“Jika diibaratkan sebuah benda ibu adalah alarm bagiku, dia adalah alarm terbaik”
“Ma ? Mama ?” Panggilku pada seseorang yang telah melahirkanku.
“Sepatuku dimana ?”
“Kamu yang pakai masa tanya mama” Teriak mama dari dapur.
Begitulah cara mamaku mendewasakan aku, ya ibuku inspirasiku seorang guru yang tidak pernah aku akui kalau dia seorang guru. Bercerita tentang ibu banyak yang akan aku ceritakan. oh ya, namaku Reza umurku 21 tahun dan dengan umurku yang sekarang ini tidak mungkin aku menceritakan ibuku dalam kurun waktu beberapa tahun dari kelahiranku sampai sekarang ini mungkin akan sangat panjang. karena dia adalah orang sangat menginspirasi bagiku. Disini aku hanya akan menceritakan beberapa bagian saja yang bisa dibilang membuatku terinspirasi. Dan mungkin masih ada orang yang lain yang tidak menyadari betapa menginspirasinya seorang ibu, tapi kalau kalian tidak tau sekarang, mungkin kalian akan tau nanti.
Kita mulai dari sini, Pernahkah kalian sadar ? bahwa ibu tidak pernah mengeluh akan kalian ? ya.. mungkin ada beberapa keluhan yang sering keluar dari mulutnya tapi itu bukan benar – benar keluhan. melainkan hanya untuk membuat kalian sadar akan apa yang kalian telah perbuat atau ketika kalian sedang melakukan kesalahan, Itulah ibu menurutku, dan mungkin menurut kalian juga begitu.
Ibu ? Itu adalah kata yang paling indah menurutku ketika aku tau maknanya.
Ibu adalah orang pertama yang aku temui di tangisan awalku ketika aku ada didunia, orang yang selalu ada disampingku, aku adalah anak ibu, karena tali pusarku itu dulunya tersambung langsung dengan ibu, ibu yang memberiku kehidupan sampai aku menjadi seperti sekarang ini, mulai dari kecil sampai aku besar, mulai dari merangkak sampai berjalan, ibu ada, bahkan selalu ada. Mungkin itu yang membuatku berkata bahwa ibu adalah seorang yang hebat, seorang guru yang selalu membimbingku disetiap saat, ya.. guru yang sebenarnya kataku.
Aku ingat waktu SD Aku di ajarkan menulis dan membaca oleh guruku di sekolah dan Aku percaya bahwa yang lebih banyak berperan itu adalah Guruku dan Aku pintar dari Guruku, namun itu semua salah, Aku ingat ketika di beri tugas membaca dan menulis, pada awalnya Aku tidak mengetahui caranya, dan Aku mengeluh ke dia (Ibu maksudku), karena Dia yang selalu memantau-ku, Dia yang mengajariku untuk beranjak dari ketidak tahuanku menjadi tahu. Ibu, oh Ibu, Aku lebih banyak waktu denganmu ketimbang dengan sekolahku disaat mereka yakin yang mendidik mereka itu adalah sekolah mereka, namun buatku itu adalah salah itu kesalahan besar yang mereka pahami.
Namun semua itu seketika berubah ketika aku mulai beranjak dewasa dan masuk kesekolah yang lebih tinggi, aku mulai mengabaikannya, mulai tidak mendengarkannya, mulai nakal tepatnya, tapi tidak ada henti – hentinya kau untuk mengingatkanku.
“Nak, jangan lupa belajar,” Kata ibu.
“Nak, jangan lupa mandi”
“Jangan lupa sholat”
Seperti angin lalu aku membiarkan ia terus memberitahuku seperti itu, yang pastinya itu untuk kebaikanku kelak. Seperti itu terus yang aku lakukan sampai seorang yang lemah lembut kulihat ketika aku masih kecil berubah menjadi seorang yang pemarah yang selalu memarahiku karena entah apa kesalahanku menurutku. Terus itu yang aku lakukan sampai aku beranjak kesekolah yang lebih tinggi lagi dan sampai masuk universitas.
“Eca ?,” panggilan kesayangan seorang ibu kepada anaknya.
“Jam berapa seleksi bersama masuk perguruan tingginya ?”
“Jam 10 ma”
“Ini sudah jam berapa ?,” kata ibu.
“Kan masih 2 jam lagi,” Kataku ketika masih berada di tempat tidur sambil tiduran.
“Nak bangun saja dulu terus siap – siap”
“Uhh.. (mama ini selalu saja),” Kataku dalam hati sambil menggeram.
Begitulah jawabku ketika ketika aku lagi malas mendengarkan kata – katanya yang menurutku itu adalah sebuah ceramah. Namun tanpa henti dan ada rasa bosannya dia terus memberitahuku dan dia tetap biasa saja dan hanya berkata.
Nak bangun dan bersiaplah selagi masih ada waktu, “Lebih baik kamu yang menunggu waktu jangan malah sebaliknya karena waktu tidak bisa menunggu”, (kata ibu dengan nada pelan agar aku mendengarkannya) aku bangun dengan keadaan terpaksa karena ibu terus memberitahuku untuk bangun, dan setelah itu aku bersiap, dan akupun berangkat tanpa ada terlambat sedikit pun.
Akupun lulus seleksi, ibu balik ke kampung dan aku masih tinggal disini untuk sekolah, dia selalu memantauku dari dari jauh lewat telepon, tidak sering dia meneleponku hanya sehari sekali dan itu berlangsung selama setahun. tidak sering juga aku mengabaikannya sehingga seminggu biasanya hanya tiga kali meneleponku hanya untuk tau kabarku, aku sudah makan atau belum, hanya untuk tahu anak kesayangannya ini sedang apa, rindu mungkin, karena aku jarang pulang untuk melihat dia.
MINGGU, PUKUL 04.00 SORE
“kriingg,” Handphoneku berdering.
Terlihat tulisan mama di nama kontaknya, awalnya kubiarkan, tapi terus menelpon seolah memaksa aku untuk mengangkatnya.
“Assalamualaikum,” Kata ibu.
“Walaikumsalam,” Jawabku dengan suara serak yang baru tebangun dari tidur.
“Kabarmu gimana nak ?”
“Baik ma”
“Mama bagaimana ?”
“Baik nak,” Tapi kali ini ada keluhan sedikit dari dia yang tidak biasanya.
“Kamu masih punya uang nak ?.”
“Masih ma, kenapa ?,” tanyaku dengan agak heran.
“Bisa belikan mama obat dlu ?,”
“Kenapa ? Mama sakit ?,” tanyaku.
“Tidak,” Jawab ibu dengan membantah.
“Tapi kenapa minta beliin obat ?,”
“Mama Cuma merasa sakit sedikit di bagian punggung mungkin karena udah tua,” Jawabnya.
Sambil menyuruhku lagi untuk membeli obat yang sudah aku lupa namanya sekarang yang seingatku obat itu untuk tulang yg kropos. Dan juga seolah ingin menyuruhku pulang untuk melihat keadaanya.
“Iya ma,” Jawabku.
“Eh tapi ini obatnya aku kirim sama siapa ?,” tanyaku.
Karena pikirku hari ini minggu dan aku tidak mungkin pulang karena besok harus masuk kampus lagi
“Nanti kasih saja ke papamu,” Jawab ibu.
“Oh.. papa kesini?,” tanyaku.
“iya,” jawab ibu.
Entah ada angin apa dia datang di hari minggu (kataku di dalam hati).
“Nak, nanti jangan lupa cuci baju sendiri karena besar sudah kuliah,”
“Sudah bisa atur diri sendiri jadi tidak perlu mama ingatkan lagi,”
“Belajar yang benar harus jadi contoh yang baik buat adik – adikmu,”
“Jangan nakal, harus dengar apa yang orang tua katakan terutama papamu, dia yang cari uang untuk kalian,”
Tanpa aku ketahui alasan ibuku langsung berkata seperti itu, dan dengan hanya diam, aku mendengar ada perkataan yang ditambah dengan adanya perasaan lain ketika mendengar kata – kata itu.
“Iyaa,” dengan suara agak pelan aku menjawabnya.
“Aku keluar dulu ma, mau pergi beli obat untuk mama,”
“Iya nak hati – hati di jalan”
“Assalamualaikum,” sautku
“Waalaikum salam,” jawabnya.
Obatnya sudah aku dapat, dan aku tinggal menunggu papaku untuk menjemput obat itu dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam dengan bertanya kenapa lama sekali ? tidak lama kemudian aku melihat cahaya lampu mobil yang datang dan berhenti tepat di depan kosan tempat tinggalku dan ternyata itu papaku. Dan ketika mau memberikan obat itu dengan wajah heran kenapa banyak orang di dalam mobil tersebut termasuk paman – pamanku yang kerja di kota ini dan aku juga melihat adik perempuanku di dalamnya, dia sekolah disini juga tetapi tinggal di asrama karena dia masih SMP dan sekolah di sekolah yang bernuansa agamais.
Dengan perasaan bingung Aku melihat expresi sedih dari wajah mereka, dan aku juga bertanya dalam hati kenapa mereka seperti itu.
“Ayo nak, naik,” saut ayahku.
“Kemana pa ?,”
“Mamamu masuk rumah sakit dan sekarang di rawat di UGD,” katanya dengan tidak memandangku.
“Tadi barusan telponan sama aku pa, dia bilang baik – baik saja Cuman lagi suruh beli obat saja terus titip ke papa”
“Ayo nak, naik,” kita pulang liat mamamu.
Dengan raut wajah yang sangat sedih dia berkata seperti itu sambil melihat kearahku. Adik dan juga paman – pamanku ikut sedih ketika ayahku berkata seperti itu ke aku. sontak aku menjadi seperti seorang yang lagi sakit, lemas, sperti darahku sudah tidak mengalir lagi ke seluruh tubuh. aku lemas, shock, mendengar orang yang tadi menelponku dengan nada biasa – biasa saja ternyata menyembunyikan sesuatu. Dan dari perasaan shock tadi sejenak aku rehat akan kata – kata ayahku tadi dan dan berpikir ibuku akan baik – baik saja, dan memulai lagi kepanikanku Ketika aku sudah duduk di depan bersama ayahku yang mulai aku hujani dengan berbagai pertanyaan tentang ibuku.
“Pa? Mamaku kenapa ?,”
“Kenapa dia sakit tidak bilang – bilang ke aku ?,”
“Tidak bilang – bilang ke kita anak – anaknya ?,”
“Papa juga kenapa tidak kasih tau ke aku, dan ke adik – adik ?,”
Dia hanya diam tanpa bisa berkata apa – apa sambil meneteskan air matanya, dan sekilas aku memperhatikan kebelakang melihat adik dan juga paman – pamanku yang tambah sedih mendengar percakapan ini.
“kringg,” handphone ayahku berdering namun dia menyuruh agar aku yang mengangkatnya karena dia sedang menyetir, di handphone itu tertulis nama bibiku yaitu adik dari mamaku.
“Ya kenapa bi ?,” tanyaku.
“Ini eca ya ?” tanyanya.
“Iya bi”
“Nak, yang kuat ya”
“Kenapa bi ? mamaku kenapa ?”
“(Hanya suara tangis dari bibiku yang aku dengar)”
“Mamaku kenapa bi ?” tanyaku lagi dengan suara tangisku yg mulai terdengar keras
“Mamamu sudah tidak ada nak…..”
Sontak dunia seperti terlihat gelap di mataku, dengan airmata yang sudah tidak bisa terbendung lagi aku menangis seperti orang gila yang lupa akan dunia, dunia seperti sudah tidak ada lagi untukku tanpa seorang yang selalu ada di belakangku yang selalu mendukungku untuk apapun hal positif yang ingin aku lakukan yang selalu mengingatkanku akan waktu, akan ini, akan itulah, yang kadang aku sepelekan.
“IBUKU INSPIRASIKU”
“Lebih baik kamu yang menunggu waktu jangan malah sebaliknya karena waktu tidak bisa menunggu”
Seperti punya pengalaman lebih tentang waktu dan pandai menyembunyikan perasaanya di depan anak – anaknya sehingga anak – anaknya tidak perlu khawatir akan dia, dan selalu terlihat kuat, itulah yang selalu aku ingat ke dia ketika dia masih ada, dan itulah yang selalu mengispirasiku sampai sekarang ini.
-Rahma Djurni Yunde 1974 -2015- Ibuku ^
————————————————-
Karya ini diikutkan dalam Lomba Menulis Spesial Hari Ibu yang dilaksanakan oleh anakUntad.com
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan