Cerpen : Sebutir Rindu untuk Zara

Siang seperti akan membimbing senja menemui malam. Keelokan paras senja membuat siang seperti tak ingin lepas darinya. Namun, malam sudah tak sabar ingin menemui senja. Aku melangkahkan kakiku ketika siang telah utuh sepenuhnya meninggalkan senja. Nama lengkapku Faturrahman Al-Gazali. Saat ini usiaku memasuki empat belas tahun. Kata orang, usia ini akan memasuki masa peralihan. Usia yang tidak bisa dikendalikan kenakalannya. Aku tahu dan ku sadar itu. Aku pun berusaha agar aku tak menjadi salah satu dari anak yang disebut nakal itu.

Aku segera memasuki kamar dan mengganti baju yang sudah hampir seharian kugunakan.

“Ayo cepat, ayah mau mengantar ibumu lagi.” ucap ayah diambang pintu.

“Sudah selesai yah.”jawabku segera mengikuti ayah keluar rumah.

Suasana malam di kota cukup ramai. Kendaraan yang lalu lalang, menghiasi setiap sudut kota.

Mataku tertuju pada bangunan putih nan besar, ketika motor yang dikendarai ayahku berhenti tepat di halamannya. Bangunan bertuliskan “Rumah Sakit Intan Pelita” yang sudah seminggu ini, seakan menjadi tempat peristirahatan keduaku.

Aku melangkah, begitu berat, mengikuti arah langkah kaki ayahku. Aku bukannya tidak tahu arah tujuan, tetapi kaki ini sangat berat untuk melangkah ke tempat itu. Tempat yang sudah seminggu menjadi tempat pembaringan putri di istana kami. Putri yang bisa menjadi musuh sekaligus sahabat dalam satu waktu. Putri yang bisa membuatku kesal dan rindu dalam satu waktu, ketika aku mengingatnya. Putri yang selalu membuatku kesal dan marah, tetapi tak bisa kuluapkan amarahku padanya. Putri yang enggan keluar rumah, hanya karena ingin bermain bersamaku, tetapi aku terlalu sibuk dengan duniaku. Putri yang selalu berteriak, “Kak, bantu Zara pakai jilbab kayak mama.” Sambil merengak dan menarik apa saja yang dapat dijangkaunya dari tubuhku.

Ya, dia adikku Hanun Az-zahra. Usianya enam tahun. Kami sekeluarga memanggilnya Zahra, tetapi ia sedikit kesulitan mengucapkan nama panggilan yang ku buat itu. Akhirnya terpaksa ia mengeluarkan satu huruf ditengah, yang membuatnya kesusahan mengucapkan namanya sendiri.

“Kak, jaga adik mu, Ibu dan Ayah mau pulang ke rumah dulu.” Ucap Ibu sebelum meninggalkan ku sendiri, di ruangan yang baunya sangat ku benci.

Aku menatap adikku yang terbaring lemah. Sudah seminggu adikku tidak dapat meninggalkan tempat peristirahatannya itu. Tubuhnya semakin kurus, karena hanya ditopang oleh cairan putih yang menggantung di samping tempat tidurnya. Tubuh yang dulu sangat kuat untuk menendangku, ketika aku mulai mengerjainya. Tubuh yang dulu cukup kuat untuk memukul belakangku, ketika ia sudah menemukan tempat persembunyianku. Kini terbaring tak berdaya. Tanpa sadar sebutir bening menghangatkan pipiku.

“Kak Fat kenapa menangis?” Suara lemah adikku membuatku tersentak, dengan sigap ku hapus air mataku.

“Sepertinya ada debu nakal yang mulai mengerjaiku, nakalnya mirip seseorang.” Jawabku, sedikit menyidirnya.

Ia mengulum senyum. Senyum yang terlihat mendung disekitarnya.

“Kamu sudah bangun, kamu lapar?” lanjutku mengalihkan pembicaraan.

Senyumnya belum hilang, Ia mengangguk. Ku alihkan pandanganku ke meja yang berada disebelah tempat tidur. Tampak sebungkus roti dan sekantung buah-buahan.

“Mau makan Roti?” tawarku, ia kembali mengangguk.

Ku berikan roti itu ke tangan kanannya, yang tak tersentuh oleh selang-selang putih.

“kak.” suara parau itu terdengar kembali.

Aku menatapnya. Hening. Ia seakan sulit berbicara, walau hanya mengeluarkan sepatah kata.

“kak, kenapa Zara harus rasakan semua sakit ini?” satu kalimat yang membuat ku tertegun, seperti ada sesuatu tersekat di tenggorokanku.

Tangannya bergetar. Roti yang dipegangnya pun ikut bergetar. Mulutnya tak sanggup lagi mengunyah. Air matanya jatuh. Aku tak kuasa melihatnya. Aku mendekat ke arahnya, menariknya dalam pelukanku. Ia adikku. Adik perempuanku. Adik perempuan yang amat kusayangi.

Malam itu berakhir dengan aku yang menenangkannya, dari tangisnya. Aku pun tak kuasa menahan air mata, tetapi aku menyembunyikannya. Ia tak bertanya lagi. Aku pun tak memiliki jawabannya. Aku hanya seorang anak, berusia empat belas tahun.

Kedua orang tuaku pun tiba beberapa jam kemudian. Adikku sudah tertidur pulas. Masih ada sisa air mata, di sudut matanya.

“Dia menangis lagi?” Tanya Ibu ketika melihatnya, pertanyaan yang sama setiap Ibu kembali dari rumah- jika Ia meninggalkanku bersama adikku.

Aku menatap ibu lama, kemudian mengangguk. Aku masih dapat melihat raut kesedihan di wajah ibu. Matanya berkantung. Mungkin ia tak bisa tidur, memikirkan putri bungsunya yang terbaring lemah di tempat tidur putih itu. Wajah itu terlihat begitu lelah, seakan ditimpa beban begitu berat.

Aku memalingkan wajahku. Berusaha menepis semua pikiran buruk dan sedih. Kutatap wajah Ayah. Sama seperti Ibu, seakan beban itu sangat berat. Ayah pasti merasa sangat sedih, melihat adikku merasakan kesakitan itu. Dialah yang paling dekat dengan Zara, adikku.

Kuikuti langkah ayah. Kami harus bermalam dirumah malam ini, banyak hal yang harus Ayah selesaikan, di perusahaan.

Pukul 4.30 subuh, aku menduga Ayah masih sibuk dengan urusan kantor. Ku dengar isakan tangis. Tak biasanya Ayah menangis, hanya karena masalah di perusahaan.

Aku mengerjapkan mata. Ku pandangi sosok ayah yang tengah sibuk mengambil kunci motor dan helm, wajahnya tampak cemas.

“Ayah mau kemana?” sahutku membuat langkah Ayah terhenti.

“Ke rumah sakit, adik mu… dia sedang sekarat.”

“Aku ikut.” Jawabku cepat. Bergegas mengikuti Ayah.

Motor Ayah melesat, melewati pengendara lainnya. Aku merasa kedinginan di belakang, lupa mengenakan jaket. Ayah menambah kecepatannya, Aku pun semakin mengeratkan peganganku. Berdoa dalam hati, semoga tak terjadi apa-apa.

Kami tiba di halaman rumah sakit. Ayah mempercepat langkahnya, sementara aku mengekor dibelakang ayah.

Keheningan rumah sakit itu seketika menghilang, ketika Aku tiba depan kamar adikku. Suara tangis milik Ibu pecah, memenuhi ruang itu. Ini masih sangat pagi, tapi isak tangis terdengar begitu keras. Ayah pun tak kuasa menahan air mata.

Hari ini, detik ini, aku melihat tubuh kecil itu terbungkus rapi dengan kain putih. Tak kusangka penyakit kanker yang ia coba lawan enam bulan terakhir ini, merenggut nyawanya. Ia telah tiada. Ia pergi meninggalkanku. Meninggalkan ibu dan juga ayah. Ia putri di keluarga ku. Putri yang salalu mengisi tawa di setiap ruang istana kami.

Aku tertunduk. Tak tahu harus berbuat apa. Ia benar-benar telah pergi. Pergi untuk selamanya. Ternyata percakapan tadi malam, menjadi percakapan terakhir kami. Pertanyaan itu, menjadi pertanyaan terakhir yang ia lontarkan kepadaku, menyesal tak dapat memberikan jawaban terbaik padanya. Dan pelukan itu. Pelukan hangat darinya, pun menjadi pelukan terakhir. Tanpa sadar suara sesegukkan mendekat ke arahku. Itu ibu. Ia memelukku. Menguatkanku, padahal ia sendiri tak cukup kuat.

Kami melangkah keluar. Tubuh tak bernyawa itu didorong, menuju mobil ambulans. Ibu masih berlinang air mata di dekat ku.

Kami tiba di rumah. Ayah telah menelpon beberapa keluarga, mengabarkan berita duka ini. Isak tangis membanjiri rumah ku. Kepergian adikku tidak hanya mengundang tangis kedua orang tuaku, tetapi kerabat yang juga mengenal putri kecil itu. Kakek dan nenek, teman sekolah, guru-guru, kerabat dan keluaga jauh, semua berkabung, mengingat adikku. Ia masih sangat kecil. Ia telah pergi, padahal masih banyak yang perlu ia ketahui di dunia, dunia yang fana ini.

Aku melangkah, berat. Terasa sangat berat meninggalkan tempat yang menjadi peristirahatan terakhir adikku. Nama lengkapnya terukir indah di atas nisan itu.

Sudah empat tahun, sejak kepergian Zara ke hadapan-Nya. Kesunyian pun telah tenggelam, tak lagi menyelimuti setiap ruang di rumahku. Aku pun begitu, berusaha menghilangkan kesedihan itu seutuhnya. Ayah selalu berpesan untuk tidak terlalu memikirkan adikku, dan berusaha merelakan kepergiannya.

Aku mempercepat langkahku, menuju halaman tempat ku memarkir motor. Aku tak ingin terlambat. Hari ini hari pertamaku mengikuti orientasi akademik di salah satu perguruan tinggi.

“Kak, ini dayi ziya.” Seru gadis kecil itu. Ia mengikuti ku dari belakang.

Memang benar kata Ayah. Merelakan Zara pergi dan menerima kenyataan bahwa ia benar-benar sudah pergi, menyadarkanku bahwa Tuhan Maha Adil. Keikhlasan itu Ia ganti dengan putri kecil yang kini kembali menghiasi istana kami. Putri kecil yang mengobati rindu kami kepada zara. Dialah si pengobat rindu. Namanya Zihra Asy syifa. Saat ini usianya tiga tahun. Sama seperti Zahra ia bahkan lebih sulit mengucapkan namanya sendiri.

Karya : Hasna
Anggota UKPM FKIP UNTAD


Diterbitkan

dalam

oleh