Kuberlari dengan langkah kecilku menuju dia wanita paruh baya itu. Kugumamkan beberapa kata yang tidak jelas dan kutumpahkan semua kekesalanku. Tanpa merasa bosan ia selalu meladeniku, mendengarkan semua curhatanku dan akan merangkulku jika aku memerlukannya. Tiba tiba ia melemparkan sebuah senyum. Ya, sebuah senyum yang selalu menenangkanku. Senyum yang bahkan mataharipun tak mau keluar dari persembunyiannya karna cemburu melihatnya. Dan ia selalu berkata dengan tenang dan cara khasnya menuturkan kata “ Gapapa wong kalo dihina kan idung kamu ga ilang juga, mata kamu ga ilang juga. Biarin aja. Doakan saja dia”
Teet… teet… Teet…
Suara bel istirahat membuyarkan lamunanku, membuyarkan ingatanku akan potongan masa kecilku. Kini aku tengah berada diakhir masa Sekolah Dasarku. Tentu saja sebagai anak SD yang tengah berada dikelas akhir aku butuh asupan tenaga untuk memberikan semangat menghadapi ujian. Ku berjalan gontai mengitari kantin sekolahku. Pilihanku jatuh pada nasi kuning terenak di sekolahku. Bi sum itulah sapaan akrabnya. Bi sum adalah seorang wanita renta yang masih kuat tuk berjualan. Aku membeli sebuah nasi kuning dengan sambel yang cukup banyak. Maklum dibesarakan dengan orang tua penikmat sebuah benda yang bernama cabai membuatku punya sebuah prinsip makan. Gak pedes ya ga makan.
Tanpa sadar kulewati seorang wanita tua yang sudah memiliki cukup banyak uban dengan tanpa sapa dan tegur. Tiba-tiba ia menarikku.
“Mengapa engaku tak menyalamiku?” ungkapnya penuh kepongahan
“Maaf saya tidak melihat tante” jawabku polos dan penuh kebingungan akan sikapnya. Tak biasanya ia seperti ini. Ia seperti dipenuhi rasa benci terhadap diriku. Tatapannya seolah jijik padaku
“ Jangan menjadi sama dengan mamamu ya! Mamamu itu adalah seorang iblis bertopengkan malaikat!”
Seperti tersambar sebuah petir. Aku kaget dan tak bisa berkata-kata. Emosiku seperti tak dapat dibendung lagi. Jika ingin marah padaku ya marah saja! Bukan begitu caranya. Lagipula apa maksudnya mengatakn seperti itu pada ibuku.
Teeet… teeet….. Teeet… bunyi itulah yang membuatku tersadar dari emosi yang berkecamuk dalam dada. Mendengar kata kata wanita tersebut tanpa sadar beberapa orang yang berada disekitarku telah melihat kearahku dan menunggu reaksiku. Malu dan marah. Tanpa sepatah kata ku tinggalkan wanita tua yang kini tengah tersenyum itu. Yang membuatku semakin ingin memakinya. Kududuk dikelas. Pikiranku kacau semua materi tidak ada yang masuk dalam otaku. Semakin ingin kupulang tuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Kembali kuceritakan kekesalanku pada ibuku seperti biasanya tapi hari ini berbeda aku menuntut sebuah penjelasan dibalik arti kalimat “iblis yang bertopengkan malaikat”. Ia pun kaget mendengar yang terjadi padaku. Ternyata ia memendam sebuah masalah yang sangat berat. Menurutku selama ini ia baik baik saja. Karena sukacita terlihat jelas setiap harinya. Senyumnya selalu menghiasi hari-harinya. Tapi kini baru ku sadari ternyata ia pun tak luput dari sebuah masalah yang bahkan membuatku termenung mendengarnya.
Masalahnya sudah menyangkut nama baiknya. Sudah menyangkut harga dirinya sebagai wanita. Ia di fitnah dengan kejam dari beberapa pihak yang tidak suka pada kebaikan hatinya. Bahkan pada saat terpuruk ini semua sahabatnya meninggalkannya. Kesannya lebih percaya pada semua fitnah yang beredar. Tapi ia tetap santai. Ia masih dapat mengatakan “Gapapa, santai, wong kalo dihina kan idung kamu ga ilang juga. Biarin aja. Doakan saja dia”. Kesabarannya terkadang membuatku kesal. Seakan ia adalah orang bodoh yang membiarkan dirinya dipermalukan. Ia tentu saja bisa membela diri. Semudah membalikkan telapak tangan untuk membuat mereka yang memfitnahnya bersujud dikakinya agar tak masuk penjara. Bukti telah ia miliki. Tapi ia lebih memilih diam dan tak ingin berkata apapun.
Setahun lamanya ia menanggung semua masalahnya dan lebih memilih diam tak menjelekkan siapapun. Terkadang kulihat tangisnya disela kesibukannya, terkadang pula kudengar isaknya malam hari. Mengadu pada sang khalik itulah kesukaannya. Pada saat itu maka ingin kucaci maki semua pihak yang terlibat namun kembali senyumnya menenangkanku. Kulihat ia menitikkan air matanya disela-sela doanya, saat kulihat pilu dan tangisnya juga menjadi bagianku. Namun saat kutanya kembali mengapa ia terdiam ia hanya akan tersenyum.
Kini kutau setelah waktu berlalu apa yang ia katakan benar. Ia selalu mengatakan “Gapapa, santai, wong kalo dihina kan idung kamu ga ilang juga. Biarin aja. Doakan saja dia”. Semuanya terungkap tanpa ia berbicara tanpa ia membela. Dia membuktikan semuanya. Bahkan Tuhan menjadi pembelanya. Ia membuktikan kata-katanya bukanlah omong kosong. Dan senyumannya membutikan semuanya.
Kini aku beranjak menuju fase remaja. Yap sebagai seorang anak jagir sapaan khas orang tentu saja aku pernah mengalami banyak masalah. Pernah difitnah dan dijatuhkan ataupun semacamnya tapi aku akan ingat perkataannya dan senyumannya. Jika kutemukan masalah sejenis maka akan kugumamkan sebuah kalimat ajaib bersamaan dengan sebuah senyuman dipipi
“Gapapa wong kalo dihina kan idung kamu ga ilang juga, mata kamu ga ilang juga. Biarin aja. Doakan saja dia”
Senyumnya telah menjadi semangatku. Nasihatnya telah kembali menjadi bagian utama dari setiap langkahku.
Dan.
Di hari ini dia berulang tahun. Selamat ulang tahun inspirasiku. Selamat ulang tahun kekuatanku. Selamat ulang tahun penopangku. Maafkan aku yang belum bisa membuatmu tertawa atas kelakuanku, membuatmu tersenyum atas pencapaianku. Maafkan anakmu yang sering membuatmu menitikkan air mata padamu. Dan satu pintaku tetap berikan senyum terbaikmu yang dapat mengalahkan sang mentari untukku kelak.
———————————-
Karya ini diikutkan dalam Lomba Menulis Spesial Hari Ibu yang dilaksanakan oleh anakUntad.com
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan