Pada tanggal 7 Juni 2015 menjadi hari penting untuk Suharsi Valentine, seorang remaja yang ingin melanjutkan pendidikannya pada jenjang perguruan tinggi. Suharsi berasal dari Kab. Sigi Provinsi Sulawesi Tengah, Ia lulus dari sebuah Sekolah Menengah Atas di daerahnya. Bagaimana tidak, cita-citanya selama ini yang ingin menjadi seorang dokter harus dia tempuh di Civitas Akademika kalau ingin semuanya menjadi nyata.
Suharsi mengikuti SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri) yang dikukan oleh KEMENRISTEK DIKTI (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia) yang dibuka sejak 29 Febuari – 9 Mei 2016, semua tahap dia lalui dari awal hingga akhir, pengunguman kelulusan SNMPTN memberi buah manis pada Suharsi, namanya masuk dalam daftar deretan nama yang lulus, dia dinyatakan lulus oleh panitia SNMPTN di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Tadulako dengan program studi Pendidikan Dokter. Suatu hal yang sangat menakjubkan, sebab Suharsi hanya berasal dari keluarga biasa saja yang orang tuanya pun tak punya latar belakang istimewa dalam dunia pendidikan. Sekolahnya pun tidak terdaftar dalam deretan sekolah terbaik di Nusantara, namun pengetahuan dan kecerdasannya adalah sesuatu yang mahal hingga bisa membuahkan hasil pada seleksi nasional tersebut.
Rasa bahagia Suharsi tidak berlangsung lama, sebab dia tidak menyangka ada tahap administrasi di PTN (Perguruan Tinggi Negri) tempat dia mendaftar yang harus diselesaikan, yaitu ; pertama, Suharsi harus membayar UKT Kategori III (Permen no. 73 tahun 2014, Kategori 3) sebesar Rp. 8.500.000. Kedua, Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) Jalur SMMPTN/PKPT Permenkeu (Peraturan Mentri Keuangan) tentang TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM UNIVERSITAS TADULAKO PADA KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI (PMK.05/2015) sebesar Rp. 40.000.000. Ketiga, aturan pembiayaan jalur SNMPTN dengan kisaran Rp. 200.000.000 – Rp. 249.000.000 dan pada kategori ini Suharsi dikenakan biaya sebesar Rp. 226.500.000. Jika ditotal secara keseluruhan biaya administrasi program studi kedokteran yang harus dia bayar adalah sebesar Rp. 275.000.000. sebuah angka yang bukan main-main dan sangat mencekik tenggorokan ketika mendengarnya.
Seorang pria yang mem-posting derita Suharsi menuliskan di akun media sosialnya (facebook) bahwa “uang sebesar itu belum kami dapatkan sementara kondisi ekonomi kami terpuruk kami hanya memiliki sebidang yang luasnya 7000 m2 yang sudah bersertifikat, mungkin cukup untuk membayar keperluan tersebut. Apakah kami orang miskin tidak layak mengenyam pendidikan tinggi hanya karena persoalan kami ekonomi lemah” (ujar akun Facebook Imran Latjedi) dengan disertai postingan beberapa foto berupa Katu ujian SNMPTN, Form Kelulusan SNMPTN, dan sebuah sertifikat tanah (tanah yang dimaksud diatas).
Kondisi ini sangat memprihatinkan sebab disatu sisi Indonesia dinyatakan oleh Bank Dunia mengalami pertumbuhan ekonomi sebanyak 5,1% pada 2016 dan 5,3% pada 2017 (sumber, BBC News Indonesia) . Entah angka berantah mana yang didapatkan oleh Bank Dunia, yang pasti sangat bertolak belakang dengan keadaan rakyat Indonesia saat ini, seperti kondisi ekonomi Suharsi dan keluarganya.
Kisah Suharsi bukanlah yang pertama, sebelumnya ada Si Ridho yang juga punya masalah yang sama dalam melanjutkan pendidikan tinggi sebesar Rp. 73.000.000, Ridho berhasil menarik simpati citizen yang berujung pada aksi simpati pengumpulan dana “UKT UNTUK RIDHO”. Suharsi dan Rido hanyalah dua dari jutaan cerita anak negri yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena masalah ekonomi.
Jika ditarik ulur kebelakang masalah ini berawal dari UU PT no 12 tahun 2012 yang memberikan otonomi khusus kepada PTN/PTS untuk mengambil langkah-langkah kebijakan sesuai keperluannya, UU ini sempat digugat oleh beberapa aktivis mahasiswa pada 12 Desember 2013 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, pada hari itu, MK menggelar sidang pembacaan putusan uji materiil atas UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang diajukan oleh dua elemen mahasiswa Universitas Andalas (FPP dan BEM Unand), namun sayangnya Ketua Majelis Hakim, yang juga menjabat Ketua MK pada saat itu, Hamdan Zoelva, membacakan putusan bahwa gugatan itu ditolak dan UU 12/2012 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak dilihat oleh kebanyakan mahasiswa sebagai ancaman terhadap roh pendidikan yang akan diperjual belikan untuk tujuan keuntngan semata (provit) yang akhirnya berujung pada kumpulan kisah-kisah piluh seperti saat ini.
Ada beberpa faktor yang sangat mengancam dunia pendidikan tinggi dengan lahirnya UU ini, Pertama, penetrasi Investasi global, yang tercermin dari wacana-wacana liberal tentang pendidikan tinggi pada pasal-pasal krusial mengenai relasi institusi pendidikan dan dunia usaha, transformasi PTN ke Badan Hukum, otonomi (non-akademik), hingga internasionalisasi.
Kedua, posisi PTN sebagai ‘Badan Hukum’ yang mengisyaratkan adanya otonomi non-akademik serta kebebasan PTN yang memiliki status ini untuk menentukan ‘tarif’ sendiri. Hal ini dipertegas oleh PP 58/2013 yang memberi dasar operasional bagi penentuan PTN Badan Hukum.
Ketiga, diskursus yang melepaskan ‘negara’ dari tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan. Dengan format badan hukum, disertai oleh klausul-klausul ‘kabur’ tentang peran negara, ‘negara’ tidak lagi punya tanggung jawab besar untuk memastikan biaya kuliah tidak mahal –semua sudah diatur dengan dalih ‘indeks kemahalan wilayah’.
Sekarang nasi telah menjadi bubur, cita-cita anak negri banyak terkubur. Namun ketika kita kembali kedalam kelas-kelas ala civtas, kita kembali lupa apa yang menjadi tangisan Suharis dan Ridho, sebab Civitas Akademika tak ubah sebuah laboratorium baja yang begitu kaku yang tak membiarkan kita menoleh sesama, setiap harinya pola berfikir mahasiswa diarahkan dalam kerangka ilmu-ilmu penyokong keberlangsungan modal dan investasi, yang sampai saat ini tak mengisyaratkan kesejahtraan abadi, dalam aktivitas kampus mahasiswa selalu diberi ujian dan tes pada pertengahan dan akhir smester layaknya kelinci percobaan di lab-lab kaca ilmuan eropa yang telah disuntikan cairan formula, peroses ini terus menerus dilakukan selama bertahun-tahun sehingga menjadi ritual wajib setiap mahasiswa. Tidaklah heran kenapa mahasiswa lupa terhadap sesamanya , sebab sibuk dengan angka-angka dan penobatan prestasi oleh Civitas yang secara tidak langsung mengsyaratkan kita untuk berkompetisi dengan sesama dalam kehidupan nantinya. Kini Suharsi tak bisa menjadi seorang dokter sebab uangnya hanya cukup untuk membeli obat di apotik.
Saatnya menetapkan pijakan, berdiri dipihak yang mana mahasiswa saat ini. Negara dan Universitas kah ? atau rakyat miskin dan kaum terzolimi ? Saatnya bergandeng dan kepalkan tangan dalam perjuangan alasannya sangat mudah “Stop Liberalisasi Pendidikan, Sebab Pendidikan Bukan Untuk Dijual”. Mungkin bagi pembaca yang budiman, berada dipihak masa dan kaum kecil adalah sesuatu yang menguras tenaga dan memperkeruh hidup yang sudah setengah mampus ini, namun yang ingin saya katakan adalah kita telah lupa siapa kita dan apa mau mereka, sadar atau tidak manusia saat telah dipisahkan dalam sebuah jurang pemisah antara si miskin (tak punya apa-apa) dan Si Kaya (yang memonopoli semuanya), dalam banyak aksi gerakan sosial menyebutkan bahwa di dunia ini hanya ada dua kamu yaitu, kaum 1% adalah mereka yang kelewatan sejahtrah dan kaum 99% yaitu kita yang terus bekerja pada pabrik-pabrik dan usaha-usaha (produksi) mereka, lantas kita hanya dapat hidup dari upah mereka setiap bulanya, lalu berulang seperti terus menerus setiap bulannya sambil menunggu hayat.
Tulisan ini saya tujukan terkhusus pada mahasiswa Indonesia, alih-alih menjadi kelas menengah dalam ilusi gemilau iklan dan ekspetasi glamour telah terlalu jauh menyesatkan kita (baca ;Menguak Tabir Ilusi Kelas Menengah oleh,Kresna Herka Sasongko) .
Saat ini Mahasiswa yang baru lulus dari Universitas dan Siswa sekolah kejuruan dan menengah mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di pasar kerja nasional. Hampir setengah dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia hanya memiliki ijazah sekolah dasar saja. Semakin tinggi pendidikannya semakin rendah partisipasinya dalam kekuatan tenaga kerja Indonesia.
Dalam tabel-tabel diatas sangat jelas menunjukan bahwa tak ada tempat bagi semua sarjana yang lulus setiap tahunnya di Universitas seluruh Indonesia, dan semakin membenarkan bahwa kelas menengah adalah ilusi. Dengan tidak bermaksud menyakiti harapan dan cita-cita para Sarjana Muda (sebut iwan fals dalam sebuah langunya) yang mempunyai tujuan mulia mau mengsejahtrakan orang tua atau sebatas mengubah nasib harus dikubur sekarang juga, kenyataan sudah di depan mata, mau lari kemanapun derita negri tetap mengejar kita. Suharsi pun seandainya jadi seorang dokter mungkin hanya akan membuka praktek dan apotik kecil-kecilan sebab tidak mampu bersaing denga kompetitornya
Oleh karenanya tetapkan pijakan, Kalian Berdiri Dipihak Yang Mana ?!
Mari memulai perubahan dari hal yang terkecil dilingkingan kampus kita, mulailah berdiskusi dan membicarakan masalah sakitnya negri kita ini lalu mulai memikirkan kemana arah gugatan dan tuntutan kita dilontarkan …
Amukan badai samudra pun mampu ditenangkan senja, Hati yang beku pun mampu menjadi hangat dalam belai lembut kekasih …
Tak ada pedoman yang pasti selain Kemanusiaan dan Kejujuran, hidup seribu tahun pun tak guna jika akal sehat tak lagi peka …
***
References :
1. http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/04/160411_majalah_ekonomi_indonesia_bankdunia
2. http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/pengangguran/item255
3. http://indoprogress.com/2014/01/gerakan-mahasiswa-dan-politik-liberalisasi-pendidikan-pasca-2014/
4. http://indoprogress.com/2016/02/menguak-tabir-ilusi-kelas-menengah/
5. Badan Pusat Statistik Indonesia
6. World Bank