Celoteh Tentang Anda, Gus Mus

Salam Alaika Gus

Beberapa hari tidak menyambangi internet ternyata membuat saya ketinggalan banyak informasi. Ada info pesawat tim sepak bola Brazil yang jatuh, ada moratorium Ujian Nasional, ada angka kapak Naga Geni 212. Tapi yang paling buat saya kaget pas tahu ada orang yang tega mencaci kiyai sekelas anda Gus.

Masa harus anda?

Memang saya belum terlalu lama mengenal anda Gus. Sekitar tahun 2008 kalau tidak salah saya mendengar puisi Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana. Awalnya saya kira itu puisinya Rendra, karena sebelumnya saya sangat suka dengar seorang teman membacakan Blues Untuk Bonnie-nya Rendra.

Sejak saya tahu itu puisi anda, saya jadi tertarik mengenal lebih jauh sosok anda. Seorang kiyai besar, budayawan, penyair, dan pelukis. Racikan yang sangat langka. Saya sampai mengoleksi video Puisi, rekaman wawancara Kick Andy dan Mata Najwa, sampai video ceramah anda meskipun banyak yang saya tidak mengerti karena pakai bahasa Jawa.

Sepertinya saya memang jatuh cinta pada anda Gus.

Sosok yang sangat bersahaja. Sangat bijak.

Sangat ramah.

Sangat Indonesia.

Kalau orang Palu dikenal dengan kemahiran ba patende atau memuji, sepertinya kali ini saya tulus. Kalau ada yang justru merasa lain, aku serahkan kepada Allah yang Maha Tahu, seperti kicauan anda seminggu yang lalu.

Saya ingat sekali ketika Mukhtamar NU ke 33 yang ricuh tahun lalu, seorang Gus Mus yang saat itu berusia 71 tahun rela memohon maaf di depan forum sambil menangis agar Mukhtamar bisa kembali berjalan dengan damai. “Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau perlu saya mencium kaki-kaki anda semua agar mengikuti akhlakul karimah…”

Saya sampai membagikan berita itu di status saya waktu itu. Susah menemukan orang seperti anda Gus. Susah. Apalagi saat ini, saat semua orang tiba-tiba jadi ahli agama. Olehnya saya kaget, ketika membaca berita bahwa anda dikatai Ndasmu di twitter. Syukurlah yang bersangkutan akhirnya meminta maaf. Dan lagi-lagi anda tidak dendam. Ah, Gus, anda itu mempesona.

Memang media Sosial adalah belantara tak bertuan. Tapi manusia tidak lantas jadi buas ketika masuk hutan kan Gus. Seperti juga Harimau tidak lantas jadi beradab saat masuk Universitas.

Dunia maya menawarkan kebebasan tak terhingga. Tapi itu bukanlah alasan kita bisa memaki orang tua kita, apalagi anda Gus, ulama besar yang tidak pernah menyulut permusuhan. Inikah makna kebebasan itu?

Jika iya, maka terpaksa saya harus mengakatakan ke mereka “kita memang berbeda.” Saya masih meyakini bahwa Filosofi Timur bertumpu pada keluhuran pekerti yang memang sulit dimengerti ilmu-ilmu barat. Bahwa nabi itu mendahulukan ahlak di atas fiqih.

Kalau pun pendidikan modern mengajarkan kebebasan berpendapat dan mengkritik, maka persoalannya ada dicara penyampaian. Kata Ndasmu menurut saya sangat tidak pantas dilontarkan pada orang tua berusia 72 tahun. Kiyai besar pula.

Bahkan kebebasan berpendapat dan berpikir pun terpaksa harus didudukkan dulu, jika nilai itu dilanggar. Lantas bagaimana dengan semangat mengajarkan murid untuk berpikir kritis?

Saya ucapkan SELAMAT HARI GURU lah kalau begitu Gus, mumpung masih di bulan November.

Jangan berhenti jadi guru ya Gus

(betapa inginnya saya duduk semeja dengan anda
mendengar langsung anda membaca puisi ‘O Muhammadku’).

Salam

Palu, 30 November 2016


Diterbitkan

dalam

oleh