Palu Bangkit : Isak Tangis, Magribku

Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat tangisku mulai mereda. Kak Ferren menenangkanku ketika ia tersadar aku kembali terisak. Aku teramat takut kehilangan orang-orang berharga di hidupku.
“Aku haus,” ucapku masih sesenggukan.
Kurasakan tenggorokanku mulai mengering karena terlalu lama menangis. Kudengar kak Ferren berteriak meminta sedikit air kepada siapapun yang memilikinya. Dan tak lama kemudian sebotol air mineral datang menghampiri kami, lalu berbagi dengan orang-orang disekitar yang rupanya juga kehausan.
“Kak Ferren punya kembaran ya?” Aku melontarkan pertanyaan yang sejak tadi kupendam, setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sesenggukanku sudah berhenti.
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Ada tidak, kak?” Tanyaku lagi, “jawab dulu.”
“Tidak ada,” kak Ferren menatapku penuh tanda tanya, “ada apa kau bertanya seperti ini? Kakak tinggal sendiri di Palu ini, dek. Orangtua kakak tinggal di Luwuk.”
“Ohh. Kakak ingat Hasna gak?”
“Enggak, emang kita pernah bertemu sebelumnya ya?”
“Kita bahkan pernah tidur sekamar, kak,” kataku, spontan membuat mulut kak Ferren terbuka lebar.
“Kok bisa?” Tanya kak Ferren dengan kening berkerut.
“Kakak pernah gabung di organisasi apa aja sih selama ini?” Tanyaku lagi, masih berusaha membuat kak Ferren mengingat semuanya.
“Hmm apa ya, Himpunan sama lembaga luar itu ada UKPM dan-”
“UKPM!” potongku.
“Jangan bilang kamu anggota ukpm juga?”
“Iiihh, kak Ferren masa gak ingat Hasna!” Jika kondisinya tak setegang seperti saat ini, aku pasti sudah merajuk, ngambek karena dilupakan.
“Emang sih, kakak merasa tidak asing dengan namamu.”
“Kak Ferren, ini Hasna, Tor camp 3, teman sekamar kak Ferren sama kak Chan juga.”
“Yaampun, Hasna!” Dia langsung saja menjitakku saking bahagianya. “Ini kamu toh? Anak lugu dan pendiam di kamar asrama waktu itu?”
Aku hanya mengangguk.
Kak Ferren menerawang, berusaha mengingat peristiwa dua tahun lalu yang menjadi pertemuan pertama kami.
“Kakak tahu siapa ketua ukpm sekarang?”
“Gak tahu? Siapa memangnya? Terakhir yang kutahu itu kak Mahfud ya?”
“Iya, kak.”
“Siapa ketua ukpm sekarang?”
“Aku.”
“Ha? Kamu?” Kak Ferren sontak menutup mulutnya.
Aku tak kuasa menahan tawa bercampur air mata.
“Masya Allah, dek. Kakak gak nyangka. Setelah kak Mahfud itu kamu ya? Atau gimana?”
“Setelah kak Mahfud itu, kak Idil, kak. Aku setelahnya,” jelasku masih menatap wajah kak Ferren yang penuh keterkejutan. “Dan kita dipertemukan kembali dalam kondisi seperti ini, kak,” tambahku dengan nada sedih.
“Yaampun dek, kakak bersyukur banget dipertemukan kamu. Kalau gak ada kamu tadi, kakak gak tahu gimana nasib kakak hingga malam ini. Dan kakak masih shock banget, kamu yang dua tahun lalu pernah amat dekat dengan kakak.”
***
Pukul sepuluh kurang lima belas menit, kami akhirnya memutuskan untuk turun dan kembali ke Lapangan.
“Kalau sudah agak tenang dan aman, kita balik ke kos kakak dulu ya, dek.”
Aku hanya mengangguk, Kak Ferren berbaik hati mengizinkanku memakai pakaiannya, katanya kami akan mengganti pakaian, memakai pakaian yang agak ringan, sepatu dan mengambil air minum secukupnya lalu kembali ke lapangan. Malam itu kami mengungsi di lapangan, dengan beralaskan tanah dan beratapkan langit. Aku menutup tubuhku dengan jaket FIM (Forum Indonesia Muda) yang kupakai sejak pagi hari. Beruntung malam itu bintang-bintang bertaburan, langit amat bersahabat dengan tidak menangis meski sesungguhnya bumi tengah dirundung duka.

Tuhan memang selalu punya cara mempertemukan kita dengan orang-orang terdekat. Bagaimana pun bentuknya. Kita hanya harus banyak bersyukur dan berdoa. Aku berbalik ke arah kak Ferren, kulihat ia menghapus tetes-tetes bulir yang mengalir di pipinya. Ia pasti mengingat kedua orangtuanya di kejauhan sana.
***
Pukul enam pagi, aku membangun kak Ferren. Masih ada gempa susulan, hingga pagi ini. Tidak terlalu besar, tapi cukup membuatku panik, memeluk erat kak Ferren.
“Tenang. Tenang … Tak apa, ini hanya gempa susulan yang kecil,” kak Ferren berusaha menenangkanku.
“Kak, aku mau kembali ke rumah.”
“Jangan dulu dek, kakak masih khawatir. Kita ke kos kakak saja dulu. Pagi ini kita cari makan, ganti pakaian lagi, terus kembali ke lapangan ini. Nanti kalau sudah benar-benar aman, kakak akan antar kamu ke rumah, bagaimana?”
“Tapi aku khawatir sama ibuku, kak. Aku ingin tahu kabarnya. Aku takut ibu kenapa-kenapa. Aku tak siap mendengar kabar …” Aku menghapus bulir bening yang tanpa permisi jatuh di pipiku.
Kak Ferren kembali memenangkanku. Akhirnya aku menuruti kata kak Ferren, kami kembali ke kos untuk mengisi sedikit tenaga.
“Assalamualaikum!” Aku tersentak, kaget, ketika diperjalanan seseorang dibelakang motor kami bersuara. Aku berbalik, ternyata salah seorang anggotaku di ukpm. Kak Ferren memelankan motor, memberikan aku kesempatan untuk berbicara dengan pria itu.
“Kak Akram!”
“Bu Ketua!” seperti itu biasanya ia memanggilku.
“Alhamdulillah, Ibu selamat. Ibu di mana semalam? Sama siapa? Terus mau ke mana?”
Berbagai pertanyaan ia lontarkan, tampak khawatir. Kupikir tak ada yang mengkhawatirkanku. Kupikir tak akan ada yang mencari. Kupikir tak pernah ada orang yang peduli denganku. Ya, kupikir seperti itu.
Kujelaskan bahwa aku bersama kak Ferren. Kujelaskan aku di lapangan ke tiga, dan kujelaskan pula aku akan ke kosnya kak Ferren pagi ini. Ya, sesingkat itu dan ia masih saja mengikutiku.
***
“Kak Ferren, Hasna pamit, mau balik ke rumah.”
“Balik? Sama siapa?”
“Sama teman, kak. Kakak gak papa Hasna tinggal kan?”
“Iya, gak papa. Hati-hati ya, dek.”
“Makasih, kak.”

Seperti itulah akhirnya aku berpisah dengan kak Ferren. Tak sesuai dengan rencana awal kami, bahwa kami hanya akan pulang makan, berganti pakaian lalu kembali ke lapangan. Hasil pembicaraanku dengan kak Akram membuatku merubah rencana awal. Ia menawarkan diri untuk mengantarku, dan karena sangat ingin bertemu dengan Ibu akhirnya aku mengiyakan. Masih dengan rasa cemas dan khawatir, aku akhirnya pergi dengan perjalanan yang biasanya kutempuh tiga puluh menit, kali ini harus kami tempuh hampir satu jam.

Peristiwa kemarin benar-benar meluluh-lantakkan kota Palu. Tsunami yang membuat jalan Yos Sudarso sulit untuk dilalui. Kami harus memutar motor dan melewati jalan Hangtuah, terus ke Setia Budi, melewati beberapa lorong yang jalannya juga tak bisa dikatakan baik, tampak retak-retak disepanjang jalan.

Kami keluar dari jalan Pramuka, berbelok menuju jalan Haji Hayyun terus ke jalan Kimaja, di sana juga banyak jalan yang retak-retak, sebelah kira dan kanan tampak bangunan yang hancur total. Perjalanan kami masih berlanjut hingga berbelok ke jalan Imam Bonjol, arah kanan menuju mesjid Agung. Tampak mesjid Agung, salah satu mesjid raya kota Palu yang amat besar itu juga luluh lantak oleh gempa, segala sisi bangunannya hancur dan retak, tetapi gedungnya masih berdiri kokoh.

Motor masih melaju, berbelok ke jalan datu Adam menuju jalan asam dua yang berada dibelakang Mesjid Agung. Jalan asam dua juga menjadi jalur akses terparah untuk kerusakan jalan, tampak jalanan yang bergelombang, retak dan mengeluarkan air dari dalam tanahnya. Gedung-gedung dan rumah di jalan asam dua juga tak ada lagi yang utuh. Semuanya hancur ke kira dan kanan, bengkok, pecah bahkan retak. Pemandangan yang mengerikan dan mencemaskan. Aku semakin takut untuk tiba di rumah. Takut-takut membayangkan bagaimana kondisi rumahku saat ini, bagaimana kondisi orang-orang rumah. Bagaimana kabar mereka?

Kami tiba di ujung jalan Asam dua, belok kanan menyusuri jalan Munif Rahman yang amat padat, wajar saja jalan Munif Rahman yang termasuk kelurahan Donggala Kodi ini merupakan daerah puncak yang menjadi jalur evakuasi ketika gempa dan tsunami datang. Kuperhatikan sekelilingku, mencari-cari, mana tahu ada adik, sepupu, ayah ataupun ibuku diantara kerumunan orang. Tapi tak kutemukan satupun dari mereka. Aku berusaha berpikir positif, mungkin saja mereka sudah tiba di rumah sejak pagi tadi.
Tapi bagaimana jika Mereka tidak ada di rumah?
Bagaimana jika rumahku juga disapu tsunami?
Bagaimana jika mereka …
Ahhh …
Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk yang menghantui.

“Alhamdulillah!”
Aku menghela nafas lega, saat melihat pagar rumahku baik-baik saja. Bahkan rumah tetangga dan sekitar masih utuh, meski beberapa bangunan tampak retak. Aku berlari masuk ke rumah, mencari Ibu sambil berteriak memanggilnya. Kulihat ia berdiri di dapur, entah apa yang sedang dibuatnya, intinya aku sangat bersyukur, Ia selamat. Aku memeluknya dengan erat, bersama air mata dan rasa syukur.

“Alhamdulillah,” ucapku terisak. Untuk pertama kalinya aku sangat bersyukur melihat sesuatu, melihat orang yang amat berharga masih dilindungi. Aku amat bersyukur masih diberi kesempatan untuk menjaga dan menyanyi ibuku.
Kusarakan tangan ayahku yang memeluk dari belakang. Ia juga terisak, pasti ia memikirkanku semalaman.
“Papa pusing pikirkan kau, nak. Papa pikir kamu sudah tidak ada. Kau di mana semalam? Sama siapa? Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa kan?”
Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut ayahku, tapi percayalah ia tak membutuhkan jawaban. Ia kembali memelukku erat. Sangat erat, penuh rasa syukur.

“Di kampus, Pa. Hasna sendiri, kebetulan ada kakak yang baru Hasna kenal, jadi sampai pagi tadi Hasna sama kakak itu, namanya kak Ferren,” jelasku masih terisak. Aku masih memeluk erat ibu dan ayahku. Seperti takut akan terpisah. Benar-benar tak bisa kubayangkan apa jadinya aku jika tak melihat mereka berdua lagi pagi ini.
Pagi itu aku benar-benar berucap syukur kepada Tuhan. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk menjaga dan menyayangi keduanya. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk berbuat baik dan memberi yang terbaik untuk keduanya. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk membuat keduanya bangga terhadapku. Terimakasih.

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya


Diterbitkan

dalam

, ,

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *