Punya Mata Tapi Tak Bisa Melihat

Siang itu, rombongan muda-mudi menenteng tas tampak masuk tak berdesakan ke dalam ruang kelas, persis di sebelah ruangan yang akan kami pakai, di dalamnya sudah menunggu pengajar dengan tas kecil dihadapanya. Saat itu aku dan kawanku tengah duduk bersandar di tiang bangunan menunggu pengajar lain yang sampai sekarang tak kunjung menampakkan wujudnya, padahal waktunya sudah lewat beberapa menit.

“kemarin kontrak kuliah jam 01.00 tepat, lambat sedikit tidak bisa masuk, tapi sampai sekarang dia belum datang-datang” hardik kawanku dengan logat khasnya. Aku hanya diam sambil menahan kesalku, menunggu memang bagian dalam hidup yang paling menjengkelkan.

Udara panas memaksa masuk kedalam kulit, tarikan nafasku terasa semakin hangat. Tak berselang lama tampak wanita tua berpakaian lusuh, usianya kira-kira 60 tahun, berjalan pelan bertumpu tongkat pengait, dipunggungnya tampak sekarung penuh barang bekas, sepertinya sedang mencari tempat duduk untuk beristirahat.

Dalam sandaranku sesekali ia kulihat, wanita tua itu duduk lemah di lorong kelas tak jauh dari tempat kami duduk. Matanya letih tenggelam di antara kulit yang mulai keriput. Topi dari anyaman bambu ia lepas dan letakan disamping sekarung barang bawaanya tadi. Sesekali terlihat mengusap peluh yang menetes perlahan dari sela rambutnya.

 “Seperti pernah saya lihat” tanyaku dalam hati.

Tak salah lagi, wanita tua ini yang kulihat dua hari lalu hilir mudik disekitar ruang kelas. Saat itu ia berjalan sedikit membungkuk menyisir sudut bangunan untuk memungut setiap barang bekas yang ia jumpai. Barang bekas yang nantinya dijual dan hasilnya alih-alih dipakai membiayai anaknya masuk bersama muda-mudi tadi untuk makan sehari saja tak cukup.

Dalam setiap amatanku kepada wanita tua itu, samar-samar suara pengajar terdengar dari ruang kelas yang ditempati rombongan muda-mudi tadi, muda-mudi yang kabarnya memiliki julukan “si pembuat perubahan”. Sepertinya “si pembuat perubahan” sedang belajar bagaimana membuat hotel dengan taman yang nyaman untuk beristirahat.

“Eh, ada ketua kelas ba’ sms, katanya dosen tidak masuk tapi ada tugasnya!” ujar kawanku memotong perhatianku, dahinya sedikit mengerut menahan kesal.

“Betul kah” tanyaku memastikan.

“Betul, ayolah pulang kita” jawabnya sambil memperlihatkan isi pesanya.

“Tunggu sedikit lagi, masih panas ini” ujarku sambil mencari korek api untuk membakar sisa rokok yang terselip di kantong bajuku.

Wajar saja, kala itu matahari masih bersinar terang. Berteduh dan menghabiskan rokok mungkin cara baik untuk mengulur waktu menunggu matahari bisa bersahabat.

Tak lama berselang, rombongan muda-mudi lalu berjalan sedikit berdesakan keluar dari ruang kelas disusul pengajar yang menenteng tas kecil pertanda proses belajar telah selesai. Berjalan berirama di lorong dimana aku, kawanku dan wanita tua tadi duduk tak berjauhan. Langkahnya kelihatan pongah, seperti punya mata tapi tak bisa melihat, alih-alih ingin merubah nasib wanita tua itu, meliriknya saja tak ada.

Setengah jam berlalu, awan-awan yang tadinya menggantung bergerak perlahan menutupi matahari. Terik berganti sejuk, dedaunan melambai tertiup angin, sore perlahan mengganti siang. Kuputuskan untuk pulang kerumah sambil kuajak kawanku yang sejak tadi sibuk dengan gadgednya.

Sepeda motorku kupacu, kendaraan lain perlahan kulewati. Sesampaianya dirumah kurebahkan diriku sejanak di atas tempat tidur. Pikiranku tidak beraturan, wanita tua tadi menjebaku dalam drama moralistik di sertai perasaan empati. Sebelumnya, para cendekiawan dan intelektual sudah sering menggunakan kata “empati”. Kata sederhana yang akhirnya tampak sedikit lebih ketimbang menunggu duduk disamping wanita tua tadi dan sekadar menenagkanya untuk bersabar menghadapi hidup.

Detik telah berganti menjadi menit, aku bangun dari rebahanku, serasa lelah habis diserap kasur reotku. Aku duduk didepan meja yang biasanya kupakai untuk belajar. Lacinya kubuka hendak mengambil buku yang belum lama aku pinjam dengan jaminan kartu identitas.

Buku setengah tebal itu sepertinya siap menemani waktu soreku, buku yang tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan bidang keilmuanku. Sampulnya bergambar bocah kecil yang sedang makan makanan sisa yang berserakan dilantai. Perlahan kubuka dan kubaca, bola mataku seolah tak ingin berhenti mengikuti deretan abjad yang membentuk kata  dan setiap katanya membentuk kalimat.

Buku yang menarik untuk segera dihabiskan, tak pernah sebelumnya kudapatkan dalam proses belajar mengajar di ruang-ruang kelas. Buku karangan filsuf pendidikan Brasil yang mendapatkan penghargaan dari UNESCO tentang pendidikan dan perdamaian. Di dalamnya memuat konsep pendidikan yang ideal. Rumusanya dikenal menawarkan konsep pendidikan yang berporos pada dunia dan manusia.

Menurutnya, dalam dunia pendidikan, pengajar dan peserta didik sebagai subyek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia dalam hal ini ketimpangan adalah objek yang tersadari atau disadari (cognizable). Dengan kata lain, pendidikan haruslah menggarap dan menumbuhkan hasrat untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi.

Bola mataku  berhenti mengikuti deretan kata, menengadah aku kedalam keheningan, dari hasil bacaanku kumasuki setiap pintu didalam memoriku tentang semua fenomena yang terjadi. Pintu pertama kubuka, fenomena yang barusan kualami, tentang wanita tua itu.

“Mengapa  rombongan muda-mudi dan pengajar tadi berjalan pongah tanpa melirik sedikitpun wanita tua itu?” tanyaku dalam hati.

Dalam heningku, aku mulai menerka-nerka apa yang ada di dalam pikiran mereka. Sepertinya apa yang mereka pelajari secuilpun tak punya sangkut-paut dengan wanita tua itu. ya, membangun hotel dengan taman yang nyaman. Tak bisa kubayangkan, wanita tua dengan penghasilan sekarung barang bekas dapat membayar sewa hotel.

Pertanyaan demi pertanyaan menghujam pikiranku.

Masih menjelajahi memoriku, pintu kedua kemudian kubuka. Ternyata fenomena seperti ini terdapat disemua fakultas dan bidang keilmuan, bahkan seingatku sampai ke Prancis dan Rusia. Di Prancis ribuan mahasiswa dan dosen membuat petisi : Kami ingin keluar dari dunia imajiner ini. Mereka sadar ilmunya makin jauh dari abstraksi teoritis karena absenya realitas sebagai hal yang mendasari teori-teori akademik. Di Rusia anggota partai buruh Victor Serge sampai membuat kutipan panjang, kira-kira seperti ini :

Mahasiswa, kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini?

Fenomena ini membuat pikiranku semakin tidak karuan, kuputuskan untuk kembali mengikuti deretan kata dalam buku.

Lembar demi lembar telah kubuka, aku berhenti sejenak dan mengulang kata yang baru saja aku lewati, seolah menjadi jawaban dari pertanyaanku tadi. Pendidikan “gaya Bank”, dicetak miring dengan tanda petik. dalam pendidikan “gaya Bank” manusia tercabut dari diri dan dari kenyataan disekelilingnya yang tidak manusiawi, ibarat muda-mudi tadi diprogram khusus untuk berjalan membelakangi realitas yang tidak manusiawi, begitu keterangan kalimat selanjutnya.

Muda-mudi tadi diibaratkan “bejana kosong” untuk diisi dengan ilmu pengetahuan atau sekadar dijadikan objek investasi agar setelah lulus dapat mendatangkan keuntungan finasnsial yang berlipat ganda.

Sekarang aku bisa memahami, fenomena wanita tua dan muda-mudi yang berjalan pongah itu.

Konon setelah lulus, mereka akan mendapat keajaiban berupa perbaikan nasib menikmati sisa hidup sebelum kematianya tiba, biarpun fenomena tidak manusiawi berlangsung di depan hidungnya bahkan menimpa dirinya.

Memang, masalah hidup juga masalah kematian, suatu saat kita semua memang akan mati. Tapi, masalah kematian juga masalah hidup. Orang-orang yang hidupnya tidak manusiawi, tidak bisa mati secara manusiawi.

Dalam hembusan panjang nafasku perlahan Aku bisa menyadari, sejauh mana kita dapat keluar dari ikatan yang tidak manusiawi : menggunakan hati untuk berperasaan, menggunakan mata untuk melihat dan menggunakan telinga untuk mendengar. Semua itu mesti disertai tindakan yang berkobar-kobar, kemarahan tak terbendung dan cinta kasih yang membara dari seorang “si pembuat perubahan” untuk menghancurkan setiap benteng fenomena yang tidak manusiawi.

Gelap perlahan menggeser senja, kuputuskan untuk berhenti.

(Bersambung)

Catatan :

  • Karya sastra bukan sekadar memuaskan imajinasi tentang diri sendiri. Lebih dari itu, ia mesti dipakai untuk menangkap dan menggambarkan realitas yang timpang.

 

 


Diterbitkan

dalam

oleh