Karena (Bagiku), Masa Lalu Tak Berlalu (Part 1)

Percayalah, Maksud Saya Tidak Ada Maksud

Halo, saya adalah pemuda.
Ini kisah saya, mungkin juga kisah bersama dia.
Ah entahlah. Apapun itu, semoga pembaca selalu bahagia.
Angin di teras Mushallah Ulul Al-Baab masih bertiup belum begitu menyejukkan kalbu dan udara di kota palu masih tetap terasa seperti kemarau, seperti itulah ku lalui hari-hariku. Hari-hariku yang membiru.
Tidak ada yang berubah, tidak ada yang berbeda, kampus UNTAD ku masih selalu jadi panggung drama. Tetapi apa yang menghantarkanmu datang menemuiku? Memberikan senyum terbaikmu dan kau seakan tidak merasa berdosa?
(masih tergambar jelas, kronologis yang membuat hati hampir di operasi)
….
Saat itu, saat hari terakhir saya di SMA, perpisahan kita tidak terjadi kecuali dengan janji kita. Saat itu, kamu katakan bahwa akan bisa bertahan dengan cinta tanpa raga. Saya pergi dengan melihat kesungguhan dimata dan wajahmu yang merona. Pergi ke kota buat kuliah, awalnya masih indah, hingga suatu ketika….
Di tengah-tengah merasakan  perpindahan status dari siswa ke mahasiswa , sungguh saya merasa berkegiatan luar biasa.  Sibuk dengan urusan tugas praktikum, tugas harian  mata kuliah dan kegiatan di dapur untuk mengisi nutrisi buat tubuh….membuat saya teramat rindu dapat perhatian dari kamu. Kamu yang ku harapkan jadi bumbu buat ku untuk berpacu dengan getirnya kehidupan kampusku.
Malam itu, ku kesampingkan segala urusan kuliahku, ku luangkan waktu untuk sekedar menyapa dan berbagi padamu. Hujan di malam itu betul-betul membuat rindu akan  kasih sayang tulusmu. Ku mulai dengan menelfon mu dan berkali-kali belum terdengar suaramu (mungkin, kau sedang tak memegang handphone mu), karena rasa rindu yang begitu menggebu, selalu ku ulangi memainkan handphone ku dan tak henti memandangi namamu di layar handphone ku, hinnga penantianku untuk menunggu suara mu pun akhirnya terjamah.
Hujan di luar masih begitu deras, ku harap tak mengurangi merdunya suara yang kau berikan padaku. Setelah salam ku sampaikan, seperti biasa, ku kira kata pertama yang ku dengar dari mu adalah jawaban salam ku. Tetapi, tanpa itu terjadi, kau berlalu dengan handphone mu hanya dengan kata-kata, SAYA TIDAK ADA WAKTU.
Apa yang kau lakukan padaku? Apa kau tidak memperdulikan rinduku? Apa kau tidak mengerti rasa ku? Apa aku tidak berarti lagi padamu? Apa aku….
Hujan di luar masih tetap deras, kali ini hujannya terasa sampe di hati. Ku mencoba mengirimkan SMS ke kontakmu dan berharap bisa dapat kata-kata yang membuat hangat pada jiwa karena hujan di luar memang begitu memberikan rasa dingin. Saya bertanya, kamu kenapa? Apa ada yang telah berubah?. Hanya pertanyaan sederhana itu yang saya sampaikan namun kau balas dengan jawaban yang begitu menyakitkan.
Hujan di luar sudah reda, tapi hujan deras masih terjadi di hatiku. Saya tidak percaya dengan jawaban SMS yang kau balaskan kepada saya. Rasanya akan tenggelam di laut dan tidak timbul lagi. Dengan tangan gemetar saya belum bisa mengetik balasan SMS buat mengutarakan isi hati tapi malah SMS dari mu ku terima lagi. Kau katakan, bahwa nama saya tidak ada lagi di hatimu dan mengabarkan bahwa kau sudah bersama dengan yang lain lagi. Pantas selama ini kau tidak bertanya akan kabarku, ternyata kau telah kau berikan kepada yang lain hatimu. Hampir saya mati menanggung cinta mu.
Hari-hari ku jalani dengan senyum di wajah namun menangis dalam hatiku. Hari biruku berganti dengan hari kelabu. Hatiku tak menentu. Kau berlalu dengan luka yang teramat sulit untuk sembuh.
Teringat masa bersama mu, janji manis mu yang tak bermakna membuatku sadar mengapa hati ini ku berikan pada cinta mu yang sementara.  Saya harus berubah? Ini adalah salah!  Mengapa saya terus-terus menganggap mu ada?
Penyiksaan cintamu ternyata membuat saya merasa harus kembali kepada sang pencipta, Allah. Saya yakin, mengapa teguran ini di berikan kepada saya, karena kisah ini tak halal bagi-Nya. Pada hari itu, kumulai kegiatan kampus ku tidak hanya dengan kuliah, saya merapat ke Mushallah Ulul Al-Baab Faperta yang di dalamnya banyak taman-taman surga. Betapa bodohnya saya, mengapa selama ini, lembaga ini ku pandang sebelah mata. Kalau bukan berproses di dalam lembaga dakwah mana mungkin saya bisa move on darinya.
Kata Hamdalah tak hentinya terucap dari lisan pemuda korban cinta buta (saat SMA).
Hari kelabu ku kembali berganti dengan hari biru. Mempelajari ajaran yang di bawa oleh Rasulullah buat saya hampir terhindar dari kata dilema. Semua solusi terasa cepat menghampiri. Semester pertama berlalu dengan IP yang maksimal itu  membuat saya ingin sujud syukur berkali-kali, mengucap terima kasih kepada Ilahi Rabbi.
Hore, saya telah menjadi mahasiswa semester 2. Semoga saja di hati-harinya masih membiru. Tapi apa yang terjadi, dia (orang yang dimasa lalu ku itu) kembali menghubungi ku. Wow, jantung saya hampir copot melihat nama “ghaib” itu muncul di  layar handphone ku.
Bismillah, saya harus bersikap dewasa. Saya harus mengaplikasikan ilmu Agama yang saya pelajari di waktu kepergiannya. Dia menyapa dengan nada manjanya, bulu roma saya merinding tak tau arahnya.
Apakah ini mentari senja? (jawab sendri!)
Yang jelas, saya tetap berprasangka baik padanya. Yang jelas, saya tidak mungkin lagi memberi hati saya pada cinta yang sementara.
Komunikasi berlanjut ke SMS, sesuai ke dewasaan hati maka saya ladeni. Pertanyaannya saya jawab seperlunya, ajakannya sebisa mungkin saya tolaknya. Saya tidak mau bermain api lagi, saya tidak mau memberinya cahaya lalu pergi begitu saja tanpa menoleh untuk sekedar mengucapkan kata sapa, saya tidak mau.

Saya telah mengalami rasanya berada dalam kehidupan pribadi tapi merasa asing dalam hati sendiri.
Berhubungan baik dengan sesama tetap akan saya lakoni kepada siapa saja, termasuk kamu yang telah menjadi masa lalu ku di SMA yang penuh sandiwara. Telponmu yang saya angkat, chat mu yang sering saya balas…yah itu karena ajaran Agama saya menyuruh berbuat baik kepada siapa saja. Percayalah, Maksud Saya Tidak Ada Maksud.
………………………………….

Sumber : Pikiran yang berbicara, hati yang terluka dan logika yang tak bermakna


Diterbitkan

dalam

oleh