Fakta = Ilusi (Sebuah Cerpen)

Fakta = Ilusi

Oleh: Si Fatra

Pagi itu Bari berlari mengejar waktu yang telah menjadi kesepakatan sebelumnya. Kontrak kuliah yang dimulai pukul delapan pagi harus ia penuhi. Ia meraih handphone yang sempat ia simpan di kantong samping ranselnya. Sedikit menekan tombol lock, penanda waktupun tertera di monitor ponselnya.

Bari menepuk dahi dan sejenak berhenti di antara lalu-lalangnya Mahasiswa.Seperti pagi kemarin, seperti minggu dan bulan-bulan sebelumnya, hari ini pun sama. Bari-bari lagi terlambat untuk menempuh mata kuliah sebagai jalur keberhasilan pada pendidikan formal.

Pintu itu tepat di depannya.Pintu kelas yang tertutup rapat.Bari mengangkat tangan menuntun jemari untuk menyentuh pintu berwarna hijau itu.Sedikit ada keraguan dalam diri Bari. Pintu itu seperti lapisan ozom yang sulit di tembus oleh meteor, dan Bari lah sang meteor tersebut.

Dari jarak sepuluh meter Bari melihat sebuah bangku yang berwarna abu-abu. Dengan panjang sekitar tujuh meter bangku itu menopang tiga raga mahasiswa. Sedikit beralih fokus, Bari menatap ke tiga mahasiswa tersebut, yang satunya berjenis kelamin perempuan dan yang keduanya adalah laki-laki.Bari membuat dugaan atas tatapan Mahasiswa tersebut.yang kala itu juga melihatnya. Seolah fikirnya membuat persepsinya sendiri.

“lihatlah dia, setiap hari dia selalu terlambat. Pada hal sudah semester Sembilan kan?.Hampir semua angkatannya telah lulus. Tapi dia?, masih mengambil mata kuliah pada semester bawah”

Ada yang berbisik dalam hatinya.Itu seperti bukan suara batinnya. Melainkan seperti koneksi dari orang lain.

“bukan”Bari menyangkal persepsi jiwanya sendiri.

Tersadar akan realitas yang saat ini mulai dikejar oleh orang-orang pada umumnya. Pencapaian sarjana dengan nilai setinggi-tingginya.Bagi Bari hal itu ilusi alias bulshit.

Bagi Bari ada pencapaian yang harus dituju manusia, hal tersebut baginya adalah kesadaran tertinggi dari rentetan kesadaran yang ada.Pendidikan formal dengan suguhan sistemnya adalah pembodohan baginya.Bagai buah kedondong yang Nampak lembut dari luar namun berduri dari dalam, begitulah Bari menciptakan persepsi.

“jangan goyang, bukannya prinsip adalah kekuatan atas pilihan. Meski seribu dugaan mengecammu kau tetap akan berdiri kokoh atas apa yang kau pilih saat ini”

Ada yang berbisik dari dalam hati. Bisikan yang lain dari sebelumnya, Bari menyadari itu.Bisikan yang melampaui ruang dan waktu, suara yang menjerat sadar Bari. Siapakah yang berkata kepada siapa?.Kali pertama Bari merasa ada hal yang aneh terhadap dirinya sendiri.Bukan atas pilihannya, melainkan dugaan yang mulai menguatkan itu.

“hoy, kau yang bersuara di dalam sana” Bari menunduk Menatap dadanya, . “kesalahan adalah persepsi begitu juga dengan kebenaran. Ini bukan masalah keduanya kan?. Saya tidak bertanya, kau harus menguatkan apa yang baru saja ku katakan” sama dengan bisikan itu, Bari pun bersuara pelan.

Ia mengangkat pandangannya.Kembali menatap sorot mata itu. Mata ketiga orang yang masih segar menatapnya.sementara pintu itu pun seolah bersuara untuk diketuk. Bari melirik, pintu terlihat samar, seperti engle kamera realitas yang menyuguhkan gambar fokus pada dirinya.

“betul, ini bukan masalah benar atau salah. Semua perbuatan adalah ilusi persepsi dan sekaligus pembenaran atas realitasnya, tapi adakah satu tempat yang menjadi tujuan kita bersama?, tentang apa yang seharusnya bukan apa yang terjadi”

Mata Bari tiba-tiba terbuka lebar.Seolah-olah gumam itu menggrogoti jiwa Bari untuk kepentingannya sendiri.Bari berbalik arah, seperti mencari siapa pada kehampaan objek.Ia merasa ada sesuatu di balik kehampaan ini.

“siapa itu?” Bari bertanya pelan pada kenyataan

“bukan saatnya bertanya tentang identitas tapi bertanyalah kenapa dan bagaimana. Satu pertanyaan dan pernyataan mampu mewakili semuanya.Sesuatu yang mewakili, konkrit namun singkat, absolut. Satu kali terjerat maka akan jadi keyakinan yang tak terbantahkan”

Bari semakin bingung dengan semua ini. Seperti ketibang duren runtuh, namun bukan dalam bentuk rezki melainkan kontradiksi pergulatan batin yang saling berperang satu sama lain. Penghayatan dan imaji berpadu menjadi satu seperti peleburan gula pada air yang menghilangkan identitasnya masing-masing, dan menghasilkan hal baru.

“saya menikmati apa yang telah ku pilih. Entah itu benar ataupun salah. Segala konsekuensi siap aku terima nantinya”

Masih kokoh dengan posisinya. Berdiri di depan itu. Tanpa sikap yang menjadi continue. Memasuki alam angan-angan, ataukan sesuatu telah terbuka yang jauh melampaui daya empirik. Bari semakin bingung dengan apa yang terjadi. Bari memegan pinggung dan menepukkan ujung sepatu all star-nya yang berwarna hitam putih di atas lantai bertehelkan keramik cream.

“semua ada dalam dirimu, kau hanya harus menggalinya dan menemukan sesuatu yang telah lama menjadi sebenarnya. Sesuatu yang harusnya menjadi prioritas tertinggi. Kau telah berada di proses itu. Berjalanlah terus, kau akan menemukannya”

Suara itu belum berhenti.Mengoyak jiwa secara otomatis dan melewati batas persepsi Bari.Tanpa permisi kata-kata itu datang tanpa pertimbangan gejolak rasa Bari. Apakah Bari merasa senang atau tidak, namun suara itu seakan menikmati atas apa yang ia lakukan sendiri.

Bari terdiam sejenak. Tersadar, semakin ia menanggapi dengan realitasnya maka semakin pula suara itu datang dengan wajah ilusinya.

Bersandar pada perenungan dan imaji membuat Bari sesak dalam jiwanya.Ia tiba-tiba merasa hampa atas semua pertanyaan dan pernyataan, hampa atas pilihan dan bukan prioritas selama ini. Ia berada pada titik kritis yang benar-benar memagut refleski berselimutkan dilematis.

“bangunlah, lihatlah semuanya lebih dalam. Apa yang kau tempuh mungkin pada dasarnya bukanlah kesalahan melainkan caranya. Yang kumaksud adalah pendidikan formal, bukankah lebih baik kau membeli buku dan bekerja !, kemudian melanjutkan dengan berdiskusi dengan orang-orang luar sana, namun apa yang kau alami saat ini?. Bukan hanya kau yang terperangkap, semua orang-orang disekitarmu pun sama. Aku tidak ingin mengatakan pendidikan adalah pembodohan, ada baiknya kau harus menemukannya sendiri”

Suara itu kembali datang.Meraung dari sukma yang paling dalam.Menarik energi Bari untuk semakin larut ke dalam fokusnya.Fokus terhadap gumam itu, gumam yang merobohkan dinding realitas yang selama ini belum ditempuh dalam kesadaran manusia.

“ini imajinasiku saja atas ketakutanku selama ini atau mungkin ada hal lain yang menjangkauku?, yang secara keseluruhan belum kusadari”

Dalam kebingungan Bari bertanya.Bagi Bari ada sesuatu yang mulai mengekpansi perasaannya saat ini.Suatu gerak yang muncul dari sistem fundamental.Mengikis bayang-bayang ketakutan Bari selama ini.

Sepercik ketakutan itu muncul. Ketakutan dalam kenikmatan yang alamiah ia rasakan. Kenikmatan dengan aktualisasi dan eksplorasi dalam kenyataan yang berbaur dengannya.Menjadi gelandangan kampus memang tak mudah, hanya bergelut dengan buku dan diskusi nonformal membuatnya berada dalam perantara dugaan positif dan negatif.

Terkadang ada baiknya dari sisi perwujudan intelegensi.Sebagaimana mahasiswa yang mendapat ujian terhadap kondisi bukan sistem kredit semester. Pilihan yang mengakar dari hati akan menuai refleksi tinggi dari pada merasa terikat dan terpaksa melakukan sesuatu. Begitulah Bari, ia begitu bebas atas apa yang ia pilih saat ini. Terlepas apakah itu hitam atau putih, baik atau buruk, positif atau negatif, yang jelasnya ia mengalir saja secara alami bukan mekanis.

Namun kehadiran suara itu seperti menjerat Bari kedalam zona kebimbangan.Ia mampu merasakan kalau yang bersuara itu bukan bagian dari dirinya. Karena kalau itu muncul dari dalam dirinya pastilah jeratan kebimbangan itu tak akan memagut fikirnya, namun kali ini berbeda.suara itu menghardik dan meregas semuanya dalam sekilas.

“seharusnya aku tidak terlalu memikirkan ini. Semakin aku larut maka semakin pula aku terjerat”
“kau bukannya larut Bari. Kau hanya menembus dinding yang banyak orang belum mampu menembusnya.Refleksi dan aktualiasasimu pada angan-angan sesungguhnya bukan produk imajinasi. Melainkan perjalanan nalar untuk keluar dari ilusi ini”

Suara itu menanggapi ujaran Bari.Sekarang percakapan semakin membingungkan.Entah satu arah ke dua arah ataukah sebaliknya. Bercerita dan bertanya dari siapa ke siapa = dari Bari ke Bari, ????.

Bari masih berdiri di depan kelasnya. Terdiam meresapi gejolak emosi yang mulai beresonansi.Masalah pilihan menjadi orang bebas di kalangan didikan formal, sementara kawan-kawannya telah jauh menanjak dengan kurungan sistem itu.

“kau menambah masalahku. Entah kau berbeda ataukah kau mungkin bagian dari diriku. Aku menikmati kebebasanku, kau sama saja dengan sistem itu yang penuh dengan keegoisan. Kalian masing-masing punya kepentingan sendiri. Aku bebas dan seharusnya semua orang seperti itu”
“setiap sisi yang berlawanan pasti punya sisi kesamaan, entah itu dibagian sifat ataupun wujudnya, namun pastinya ada yang memprioritaskan kebaikan bukan kesalahan dan kebenaran. Bukan aku dan kau yang akan membenarkan tapi fakta berupa dampak, bukan manipulasi yang kita sangka fakta namun ilusi. Semuanya yang ku jelaskan akan kembali ke dirimu. Kau hakimnya, karena kaulah otoritas terkuat terhadap dirimu sendiri”

“yang kau katakan mungkin ada benarnya, tapi entahlah”

Balas Bari dengan singkat.Sedetik berbaris menjadi menit suara itu tak kembali sebagaimana biasanya untuk beberapa saat lalu.Bari menunggu dengan harap, namun suara itu tak kunjung kembali. Bari semakin dirantai kebingungan atas apa yang baru saja ia rasakan.

Angin tiba-tiba berhembus sepoi.Membuat rambut panjang menari dengan alamiah. Bari mengedipkan mata seolah baru saja terbangun dari mimpi yang menenggelamkannya terlalu jauh. Pintu itu masih di depannya, dan Bari pun tersadar atas apa yang baru saja terjadi. Ini atau itu, bukanlah mimpi. []


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags: