Cerpen | Balada Mahasiswa Proyek

Kami akhirnya selesai melaksanakan tugas mulia ini lebih larut dari yang diperkirakan. Jarum pendek tepat berada di angka sembilan, badanku mulai dihinggapi letih sementara perutku mulai terasa nyeri akibat  lapar tiada henti. Tentu butuh kasur dan mie goreng instan sekarang juga. Kampung mulai sunyi, beberapa petani tampak kembali kesawahnya entah apa yang mereka lakukan yang pasti masing masing dari mereka menenteng sebuah lentera. Aku tak peduli hal tersebut, kasur dan mie goreng adalah prioritas utama saat ini.

Kami berkemas dan mulai membereskan segala perlengkapan, mengingat-ngingat kembali barang-barang bawaan agar tak ada yang ketinggalan. Setelah merasa semua barang telah lengkap, kami berjalan kembali ke ujung jalan masuk kampung untuk menunggui bus.

“Sedang apa mas?” suara seorang laki-laki tiba-tiba saja mengagetkan kami.
“Ini nih, lagi nungguin bus mas. Mau balik ke kota. Soalnya abis penelitian tadi di dalam. Masnya darimana nih?” jawab Doni kepada si pemuda.
“Waduh, jam segini mana ada bus arah ke kota lewat sini. Udah besok aja mas.” Sialan, kami tak memperkirakan hal ini sama sekali.

Setelah melalui beberapa perbincangan, ternyata pria tersebut bernama Joko, ia baru saja kembali dari menjajakan dagangannya di jalur tol. Meskipun dengan tampang yang terlihat sedikit garang ditambah tato tengkorak di lengan kirinya, Joko ternyata pria yang cukup ramah. Dan kabar baiknya kami tak perlu tidur di mesjid kampung malam ini, karena Joko berbaik hati mengizinkan kami tidur di istana non permanennya. Tak hanya itu, ia juga menyediakan mie goreng instan dan sebakul nasi sebagai aparatur yang sigap menenanangkan demonstrasi para cacing dalam perut kami.

Pagi harinya, kami berpamitan kepada Joko, mengucapkan sebuah terimakasih ditambah selipan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah kepadanya. Ucapan diterima namun selipan di tolak mentah-mentah meskipun kami telah memaksa karena merasa sangat tertolong namun Joko tetap bersikukuh menolak dengan alasan ia tak mau pamrih. Kami akhirnya terpaksa melipatgandakan ucapan dan kembali mengantongi selipan. Sesaat setelahnya bus kota kami tumpangi dan mulai meluncur deras meninggalkan perkampungan itu.

Laporan telah selesai di buat, dompetku menjerit-jerit kegirangan; Hap, haap, haaaap. Malam harinya, kafe tongkronganku jadi tempat yang pas untuk memulai ritual suci traktiran. Kawan-kawanku tertawa-tawa kegirangan; Ha, haha, hahaha. Namun entah kenapa setelah itu aku tak pernah lagi mendapat tawaran proyek dari dosenku hingga akhirnya harus angkat toga dan berpisah dengan gelar ‘Maha-siswa’.

BACA JUGA : HAGEMONI KLANDESTIN

Setelah enpat tahun menyandang gelar ‘Alumni’, aku memutuskan untuk tetap mengadu peruntungan di kota ini. Sialnya, sekalipun memiliki ijazah di lemariku dan titel di belakang namaku, pekerjaan di kota memang sangatlah sulit di temukan, atau mungkin saja nasib sedang tidak memihak padaku. Koran yang kubeli pagi tadi juga sama sekali tak menunjukan ada tanda-tanda pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuanku. Alhasil, lowongan untuk menjadi buruh di sebuah industri garmen yang baru saja didirikan harus kujejali surat lamaranku. Tentunya demi memperoleh sewa kos dan mie goreng instan, jika mampu berhemat aku akan rutin mengirimkan sebagian hasil keringat pada ibuku di kampung halaman.

Setelah menunggui selama seminggu, akhirnya aku mendapat telepon dari perusahaan tempatku mengantar lamaran, seorang pria menjelaskan bahwa pabrik akan mulai beroperasi esok hari dan aku dimintai agar mulai ikut training besok. Sebelum telepon ditutup tak lupa pria di seberang telepon memberikan alamat pabrik itu padaku. Aku terdiam sejenak, namun mataku terlalu lelah dan besok adalah hari pertama aku menanggalkan gelar ‘pengangguran’. Lekas tidur adalah jawaban yang tepat saat ini.

Subuh sekali aku telah berangkat menuju pabrik, aku sengaja berangkat lebih pagi agar tidak terlambat di hari pertamaku bekerja. Sebuah tanya terus saja mengusik kepalaku. Aku tau dan hafal betul alamat pabrik itu adalah tempatku dulu melaksanakan proyek bersama Doni dan Roy, juga tempatku bertemu dengan pria bertato namun ramah bernama Joko.

Jarum jam menunjukan pukul tujuh, kali ini sebuah jalan menuju perkampungan yang empat tahun lalu kudatangi itu sudah lebih luas pun teraspal, tentu saja sudah boleh dimasuki bus. Mataku seketika melotot tajam melihat pemandangan yang berubah total hanya dalam kurun waktu empat tahun. Kini tak ada lagi rumah semi permanen dan non permanen, tak ada lagi mesjid kecil, tak ada lagi sawah seukuran dua lapangan bola, perkampungan itu lenyap bak di telan alien. Hanya ada sebuah pabrik garmen, ya sebuah pabrik garmen sudah berdiri megah disana, PABRIK GARMEN ITU SAJA!

Gorontalo, 29 Juli 2018

BACA JUGA : KAMU, DI PAGI HARI INI

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

[contact-form][contact-field label=”Nama” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Surel” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Situs web” type=”url” /][contact-field label=”Pesan” type=”textarea” /][/contact-form]


Diterbitkan

dalam

,

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *