Ada hal yang melegenda dari persoalan-persoalan sederhana tentang gadis lugu itu. Walaupun kisahnya telah berakhir beberapa dekade yang lalu, nama wanita itu masih saja menjadi bahan perbincangan hangat di tiap sudut kota kecil itu, entah apa yang merasuki para warga ketika membicarakan tentang gadis yang satu ini. Seketika suasana berubah menjadi hangat jika sudah menyebut ‘Ratih’. Satu persatu mulut sambung-menyambung, menelusuri bab-bab baru dari legenda yang tak tau entah di buku mana dituliskannya.
Ratih memanglah gadis lugu, dia mulai berada di kota kecil itu beberapa tahun silam. Di balik keluguannya dan parasnya yang cantik, ada sisi misterius tersendiri tentang kehidupannya, yang hanya diketahui segelintir orang. Sisi lain inilah yang kemudian menjadi awal mula legenda gadis lugu yang bernama Ratih itu.
Ratih datang ke kota itu bersama Pamannya, lima tahun sebelum melegenda seperti saat ini. Awalnya mereka membuka sebuah warteg sederhana di kota kecil itu, tak butuh waktu lama warteg sederhana itu berkembang pesat menjadi sebuah rumah makan yang maju.
Seperti kembang segar yang baru saja dipetik dari desa, tentu saja gadis cantik seperti Ratih mendapat perhatian lebih dari para pria, karena memang tak banyak gadis cantik sepertinya di kota kecil itu. Cantik, sopan, baik hati tak tau kalimat apa lagi yang pantas menggambarkan kembang segar yang satu ini. Dari sekian pesona yang dimiliki olehnya, hal paling menarik adalah keluguan Ratih, inilah yang menjadikan para pelanggan betah untuk terus mengisi meja-meja makan di wartegnya, terlebih para kaum adam.
Namun di balik kesuksesan warteg pamannya, tak banyak yang tahu, dalam kamar gelapnya beberapa tetangga sering mendengarkan suara tangisan seorang gadis. Tak tau siapa yang menangis dan apa yang ditangisi. Suara itu berlalu begitu saja. Banyak yang menduga itu suara Ratih, namun masih tak tau apa sebab dari tangisan itu.
Sampai suatu ketika, ada seseorang yang mulai merasa terganggu dengan suara-suara tangisan itu. Karno namanya, sedikit cungkring dengan rambut ikal jadi ciri khas resminya. Berbeda dari kebanyakan pria di kota itu, Karno mungkin satu-satunya pria yang sama sekali tidak tertarik dengan paras cantik Ratih. Karno merasa Ratih sama halnya dengan gadis-gadis kebanyakan lainnya. Bahkan seorang sahabatnya menyebutnya lelaki aneh, kadang sahabat lainnya menyebut homo, lainnya lagi menyebut impoten.
Karno tinggal tepat di samping rumah Ratih, bersebelahan kamar yang hanya di batasi sebuah pohon buncis dan beberapa pot bunga bugenvil, kadang-kadang batas antara rumah mereka menjadi tempat perkelahian kucing kelaparan yang sedang berebut makanan, bahkan suara deburan air kamar mandi Ratih pun dapat terdengar dengan jelas dari kamar Karno.
Saking penasarannya dengan suara tangisan itu, Karno akhirnya memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya menuju ke depan pintu rumah Ratih. Pasalnya Paman Ratih memang terkenal cukup galak. Walaupun sedikit enggan, akhirnya dia memantapkan niatnya dengan harapan rasa penasarannya bisa tertuntaskan.
Tangannya diangkat. Beberapa saat kemudian terdengar suara *tok tok tok* (bunyi pintu diketuk). Di hadapan Karno kini berdiri seorang pria kekar sedikit brewokan, ya dialah Paman Ratih.
“Selamat malam tuan” sapa Karno dengan wajah yang sedikit menunduk kebawah
Dengan nada sinis Si Pria kekar brewokan yang merupakan Paman Ratih menjawab “Ada perlu apa?”.
“Sedari kemarin malam saya mendengar seperti ada suara tangisan dari rumah tuan…” Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, Si Pria kekar brewokan tampak acuh dan langsung menutup pintu rumah dengan sedikit suara bantingan terdengar *gubrak*, sembari membentak “Urus saja urusan kalian, jangan ganggu kami”
“Setan! Sombong skali manusia ini” umpat Karno dalam hati merasa jengkel dengan perlakuan Paman Ratih barusan.
Setelah hari itu, Karno memutuskan untuk tidak lagi peduli dengan suara tangisan yang sering ia dengar di kala malam sunyi, atau membangunkannya saat sedang asik-asiknya bermesraan dengan bunga tidur, meskipun rasa penasaran tentang suara tangisan itu masih saja terus menghantui pikirannya.
***
Seperti sore kemarin atau pagi tadi, Ratih masih mengenakan celemek bunga mataharinya (mungkin hanya satu-satunya miliknya). Suasana rumah makan itu tetap ramai seperti biasanya, lagi-lagi para pria masih mendominasi meja-meja makan, hanya meja bagian tengah yang diisi oleh para hawa, sementara di sudut kanan depan tampak Karno sedang menikmati makan siangnya.
Siang itu, masih dengan celemek bunga mataharinya, Ratih mengantarkan pesanan ke salah satu meja makan yang diisi beberapa pria.
“Permisi, ini pesanannya tuan”
“Terimakasih cantik” ucap salah seorang pria dengan muka mesumnya sembari menepuk bokong gadis lugu itu, sementara tiga pria lainnya tertawa puas melihat kejadian itu.
Muka Ratih memerah, dengan lugunya ia hanya menjawab “Permisi”, sembari berjalan kearah Pamannya. Anehnya saat melaporkan kejadian itu kepada sang Paman, Si Pria kekar brewokan hanya tertawa dan tampak tak mempedulikan apa yang baru saja terjadi. Karno yang daritadi memperhatikan apa yang sedang terjadi, seketika darahnya mendidih, emosi melihat pemandangan yang sedang terjadi.
“Setan kalian! Seandainya saja ibumu yang diperlakukan seperti itu”
Karno memanglah tipe orang yang tidak tega-an melihat jika ada wanita yang diperlakukan seenaknya, karena sebelumnya ia memiliki kenangan buruk tentang Ibunya yang harus meregang nyawa akibat perlakuan Ayahnya, alhasil Karno harus tinggal bersama Bibinya sementara Ayahnya dijebloskan kedalam penjara. Trauma itu terus menghantui kepala Karno, dia bisa seketika sangat tempramen ketika melihat wanita diperlakukan tidak lazim seperti itu.
***
Belakangan Karno mulai memahami sebab musabab tangisan yang kerap didengarnya malam hari itu, mungkin saja atas segala perlakuan yang diterima Ratih selama ini, atas segala penindasan yang ia rasakan oleh Paman bajingannya itu. Sungguh gadis itu terlalu lugu untuk diperlakukan seperti itu.
Apa mau dibuat, Ratih tak bisa melakukan apapun, dia terlalu lugu, sekolah pun tak ada. Pikiran orang-orang tua di desa yang meniscayakan sekolah bagi anak perempuan mungkin jadi salah satu penyebabnya. Ya, Ratih memang terlalu lugu sekaligus bodoh mau saja diperlakukan seperti itu. Perihal masalah yang menimpanya pun hanya Karno seorang yang mungkin memahaminya. Ya, hanya Karno seorang. Lelaki yang tinggal tepat bersebelahan kamar dengannya, hanya lelaki ini saja.
Malam hari setelah kejadian siang tadi, lagi-lagi sebuah tangis menganggu kepala Karno yang baru saja merebahkan badan di kasur lusuh miliknya. Seluruh kejadian siang tadi sungguh berputar-putar di kepalanya.
“Ada yang harus diperbaiki di sini, aku harus menyelamatkan gadis malang itu” spontan nurani Karno mendengung-dengungkan kalimat itu, ditambah nalarnya yang semakin penasaran atas apa yang sedang terjadi di kamar Ratih. Diambilnya sebuah balak kayu berukuran cukup besar. Dipanjatnya tembok yang menuju ke kamar Ratih, beruntung jendela kamar sedang terbuka. Mata Karno seketika terbelalak, melihat pemandangan keji di depannya. Sebuah tubuh kekar besar yang membelakanginya (karena posisi kasur yang menghadap ke jendela) sedang menindih seorang gadis kecil di bawahnya. Emosi Karno meledak-ledak, ia tahu betul kali ini perlakuan yang diterima Ratih segala penasaran atas suara tangisan malam hari itu akhirnya terjawab sudah. Pelan-pelan dilangkahkan kakinya menuju dua tubuh di depannya itu.
*Bruuuuuuk…* Seketika, sesuatu yang sulit sekali dibayangkan terjadi di kamar itu. Darah tumpah membanjiri kasur, berakhir sudah penderitaan gadis lugu itu.
Sejak malam itu, tak ada lagi suara tangis malam hari, sejak malam itu rumah makan paman Ratih tak pernah lagi buka, sejak malam itu tak ada lagi keluguan seorang gadis desa yang menghiasi kota, sejak malam itu Legenda Gadis lugu bernama Ratih terus sambung menyambung menjadi bahan perbincangan yang cukup hangat di kota kecil itu. Beberapa orang mengira Ratih bunuh diri karena pamannya, sesudahnya Pamannya melarikan diri. Ada juga versi Ratih yang membunuh pamannya, lain versinya lagi mereka di makan Jin Pesugihan yang dipelihara oleh pamannya, banyak lagi cerita lain yang berkembang.
Entahlah, Karno yang tau pastinya bagaimana kisa sebenarnya tentang legenda gadis lugu itu. Sesekali lelaki itu menyempatkan diri berkunjung, kesebuah rumah di kaki gunung, dimana seorang Wanita hidup bersama bocah kecil tanpa ayah.
**
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas MIPA Angkatan 2015
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan