Palu. Lokasi ini dikelola oleh kurang lebih 160 orang petani garam yang terbagi dalam 16 kelompok.

Aktivitas pengolahan garam di kawasan teluk Palu tersebut telah berlangsung cukup lama. Idrus A. Rore menjelaskan bahwa pengolahan garam di kawasan teluk Palu telah dimulai pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu, salah satu komoditi perdagangan yang paling menonjol adalah garam. Ada dua tempat produksi garam pada onderafdeeling Palu yaitu di Limbou (Talise) dan Tonggo (Silae). Di antara kedua tempat meproduksi garam tersebut Limbou merupakan yang paling produktif sedangkan tambak garam yang ada di Tongo sejak tahun 1924 sudah mulai terabaikan oleh para pembuat garam karena adanya tanaman kelapa di sekitar pantai Tongo sehingga pemilik kelapa keberatan atas usaha pembuatan garam tersebut.

Pemerintah kolonial tampaknya lebih memberikan perhatian terhadap Limbuo dari hasil pembuatan garam onderafdeeling Palu dapat meraup keuntungan sebagai kas pemerintah. Selama periode 1921-1925, Limbou berhasil memproduksi garam masing-masing; 7.229 pikul, 14.007 pikul, 14.941 pikul 5.825 dan 10.572 pikul. Terlihat jelas bahwa terjadi penurunan produksi garam Limbuo pada tahun 1924. Penurunan yang sangat tajam ini dipengaruhi oleh cuaca yang lembab selama periode 1924. Di samping itu sebelum tahun 1924 para pembuat garam Limbou masih mencapai 100 orang namun turun hingga 50% pada tahun 1924.

Harga garam dari para pembuat ditetapkan f.1,25 per pikul. Sementara itu dari gudang garam Palu ke perusahaan dagang Borneo-Sumatera ditetapkan dengan harga f.3,60 perpikul. Adanya perusahaan yang melakukan ekspor garam ke berbagai daerah di Indonesia menunjukkan garam merupakan salah satu komoditi andalan dalam perdagangan di Palu. Oleh sebab itu tidak mengherankan Belanda memberikan perhatian yang besar terhadap tambak garam Limbou termasuk menentukan secara monopoli perusahaan yang diberikan kontrak untuk mengekspor garam.

Pengusaha Cina di Palu maupun Donggala sebenarnya juga tertarik melakukan kontrak penjualan garam ke daerah lain tapi sampai tahun 1925 Belanda tidak memberikan ijin kepada pengusaha Cina. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 15 Pebruari 1933 usaha garam Talise diambil-alih oleh pemerintah dan kemudian dihentikan. Para pembuat garam menerima ganti rugi dengan hasil bruto selam lima tahun.

Setelah kemerdekaan, usaha garam mengalami perkembangan sehingga dapat mencukupi kebutuhan lokal dan sekitar lembah Palu. Usaha garam ini sampai sekarang masih tetap bertahan dalam kepungan perkembangan pariwisata (pantai) dan pembangunan pertokoan serta perumahan. Tambak garam Limbou sudah terjepit di bagian barat dan selatan oleh pariwisata, di bagian timur oleh menjamurnya pertokoan dan di bagian utara telah dijepit oleh pembangunan perumahan.

Petani Garam dan Ancaman Reklamasi: Mencoba Bertahan

Setahun belakangan, isu reklamasi kawasan teluk Palu kian santer terdengar. Pemerintah Kota Palu ingin “menyulap” kawasan tersebut menjadi kawasan wisata terpadu dengan mengundang investor untuk membangun perhotelan, pusat-pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Pembangunan kawasan teluk Palu ini diharapkan dapat menjadikan teluk palu sebagai ikon wisata di kota Palu dan Sulawesi Tengah. Selain itu, diharapkan dengan adanya rencana tersebut akan menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal.

Niatan baik tidak selalu baik. Mungkin ini ungkapan yang menggambarkan kebijakan pemerintah kota Palu tersebut. rencana reklamasi teluk Palu ditanggapi keras oleh para petani garam, nelayan dan para pemerhati lingkungan. Ahmad Pelor, Direktur WALHI Sulawesi Tengah menjelaskan, bahwa rencana reklamasi tersebut mengancam kehidupan para petani garam di kawasan tersebut. Ia menjelaskan bahwa para petani tambak garam di Kelurahan Talise yang bergantung pada Teluk Palu juga merupakan satu-satunya identitas kota. Dalam rencana tata ruang, ujarnya, tambak garam itu juga diatur. Namun jika proses reklamasi seluas 38 hektar terjadi, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi tambak garam di tempat tersebut.
Amar Akbar Ali, pakar tata ruang dari Universitas Tadulako (UNTAD) juga menuturkan beberapa dampak yang akan terjadi apabila reklamasi dilakukan. Dampak terhadap lingkungan, misalnya mengenai perubahan arus laut, hilangnya ekosistem, hingga naiknya permukaan air sungai.
“Kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan, seperti sedimentasi, perubahan hidro dinamika, semuanya harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan,” katanya.

Selain itu, reklamasi juga akan berdampak pada sosial budaya. Di antaranya adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM karena terkait dalam pembebasan tanah, perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat.

Dampak ekonomimya adalah kerugian masyarakat, nelayan, hingga petambak yang kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai.

“Akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau setidaknya air asin laut naik ke daratan sehingga tanaman banyak yang mati. Area persawahan sudah tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam, hal ini banyak terjadi di wilayah pedesaan pinggir pantai,” terangnya.

Pemerintah kota Palu pada akhirnya tetap melaksanakan rencana reklamasi teluk Palu tersebut. Pada tanggal 9 Januari 2014, Pemerintah Kota Palu bersama beberapa pihak swasta secara resmi mulai menimbun sebagian wilayah di kawasan teluk Palu. Belasan truk beroda sepuluh memuntahkan muatannya ke pinggiran pantai. Muatan tanah bercampur batu ini secara perlahan menutupi bebatuan di pinggiran pantai yang selama ini dihunakan sebagai pemecah ombak.
Menurut penuturan Taufik Kamase, Direktur Operasional Perusahaan Daerah Kota Palu, proses reklamasi itu akan berlangsung selama 4 tahun dan dibagi ke dalam beberapa tahap pengerjaan. Tahap pertama berlangsung selama satu tahun dengan menimbun kawasan teluk Palu seluas 10 hektar. Proses penimbunan itu dilakukan oleh gabungan sejumlah perusahaan daerah serta beberapa investor. Total biaya pengerjaan proyek reklamasi tersebut diperkirakan mencapai Rp. 200 Miliar.

Belajar dari Sejarah: Catatan Akhir

Kebijakan pemerintah kota Palu untuk mereklamasi kawasan teluk Palu adalah sebuah niatan baik untuk meningkatkan pembangunan, pariwisata, dan ekonomi masyarakat. Namun, niatan baik tidak selalu dieksekusi dengan baik dan niatan baik tidak selalu mendapat tanggapan yang baik. Ada kesan bahwa pemerintah kota Palu kurang kreatif dalam hal pengembangan kota dan lebih mementingkan kepentingan pemodal.

Kebijakan ini jelas berdampak buruk bagi kelangsungan usaha pengolahan garam yang sudah berlangsung sejak lama di kawasan teluk Palu. Ada baiknya kawasan ini dilestarikan sebagai salah satu identitas sejarah kota Palu. Konsep wisata sejarah yang edukatif nampaknya dapat menjadi alternatif yang baik untuk keberlangsungan usaha pengolahan garam tersebut.

Pemerintah kota Palu nampaknya belum memperhatikan aspek sejarah sebagai salah satu acuan dalam rencana pengembangan kotanya. Hal ini mungkin saja diakibatkan oleh minimnya pengetahuan akan sejarah, terutama sejarah lokal. Hasil-hasil penelitian sejarah lokal hanya menjadi penghias lemari di dinas-dinas.

Kota Palu rasa-rasanya perlu belajar dengan kota-kota besar di Eropa seperti Roma, Berlin, Paris, Madrid, yang peninggalan sejarahnya berdampingan dengan pesatnya pembangunan kota. Peninggalan sejarahnya bahkan menjadi ikon dari kota-kota tersebut.

Atau tak perlu jauh-jauh keluar negeri untuk mengambil contoh. Yogyakarta, Padang, Solo, adalah sebagian kecil dari kota yang tetap mempertahankan kelokalannya di tengah derasnya arus pembangunan. Kota-kota ini memiliki ciri khas yang menjadi pengingat bagi wisatawan untuk selalu berkunjung kesana.

Identitas kelokalan penting bagi sebuah kota agar masyarakatnya tidak ahistoris. Sudah saatnya Kota Palu berkembang dengan memperhatikan aspek-aspek kelokalannya. Karena lupa sejarah sama dengan lupa identitas.


Diterbitkan

dalam

oleh