Pendidikan Kita dan Usangnya Halaman Kuil Akademis

[mks_dropcap style=”square” size=”52″ bg_color=”#dd9933″ txt_color=”#ffffff”]T[/mks_dropcap]adi pagi saya membuka facebook dan mendapati hampir semua status teman-teman bertemakan pendidikan. Tenyata hari ini hari Pendidikan. Untuk memperingatinya sebaiknya saya juga mengupdate tulisan. Yang dimulai dari Yunani.

Alkisah ribuan tahun lalu, di Yunani berkembang satu budaya mengunjungi seseorang untuk bertanya dan berguru. Orang yang dikunjungi tentulah orang bijak dan yang punya pengetahuan. Kegiatan ini dilakukan pria dewasa saat memiliki waktu yang luang. Artinya saat mereka tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan. Seiring perkembangan mereka kemudian mengajak anak-anaknya, mengisi waktu luangnya, melatih otaknya untuk berpikir dan bertanya.

Itulah awal munculnya kata Sekolah. Kata ini diambil dari kata Skhole atau Scolae yang dalam bahasa Yunani berarti Waktu Luang. Tokoh filsuf Yunani terkemuka kemudian mengungkapkan bagaimana makna belajar dan mengajar pada masa itu. Socrates misalnya, guru dari Plato dan secara tidak langsung juga guru dari Aristoteles ini berkata “Saya tidak bisa mengajarkan kalian apa-apa, saya hanya bisa merangsang kalian untuk berpikir.” Socrates menekankan pada penalaran bukan penyampaian.

Setelah kematian Socrates, Plato kemudian mendirikan Akademi berdekatan dengan kuil Akademus. Di tempat ini Aristoteles kemudian belajar. Rasa-rasanya sejarah tidak akan mengenal Aristoteles jika tidak belajar di Akademi Plato ini. Nama Akademi pun masih bertahan ribuan tahun dan kita pakai hingga saat ini.

Begitulah pendidikan dan pengajaran berkembang di Yunani ribuan tahun lalu hingga menghasilkan karya filosofi besar yang membidani lahirnya berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Sekolah kita di Indonesia tentulah berbeda dari Scolae-nya orang Yunani. Sebab baik bangku, meja, buku, bahkan gurunya pun sudah terinstitusi dengan rapi. Semua adalah hasil pengembangan dan pencapaian luar biasa dari pendidikan itu sendiri.

Di kelas anak-anak diajarkan rumus dan teori-teori. Buku-buku wajib harus dilahap oleh siswa. Intelektualitas benar-benar digenjot. Hafalan kadang masih digunakan, meskipun semakin berkurang karena guru-guru pembaharu mengatakan itu model kuno yang sudah tidak relefan. Hasilnya jelas, anak didik dengan hasil nilai yang mentereng. Di Perguruan Tinggi, mahasiswa bisa tersenyum lebar dengan IP diatas 3,0, sementara yang ber IP rendah perlu memperbaiki cara belajar. Jika ia berpendapat ada hal lain yang penting selain IP maka niatnya perlu diluruskan.

Produk pendidikan kita juga trampil dalam mengemukakan berjibun data yang tersimpan dalam memorinya. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Bandingkan dengan Albert Einstein yang memiliki memori sangat lemah hingga ia susah mengafal nomor telpon sendiri. Sebagian siswa dan mahasiswa kita juga mampu mengimplementasikan apa yang ia pelajari, ya hanya sebagaian kecil, tidak terlalu mempengaruhi gegap gempita pencapaian nilai yang memuaskan dari sebagian besar siswa dan mahasiswa.

Rasa-rasanya negeri kita bisa menjadi contoh bagaimana pendidikan berkembang memasuki babak baru. Maka usanglah konsep pendidikan yang dikemukakan Socrates di atas, bahwa mengajar adalah melatih otak untuk berpikir. Perguruan tinggi kita juga tidak perlu lagi meninjau Akademi Plato yang berada jauh di halaman kuil Akademus. Juga tidak penting memaknai Almamater sebagai Ibu Pengasuh. Perguruan tinggi kok jadi pengasuh?

Pun begitu dengan pernyataan-pernyataan nyeleneh dari Einstein. Misalnya
Orang yang terlalu banyak membaca dan sedikit menggunakan otaknya sendiri akan menjadi orang yang malas”
atau
Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman”
atau
“Informasi bukanlah termasuk pengetahuan.”

Jelas itu terbantahkan dengan pendidikan kita. Menyimpan informasi dari buku-buku wajib kedalam otak meskipun tanpa pengalaman empirik ternyata berhasil mendongkrak nilai. Adapula pernyataan Einstein yang mungkin akan menyesatkan seperti “Imajinasi lebih penting dari Ilmu Pengetahuan.” Ini jelas sudah ketinggalan zaman. Saat ini dengan ilmu pengetahuan kita bisa membuat apa saja. Kita bisa membuat replika barang elektronik persis dengan aslinya, bahkan mungkin sedikit lebih canggih. Kita tinggal mengintip produk negara lain kemudian menirunya. Bukankah itu sebuah pencapaian yang luar biasa.

Einstein juga pernah berkata “Kebanyakan orang berpikir bahwa kualitas intelektuallah yang membuat seorang ilmuan jadi besar. Mereka salah, yang membuat seorang ilmuan besar adalah karakternya.”

Mungkin Einstein lelah.

Atau Ia mungkin akan meralat pernyataan ini jika hidup di negeri kita. Ilmuan besar di negeri ini adalah mereka yang punya kualitas intelektual tinggi, punya gelar akademik yang berjibun, berpakaian rapi dan bersih, banyak menghafal rumus, berteman dengan buku, dan kebanyakan memekai kacamata tebal. Merekalah guru-guru besar, bagi mereka ilmu pengetahuan sangat disakralkan.

Bagaimana dengan Steve Jobs. Pendiri dan inovator produk Apple ini Drop Out dari Universitas tempatnya kuliah. Sepertinya apa yang terjadi dengan Steve Jobs hanyalah sebuah kecelakaan sejarah. Mana mungkin hari ini orang sukses tanpa ijazah dan gelar akademik.

Bagaimana dengan Bill Gates pendiri Microsoft, Mark Zuckerberg pendiri Facebook, Jan Koum pendiri WhatsApp, atau Julian Assange si anak nakal pendiri Wikileaks? Mereka semua tidak menyelesaikan kuliahnya. Ya tidak ragu lagi mereka semua adalah sebuah kecelakaan, sangat tidak patut untuk jadi ukuran, dan tidak patut untuk diteledani. Tidak perlulah mereka dibahas panjang lebar. Membahas mereka akan menjadikan generasi kita sesat.

Terus apalagi makna dari Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara? Beliau adalah tokoh pendidikan kita, tentu kita perlu utamakan. Makna semboyannya sederhana, “Di depan memberi teladan, di tengah membangun, di belakang mendorong.”

Ya itu saja artinya. Tidak perlu dimaknai lain-lain atau aneh-aneh.

Apa pendidikan harus dibahas dengan Das Solen dan Das Sein?

Sudahlah, itu terlalu kuno dan rumit. Cukuplah berstatus atau berkicau ria di media sosial. Akan lebih ajib lagi kalo disertai foto upacara peringatan. Tidak perlu terlalu rumit.

Selamat Hari Pendidikanlah. Titik

___
Palu, 2 Mei 2016


Diterbitkan

dalam

oleh