Derita Di Kampusku Sudah Naik Seleher

Derita Sudah Naik Seleher,
Wiji Tukul
kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak

darah sudah kauteteskan
dari bibirku
luka sudah kaubilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kaurampas
dari biji mataku

derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Demikian bait-bait puisi dari aktivis 98, Wiji Tukul, yang hilang di masa pemerintahan Orde Baru, karena dianggap membahayakan rezim otoriter tersebut. Masa-masa orde baru, penuh dengan kesuraman yang membungkam orang-orang kritis dan menutup kebebasan berfikir masyarakatnya. Situasi sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan kala itu patuh dan menurut pada sistem yang dijalankan oleh sang “jenderal murah senyum”.

Namun pada akhirnya, situasi tak tertahankan lagi, “derita sudah naik seleher”. Seluruh elemen masyarakat turun ke jalan, aksi-aksi demonstrasi masif dilakukan sejak dari 1997 dan puncaknya pada tahun 1998. Tidak sedikit, aktivis pro-demokrasi yang menjadi korban, baik dari mahasiswa, petani, buruh dan kaum miskin kota. Mereka direpresif militer, ditembaki, dan banyak aktivis yang dihilangkan karena aktivitasnya mengajak orang untuk berfikir.

Berkat perjuangan tersebut, Soeharto kemudian lengser keprabon. Keruntuhan Orde Baru ternyata tidak berbuah manis. Hiruk pikuk dunia politik dan ekonomi semakin berkecamuk sampai saat ini. Presiden dan kabinet silih berganti namun belum menjadi solusi yang membebaskan masyarakat dari kesengsaraan dan kemiskinan. Yang ada, koruptor kian tumbuh subur dan investasi semakin masif di negeri ini. Banyak orang tidak dapat mengakses pendidikan karena biayanya yang mahal dan mereka mayoritas adalah anak-anak petani, kaum miskin kota dan buruh.

Sementara itu, para pemuda kelas menengah, disibukan dengan gemerlapnya dunia, di mana teknologi, lifestyle, dan budaya hang-out menjadi trend yang seakan menina bobokan daya kritis mereka. Seperti inilah nyatanya keadaan generasi penerus bangsa Indonesia saat ini. Pantas saja jika saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara cukup bobrok.

Kemunduran berfikir mahasiswa untuk berkreasi, tentu saja terpola dari kondisi pendidikan yang seakan tidak mampu menahan laju hegemoni kapitalisme yang makin berkuasa. Peserta didik dibentuk sejak dini menjadi figur-figur komersil bermental tempe, diiringi komersialisasi pendidikan yang diarahkan untuk mengeruk keuntungan belaka, layaknya lembaga layanan jasa. Situasi ini kontras dengan cita-cita Ki Hajar Dewantoro yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan Tinggi saat ini tak ubahnya mesin pencetak tenaga kerja, sekaligus juga mencetak angkatan pengangguran muda di Indonesia, kualitas tidak lagi menjadi hal utama, yang terpenting adalah keuntungan.

Situasi tersebut hampir mirip dengan kisah dari kampus tempat saya menuntut ilmu. 7 Maret 2016, terjadi tragedi berdarah di lingkungan kampus yang memakan korban puluhan mahasiswa yang mengalami luka-luka akibat bentrok yang diprovokasi oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, tidak sedikit kerugian yang dialami mahasiswa akibat bentrok tersebut, puluhan motor dibakar dan juga kerugian materil.

Yang sampai hari ini masih menjadi pertanyaan di benakku adalah bagaimana bisa lingkungan akademik menjadi arena pertarungan layaknya sebuah film laga. Tentu saja peristiwa ini tidak jatuh dari langit, tetapi berawal dari kebijakan kampus yang membatasi gerak mahasiswa berkreasi hingga malam hari. Kejadian ini, hampir membuat salah satu mahasiswa meregang nyawa.

Saya tidak menolak aturan yang ditetapkan universitas, jika tujuannya baik dan membangun pengetahuan mahasiswa, berbeda halnya dengan pembatasan menggunakan fasilitas kampus seperti pelarangan beraktifitas malam di dalam kampus. Hal tersebut menjadi pertanyaan besar, di mana universitas harusnya memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuannya untuk memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada, tentunya dengan tanggung jawab penuh. Saya tidak ingin membahas kegiatan apa saja yang dilakukan mahasiswa, tetapi situasi ini sangat ironi dan konyol karena menjadi awal mula tragedi berdarah itu.
Kondisi ini harusnya menjadi ratap tangis karena sedih, sebab mahasiswa harusnya dibentuk menjadi manusia yang rasional dan berfikir ilmiah. Tetapi, justru menciptakan kondisi yang melahirkan cara berfikir irasional.

Negara dan universitas yang ada di seluruh Indonesia harusnya kembali berkaca, semangat negara ini terbentuk karena pemuda di masa itu berjuang dan terus membaca. Tak lupa pula forum-forum pemuda dan gerakan maju yang menggenjot prospektif maju menuju kemerdekaan bangsa ini. Era 1998 mengajarkan kita bahwa pemuda kala itu berjuang dan belajar sehingga dorongan reformasi terwujud. Kini “Derita Sudah Naik hingga seleher”, semangat belajar sudah turun selutut, masih adakah tempat belajar yang tidak memeras, membahayakan, dan dapat memenuhi asupan semangat belajar pemuda yang sudah separuh mati saat ini ?
Tulisan saya ini ditujukan untuk seluruh jajaran pemerintah yang mempunyai orientasi kerja pada bidang pendidikan, juga kepada Presiden Republik Indonesia, agar kembali melihat konstitusi tertinggi negara ini yang di dalamnya termaktub “Mencerdaskan Seluruh Kehidupan Bangsa” sekiranya masih bisa membaca dan mempunyai cita-cita bangsa.
Hidup Mahasiswa… Hidup Rakyat …
Merdeka !!!


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags: