Dibungkam Amarah
Marah?
Semua orang bisa marah.
Teriak?
Semua orang bisa teriak.
Emosi?
Dendam?
Benci?
Lalu?
Apakah semua itu menyelesaikan masalahmu?
Naram Arhamzah. Pemuda itu tengan asik menatap langit senja di seore hari. Ia baru saja selesai dari pekerjaan yang baru-baru ini menjadi rutinitasnya.
“Ram, gak masuk?” Sapa seseorang yang baru saja tiba.
Pakaiannya lusuh, kotor dan bau busuk mulai tercium ketika orang itu datang. Sebuah dos nan besar yang dijahit sedemikian rupa hingga membentuk tas, bertengger dipunggungnya.
“Mulung lagi Ta?” Naram balik bertanya.
“Ya begitulah, Gimana restoran hari ini, rame gak?” Ucap Gata sambil melepas tas berisi botol plastik dan barang bekas dari bahunya.
“lumayanlah, buat betis pegal-pegal dan capek,” ucap Naram, tersenyum miris.
“Masuk yuk, gue sempat beli makanan tadi, ya… cukuplah buat ganjal perut malam ini.”
Kedua pemuda itu pun memasuki rumah yang lebih tepat disebut dengan gubuk itu. Dinding kayu berlantaikan tanah dan beratapkan daun kelapa yang sudah dijahit sedemikian rupa menjadi atap rumah layak pakai. Rumah itu mulai gelap saat malam pun tiba. Biasanya Gata menyalakan lampu gantung dengan bahan bakar minyak tanah di dinding tengah, tetapi sejak kemarin hingga hari ini jangankan beli minyak tanah, uang mereka hanya cukup untuk membeli makanan.
“Masih marah aja Ram?” Gata membuka suara.
Mereka makan dalam gelap. Gata sudah terbiasa dengan hal itu. Karena terlalu sering makan dan bergerak dalam gelap ia bahkan sudah hafal letak piring dan gelas ketika ia makan.
“Ta, besok gak usah beli makanan buat gua, soalnya gua lembur.” Ucap Naram berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Marah jangan dipendam terlalu lama Ram, ibarat makanan lama-lama bisa mebusuk.”
“Maksudnya?” Naram mulai terpancing.
“Ya maksud gua kayak makanan,disimpan lama bisa membusuk, hati manusia juga begitu, kalau udah membusuk bawaannya pikiran negatif Ram, susah buat berpikir logis dan posititf. Lo ngertikan maksud gua?” Lanjut Gata, kemudian menyimpan piring di tempat mencuci piring. Ia sudah selesai makan.
Sementara Naram masih terpaku memikirkan kata-kata Gata. Ia juga sudah selesai makan. Malam pun berakhir bersama pikiran Naram. Ia membisu hingga akhirnya ia memutuskan untuk memejamkan mata, sekedar istirahat untuk menyambut kembali hari esok.
Kicauan burung dan panasnya sinar mentari pagi menyilaukan tidur dua pemuda yang masih asik dalam mimpinya masing-masing. Melalui cela-cela dinding kayu rumah, sinar mentari berusah masuk dan mengusik tidur kedua pemuda itu.
“Bangun Ram!” Seru Gata sambil melemparkan handuk yang sudah basah kepada Naram. Ia baru selesai mandi dan segera bersiap-siap. “Gua berangkat duluan, lo jangan lupa siap-siap, bos lo udah nungguin tuh.” Lanjutnya sambil mengambil tas buatan nya yang sudah kosong.
Naram baru menyipitkan matanya, berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya. Matanya baru terbuka lebar saat melihat punggung milik Gata sebelum menghilang dibalik pintu. Ia pun segera bangun, bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaannya hari ini.
“Ram, cepetan, meja tiga dan empat belum dibersihin!” Seru Arok ketika melihat Naram sudah tiba.
Naram yang baru saja tiba, dengan cekatan mengambil kain pembersih dan segera membersihkan meja tiga dan empat. Ia bekerja sebagai pelayan disalah satu restoran cina di pasar induk. Satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Naram bersama pelayan lainnya mulai sibuk dan tenggelam dengan tugasnya masing-masing. Keramaian yang tercipta dipasar pun seperti angin lalu, tak terasa sama sekali.
Naram menghembuskan napas berat. Jam menunjukkan pukul lima sore, sejak tadi ia tenggelam dengan kesibukannya melayani pelanggan. Saat ini pelanggan mulai berkurang, ia berhenti bekerja sejenak.
“Tadi ada cewek nanyain lo,” ucap Eto salah satu pelayan, saat Naram baru saja duduk. Eto pun ikut duduk disampingnya.
“Cewek?” Naram mengerutkan kening.
“Iya cewek, karena ngeliat lo terlalu sibuk, jadi dia Cuma nitipin ini.” Kata Eto lagi sambil mempertlihatkan amplop putih ditangannya. Amplop itu pun diberikan kepada Naram.
Naram membuka amplop itu. Matanya terhanti di salah satu tulisan,
Teruntuk Naram Arhamzah, anakku. Dari Ayah.setelah membaca tulisan itu, tangan Naram berhenti bergerak. Terlalu malas unutk melanjutkan membaca surat itu. Perasaannya benar-benar sudah tertutup untuk satu nama itu. Ayah.
Ia sudah terlalu kecewa. Terlalu benci dengan ayahnya. Kata penghiatan terlalu lebih dari cukup untuk menjadi saksi atas rasa kecewa itu. Naram meremas surat itu tanpa membacanya. Dibuangnya ke tempat sampah kertas yang sudah tak berbentuk itu. Matanya seperti akan mengeluarkan urat-urat merah, napasnya memburu, ada air mata kekecewaan dibalik tatapannya.
Senja telah berakhir. Rembulan sebentar lagi akan menampakkan wajahnya. Jam menunjukkan pukul enam. Setelah kejadian tadi, Eto dan pelayan yang lainnya memilih diam, tak bertanya pada Naram. Beberapa diantara mereka sedikit mendengar mengenai latar belakang keluarga Naram. Naram si mahasiswa, begitu mereka menyebutnya. Ia baru bekerja menjadi pelayan, dua minggu yang lalu. Broken home atau masalah keluarga lah yang membuatnya terpaksa menjadi salah satu diantara mereka, pelayan di retoran cina.
“Gua balik duluan,” ucap Naram akhirnya, menepuk salah satu pundak teman-temannya, kemudian berbalik meninggalkan restoran cina itu.
Suara-suara kebisingan perlahan-lahan tertelan oleh pikiran-pikiran Naram. Pikirannya seakan melayang jauh. Melukiskan kembali peristiwa yang selama dua minggu ini berusaha untuk dilupakannya. Peristiwa yang seakan dipaksa untuk ditorehkan kembali setelah dengan susah payah ia berusaha untuk menghapusnya dari ingatan.
“Papa Cuma melakukan yang terbaik buat kamu Naram!” seru Ayahnya keras.
“Yang terbaik… Dengan membuang semua peninggalan mama, sementara papa bersenang-senang dengan perempuan itu?!” Naram tak kalah keras, “itu yang papa bilang melakukan terbaik pa?!” lanjutnya menatap lekat ke arah ayahnya.
Keduanya saling menatapa satu sama lain. Saling menyalahkan. Napas memburu, tak ada yang merasa bersalah. Keduanya merasa benar. Ayah Naram hanya ingin yang terbaik pada putranya. Hanya saja dia belum memahami apa yang sebenarnya baik menurutnya, belum tentu baik dimata putranya.
“pokoknya papa tetap mau-“
“Aku nggak setuju!” Naram memotong ucapan ayahnya, “Mama boleh meninggalkan Naram selamanya, tapi sosok mama nggak boleh meninggalkan rumah ini. Semua kenanang tentang dan bersama mama, Naram Cuma pengen itu Pa, Naram nggak minta yang macam-macam sama papa.” Lanjut Naram, melemah.
Ia memang terlihat kuat, kokoh dengan tubuhnya yang tinggi nan berisi. Tetapi hatinya tak pernah bisa beku jika telah kehilangan sosok Ibu. Hati yang selama ini di topang oleh tembok kokoh nan kuat bernama Ibu, kini telah hancur berkeping-keping. Hati itu telah rapuh entah sejak kapan.
“Pokoknya papa gak boleh-“
“Naram!” seru ayah semakin keras, membuat Naram tersentak.
Plak. Akhirnya amarah itu tak terelakkan lagi. Sebuah telapak tangan yang tak sehangat dulu melekat sepersekian detik di pipi Naram. Mata Naram kian memerah. Tak menyangka akan mendapat perlakuan ini dari orang yang selama ini menjadi pahlawan kekagumannya.
Naram berbalik setelah menerima tamparan tak terelakkan itu. Hatinya yang telah berkeping-keping kini kian hancur. Seperti pasir yang berhaburan jatuh ke tanah, tak dapat disatukan kembali. Semua kenangan tujuh belas tahun keluarganya, hilang seketika. Tak ada lagi impian masa depan sepasang suami istri yang melihat anaknya tersenyum bahagia melempar toga. Tak ada lagi impian dari senyum bahagia kedua orang tua yang menyambut anaknya pulang dari luar negeri dengan gelar master dinamanya. Semua sirna dalam sekejap. Seperti angin yang menyapu kabut, membersihkan gunung-gunung dari sisa-sisa kabut pagi hari. Seperti hujan yang menyapu abu disiang hari, tak berjejak. Seperti ombak yang menyapu jejak sendal pejalan kaki dibibir pantai, benar-benar bersih tanpa sisa.
Naram seakan berlabuh dikeramaian kota malam hari. Diantara riuhnya tawa, canda, percakapan demi percakapan orang-orang disekitarnya seakan tenggelam. Air matanya tumpah, tanpa dapat dicegahnya. Ia memeng cengeng. Hanya itu yang dapat dipikirkannya. Saat ini, mungkin hanya rembulan yang menatapnya, mungkin mengerti, mungkin njuga tidak. Angin malam juga ikut menemaninya. Hitam pekatnya malam mengalir bersama bulir hangat yang menyelimuti pipinya. Mama. Hatinya seakan berteriak memanggil nama itu. Harusnya mama membawaku juga. Pikirnya. Naram benar-benar tenggelam. Tenggelam dalam kesedihannya, hingga tak seorang pun yang dapat menolongnya. Sekali lagi benar-benar tenggelam. Menghilang ditelan malam.
“Mengapa kau menamparnya mas?” ujar seorang wanita, ketika Naram tak lagi terlihat dibalik pintu rumah.
Rustam membalikkan tubuhnya. Ditatapnya wanita itu, wanita yang diharapkannya dapat menenangkan Naram dari kepergian Ibunya setahun yang lalu. Tetapi yang didapatkannya justru sebaliknya. Naram seakan memberontak kepadanya, tidak terima Ia membawakan Ibu baru. Pemberontakan nampak begitu jelas beberapa menit yang lalu, Ia merasakan nada ancaman dan tatapan penuh amarah dimata anaknya. Benar-benar pemberontakan yang tak kuat ditahannya membuat gejolak amarah dihatinya. Seperti magma dan lava pada gunung berapi, tak kuat menahan akhirnya mereka keluar, membakar apa saja yang disekitar, tanpa memilah.
Rustam menghela napas berat, kemudian melangkah meninggalkan ruangan yang sedetik berikutnya ditutupi kesunyian.
“kayaknya ngelamun udah jadi hobi baru lo deh Ram,” tegur seseorang, memaksa Naram kembali ke dunia nyata. “Katanya lembur… tapi gak papa kok, kebetulan tadi ada ibu-ibu ngasih rezeki. Yah syukurlah sekali lagi kita masi bisa bertahan hidup malam ini.” Lanjutnya sumringah.
Naram yang masih tenggelam dengan kebisuannya, berusaha mengulum senyum. Ia tak terlalu mengenal Gata, tetapi dari nada bicara dan senyumnya menjelaskan segalanya, bahwa tak ada beban berat yang hinggap di hidupnya detik ini.
Kedua pemuda itu memasuki rumah tempat mereka menghilangkan penat hari ini. Gata dengan lincah mengisi minyak tanah ke lampu dinding kemudian menyalakannya. Uang yang dikumpulnya hari ini cukup untuk membeli minyak tanah, karena uang itu tak digunakan untuk membeli makanan.
“Nenekku dulu menyebutnya Pelita, tetapi aku tak memperdulikan ucapannya, toh dulu keluargaku masih kaya raya, pelita tak ada artinya bagi kami yang dapat menggunakan listrik sepuasnya.” Ucap Gata lagi, kali ini ia seakan menjelaskan kembali sejarah keluarganya.
Naram memang sempat mendengar cerita tentang keluarga Gata beberapa hari yang lalu. Keluarga Gata yang dulunya kaya raya dan harmonis. Seakan-akan membuat seluruh keluarga didunia ini iri melihat keharmonisan keluarga itu. Namun semuanya hilang sekejap mata saat perusahaan ayahnya bangkrut. Ayahnya di tipu. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil beberapa hari kemudian. Ia menduga itu adalah salah satu rencana jahat saingan bisnis ayahnya, tetapi ia sudah mengikhlaskan semuanya. Kerabat keluarganya juga tak yang mau menampung atau sekedar mengulur tangan untuknnya, beruntung ia mendapatkna gubuk reyok ini, walaupun terletak di sudut pembuangan sampah pinggir kota. Awalnya ia tak menerima keadilan Tuhan ini, tetapi akhirnya Ia memahami segalanya.
“Hidup ini sebenarnya mudah ram, hanya manusianya saja yang terlalu serakah dan tak dapat menerima. Ya penerimaan. Itu yang sebenarnya. Bahasa halusnya ikhlas Ram.” Gata kembali membuka suara.
Naram hanya sesekali memperhatikan Gata, Ia juga sibuk memperhatikan tanggal, kerena menurut hitungannya tidak lama lagi Ia mendapatkan gaji pertamanya. Mendapatkan uang pertama hasil jerih payahnya sendiri.
“Ram, gua bukannya sok bijak, Cuma gua gak mau lo nyesel, kayak gua yang nyesel gak sempat bersyukur waktu dulu gua masih memiliki Ibu maupun ayah gua. Gua gak mau penyesalan itu menelah amarahmu Ram. Apalah gunanya mulut, hati dan pikiran jika yang dikeluarkan hanya amarah, dendam dan kebencian. Temukan solusi Ram bukannya keluarkan ilusi. Gua gak mau Ram, lo dibungkam sama amarah lo sendiri.” Gata masih melanjutkan ucapannya.
Kalimat terakhirnya sukses membuat Naram tersentak. Gua gak mau Ram, lo dibungkam sama amarah lo sendiri. Kalimat itu masih terngiang di kepala Naram hingga Ia memejamkan mata untuk menyambut pagi kembali.
Mentari kembali menyambut pagi. Sinarnya mengenai siapa saja, tanpa memilah. Kedua pemuda yang tinggal di sebuah gubuk di sudut pembuangan sampah pinggir kota itu telah bangun sejak tadi. Keduanya tengah sibuk bersiap-siap untuk menjalani kembali hari ini.
Naram sedang dalam perjalanannya menuju r estoran cina, ia telah berpisah dengan Gata sejak didepan rumah, saat tiba-tiba seorang wanita menahannya.
“Tunggu!” seru wanita itu.
Naram berbalik, mengerutkan kening, ini kali kedua Ia bertemu dengan Ibu tirinya sejak yang pertama ketika hari pernikahan ayah dan ibu tirinya itu.
“Ku mohon, hanya sebentar,” Lanjut wanita itu, ketika melihat Naram akan kembali melangkah tanpa menghiraukannya.
“Ku mohon hanya sebentar,” kali ini suara wanita itu bergetar, “Aku tak tahu lagi harus memulai dari mana, tapi intinya saat ini ayahmu tengah terbaring sakit, ia tak mampu lagi mecari mu. Sejak kepergiannya beberapa minggu yang lalu, ia menyesal dan kemudian mencari mu tiap hari, hingga ia jatuh sakit dan tak mampu lagi mencari mu, selama sakitnya ia hanya menyebut nama mu dan juga ibu mu. Aku tak kuat melihatnya seperti itu. Ku mohon temuilah ayahmu, walau hanya sebentar.” Suara wanita itu makin bergetar, nada suaranya kian melemah. Membuat pertahanan Naram seakan ingin runtuh.
“saya, permisi.” Ucap Naram akhirnya, kemudian meninggalkan wanita itu.
Wanita itu tersungkur. Ia tak dapat menahan air matanya, tubuhnya bergetar. Ia menangis, mengingat orang yang dicintainya melemah seperti sekarat. Ia masih menangis menatap bahu Naram hingga menghilang dibalik kerumunan orang-orang yang akan memasuki pasar induk.
Naram kembali ditenggelamkan oleh kesibukannya direstoran. Hingga pukul lima sore, saat restoran akan di tutup, raut wajahnya begitu terlihat gelisah.
Naram bergegas mengganti seragam pelayan dan bersiap-siap untuk pulang saat sebuah kertas lusuh terjatuh dari dekat baju gantinya. Kertas lusuh itu terlihat seperti kertas yang sudah diremuk-remuk dan sudah sempat berbaur dengan sampah. Naram memperhatikan kertas lusuh itu. Ia ingat itu surat beberapa hari yang lalu, yang diberika Eto kepadanya. Surat dari ayahnya. Ada keinginan yang sangat besar untuk membaca isi surat itu.
Teruntuk Naram Arhamzah, anakku. Dari Ayah.
Ayah minta maaf, telah ditelan amarah.
Ayah minta maaf telah dibungkam amarah.
Atah minta maaf menyakitimu selama ini.
Ayah hanya tidak tahu caranya menunjukkannya. Menunjukkan kasih sayang ayah.
Melalui surat sederhana ini, ayah hanya ingin mengatakan bahwa ayah sangat menyayangimu Nak.
Salam dari Rustam Arianto
Untuk yang kesekian kalinya Naram meremas surat itu. Kali ini ada yang berbeda, seperti ada sesuatu yang mencekat didadanya kemudian kian membuncah hingga ke tenggerokannya. Seperti ada yang sesak didadanya kemudian memaksanya untuk mengalir hingga ke sudut matanya. Naram bergegas. Saat ini tujuannya hanya satu. Pulang dan rumah. Rumah yang sudah beberapa minggu tak dirasakannya suasana dari rumah itu. Rumah yang sudah menanam kenangan tujuh belas tahun miliknya.
Senja telah utuh meninggalkan langit bersama pekatnya malam. Naram masih diam, membisu bersama pikirannya. Ia telah berdiri di depan pintu rumahnya. Tangannya telap siap untuk mengetuk pintu atau langsung membuka saja tanpa mengetuk. Namun tiba-tiba pintu itu terbuka tanpa menunggu ketukan tangan Naram. Seorang wanita yang untuk ketiga kalinya menjadi pertemuan mereka, ibu tiri Naram telam berdiri didepannya. Ada kelegaan sedikit tersirat diwajah itu.
Naram bergegas masuk. Ia tahu ruangan yang di tujunya. Ruangan yang menjadi kamar ayah dan ibunya dulu. Di bukanya pintu kamar itu tanpa mengetuk. Tanpak seorang pria terbaring di atas tempat tidur. tubuh itu kian ringkih. Kurus. Dan melemah. Pria itu berbalik, ada sedikit senyum yang tersembunyi di sudut bibirnya.
“Kamu nakalnya jangan kebangetan donk, papa khawatir nyariinnya.” Ucap ayahnya kemudian, membuat langkah Naram terhenti tepat di samping tempat tidur. Ia menunduk, dengan cepat memeluk tubuh yang terbaring itu.
“Naram minta maaf pa,” ucap Naram masih dalam pelukan ayahnya.
“kamu itu papa cariin kok susah banget ya?” Ayah nya masih berucap tenang, walau sebenarnya sudah jatuh bulir hangat dipipinya.
“Naram minta maaf Pa,” hanya kalimat itu yang dapat keluar dari bibir Naram.
Naram pun melepas pelukannya. Tanpa disadarinya, pipinya basah dan matanya memerah. Ayahnya tersenyum. Senyum yang sudah bertahun-tahun tak nampak dimatanya. Senyum yang bahkan ia sudah lupa bagaimana bentuknya terakhir kali ia melihatnya. Senyum yang membuatnya merasa malam ini langit benar-benar berbintang.
“Kamu apa kabar?” ayahnya kembali membuka suara.
Naram hanya mengangguk, “Aku baik pa,” jawabnya, berusaha mengulum senyum.
Keduanya pun larut dalam ceritanya masing-masing. Ayahnya pun mulai bercerita pengalamannya, kisahnya, pekerjaannya, hingga keduanya terlihat seperti teman lama yang baru bersua. Malam itu benar-benar terlihat seperti langit yang berbintang.
Hari-hari berikutnya Naram semakin dekat dnegan ayahnya. Ia pun tak melupakan teman lama yang telah berbaik hati memberinya tumpangan beberapa minggu yang lalu. Ia akhirnya mengajak Gata tinggal bersamanya, dan melanjutkan pendidikan bersama.
—————————————————————————————
Penulis
Nama : Hasna Hasanuddin
Program studi : Pendidikan Bahasa Indonesia
TTL : Masamba (Sul-Sel) 02 April 1998
Hobbi : Baca novel dan dengar musik. (Nb : Paling senang baca novel inspiratif, TL)
Minat : sangat berminat di dunia kepenulisan.
Cita-cita : Penulis yang arif dan bijak. *Amin.
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan