“Kita adalah sepasang jarak yang enggan berjarak meronta melawan jarak”
Mama, Permata hatiku!
Juli di 2016, Namaku Evi, aku seorang siswi tahun ke dua di salah satu SMA berbasis boarding school, jarah 250 km menjadi dinding pemisah antara aku dan keluargaku. Terutama dia kekasihku; mama. Berbahagialah, karena minggu depan dan 2 minggu selanjutnya aku akan libur dan itu artinya aku akan pulang.
Setiap perempuan itu special. Aku percaya itu. Tapi Mamaku specialnya pake lambang ‘sudut tan’ yang artinya tak terhingga. Meski aku jauh dari mama, tetapi beliau selalu menelfonku. Tiap hari malah -_-. Aku bosan di telfonnya tiap hari, malah di hari-hari libur seperti hari sabtu dan minggu, ia menelfonku sampai 3 kali sehari. Tak jarang aku enggan mengangkat telfonnya—kala itu. Anak yang durhaka bukan? Silahkan menghujat ku. Aku tahu aku bersalah dan pantas disalahkan.
Aku sangat mencintai mamaku. Aku merindukannya di setiap helai nafasku. Tapi kalimat itu tak pernah ku ungkapkan kepada beliau. Beliaulah yang lebih sering mengungkapkan itu. Sebenarnya aku juga merasakan apa yang dirasakan mama. Tapi lidahku terlalu kaku untuk berucap serupa. Maaf mama:(…
Ku ketuk pintu rumahku sembari celingak celingukan melihat-lihat perubahan yang ada. Mama ku membuka pintu rumah, ia memelukku erat sembari menumpahkan segala cinta dipadu rindu yang akulah penawarnya.
“Mah, Aku pulang… Karena sadar kau tempatku berteduh dari bisingnya rindu”—ucapku dalam hati sembari menyambut pelukan mama
Mama, Wanita Hebatku!
Aku menatap malu pada foto-foto kecilku yang…. ahhhh sudahlah… hitam dan kerdil, lebih mirip bocah laki-laki tepatnya,.. kubandingkan dengan foto adikku eva… ia tampak lucu, putih dan tentunya tidak mirip laki-laki. Kemudian tanpa sadar ternyata mama sudah duduk disudut tempat tidurku. Entah bagaimana mulanya, tapi yang ku tahu, sekarang mama tengah bercerita perihal pertemuannya dengan Bapak. Kata mama dulu Bapak sudah S1, sedang mama masih menempuh pendidikannya yang masih semester 4, tetapi karena Bapak sudah ingin melamar… akhirnya mama memutuskan untuk menikah.
“Kenapa ki mau menikah sama bapak, na nda ada pi kerjanya ma?”—Kataku menggunakan dialeg Bugis yang artinya ‘kenapa mama mau menikah sama Bapak? Kan Bapak belum punyak karja’. Mama terdiam sejenak. Sembari menerawang-rawang. Kata Mama, Bapak itu aura pekerja kerasnya sudah keliatan dari dulu, mama juga yakin bahwa bapak bisa menuntun mama ke jalan yang lebih baik. Contoh kecilnya sholat. Bapak berhasil merubah mama. Mama ya, percaya saja sama bapak. Sesulit apapun bapak mencari nafkah, Mama selalu berusaha meyakinkan bapak, membantu bapak, dan tentunya selalu men-support bapak.
Mama, Cahaya Hidupku!
“Kamu itu boros sekali, Nak!”
“Mama sama Bapak itu banting tulang supaya kamu bahagia!”
“Bisa tidak kamu mengerti bagaimana diposisinya mama?”
“Bla! Bla!bla!”
Februari di 2017, mama marah-marah. Pasalnya aku kembali meminta uang jajan. Sederetan kalimat yang membuat telingaku kepanasan, akhirnya membuatku memutuskan untuk menonaktifkan hpku. Mama marah karena uang jajan harusnya untuk sebulan penuh, kuhabiskan dalam seminggu. Hpku kunonaktifkan selama hampir seminggu. Aku takut dan tak mau mendengar ocehan panjang mama. Iya aku tahu akulah yang pantas disalahkan.. hujatlah aku sesukamu. Silahkan.
Aku menatap nanar langit-langit kamar asramaku. Hingga pengumuman dari speaker asrama terdengar. “Disampaikan kepada siswi atas nama Evi agar segera ke sumber suara”. Hatiku dag dig dug ser sembari berjalan menyusuri tangga asrama menuju ke perumahan pembina asrama yang berada tak jauh dari asramaku. Itu telfon dari mamaku—kata si pembina asrama. Beliau juga mengatakan bahwa mama mengirim sms “saya rindu sama anak saya, bisa saya bicara sebentar?”. Hatiku gentar membaca sms mama…. aku sontak berlari keasrama untuk menyalakan hp—ku.. dan ku temukan sederetan kata maaf dari mama yang berhasil membuat tangisku pecah.
“Maafkan mama nak, bahkan jika harus merelakan tangan dan kaki mama, mama ikhlas.. asal kamu bisa tersenyum dan bahagia lagi”
Ku telfon mamaku dengan nafas yang masih ter engah-engah. Tak banyak yang kami bicarakan, hanya permintaan maaf dan sisanya isak tangis. Aku ditikam rasa bersalah karena ulahku.
Mamaku tersayang, pula jantung hatiku. Terimakasih sudah suka dan rela menampungku di dalam kandunganmu. Di beri makan—pula hehehe… Mah, hari ini bukanlah hari jumat seperti jumat yang biasanya.Hari ini adalah hari untukmu mama. Untuk semua perempuan yang telah menampung bayi dikandungannya. Dibawa kemana-mana, di beri makan, disayang-sayang…hingga akhirnya dirawat sampai sebesar saat ini.
“Terimakasih Mama,untuk setiap air susu yang mengalir bersama denyut nadiku. Tanpamu,aku takkan mampu menjadi seperti sekarang ini mama. Denganmu, Aku bisa memahami bagaimana cara mengatasi hal-hal baru yang menyapa hidupku. Kau adalah guru Proses Pendewasaan Terbaik, Mah”.
Salam Sayang
Evi Hadriani, Putrimu yang Cantik;)
———————
BIODATA PENULIS
Evi Hadriani di lahirkan di Luwu, 14 Oktober 1999. Anak sulung dari pasangan Hadrawi dan Bunga Dewi. Tinggal di Desa Cenning Kec. Malangke Barat Kab. Luwu Utara Sulawesi Selatan. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan di Universitas Tadulako. Cp: 085394925708, E-mail: evihadriani@yahoo.co.id / evihadriani1999@gmail.com
——————————————————————————
Karya ini diikutkan dalam Lomba Menulis Spesial Hari Ibu yang dilaksanakan oleh anakUntad.com
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan