Koran Pagi

“Kamu pikir saya ini hewan peliharaan yang makan dari pemberian orang. Saya lebih milih mulung daripada harus minta-minta, mau taro di mana harga diri saya. Dasar anak kemarin lahir, liat saya sudah tua begini, pikirnya saya butuh di kasihani” bapak paruh baya itu naik darah, ia tidak terima perkataan Bahar. Baginya usaha walau sedikit itu lebih baik ketimbang harus minta-minta.
“Bukan begitu pak, maksud saya itu..”
“Ah! Sudah pokoknya saya tidak mau dimasukan dalam koran, kamu ini punya telinga tidak! Kalau saya bilang tidak ya tidak” Belum selesai Bahar menjelaskan, bapak itu langsung memotong pembicaraan. Wajahnya mulai memerah, matanya melotot dan nada suaranya keras.

Rupanya kali ini Bahar dapat lawan yang cukup sepadan. Bahar yang pantang menyerah berhadapan dengan bapak paruh baya yang punya prinsip teguh.
“Sudah kamu pergi saja sana, jangan ganggu istirahat saya” ucap bapak itu lagi.
“Maaf pak, saya hanya mau cari bahan tulisan pak. Kalau saya tidak nulis, nanti saya tidak bisa beli makan pak. Cuma dari nulis berita saya bisa dapat uang” kali ini Bahar coba menjelaskan pada bapak itu, tapi bapak itu seperti tidak menghiraukannya. Bahar terus saja memohon agar bapak itu mau diwawancarai. Segala alasan, tetek bengek, sampai persoalan agama juga ia bawa-bawa. Sungguh kemahiran seorang penulis berita tergambar jelas di perilaku Bahar.

Terus saja ia bujuk bapak itu tapi tidak juga membuahkan hasil. Bahar masih terus berusaha biar bapak itu mau ia wawancara, baginya semangat pantang menyerah ialah sumber kemenangan. Ia tak mau menyerah, tak mau pula balik arah. Menyerah dan balik arah hanya untuk pecundang dan ia bukanlah pecundang.

Bahar sudah kehabisan akal hingga ia hanya memohon “Ayolah pak, tolong bantu saya”
“Memangnya kamu butuh apa dari saya, nak?” Jawab bapak itu
Bahar sontak kaget, ia lihat wajah bapak itu sudah tidak marah padanya. Akhirnya Bahar keluarkan buku catatan serta bolpoin, ia menjelaskan panjang lebar tentang garis besar berita yang akan ia tuliskan.

Lama Bahar dan bapak itu bercerita, sambil sesekali ia mengisap rokok kretek miliknya. Perasaan senang dan lega yang dirasakan Bahar tiada duanya, untuk kesekian kalinya ia berhasil mewawancarai orang yang menurutnya begitu susah diajak kompromi. Menang, menang dan menang. Itulah yang terngiang-ngiang di kepalanya saat ini, salah satu tahap menulis berita sudah ia lakukan, selanjutnya tinggal membawa data yang ia dapatkan dari bapak paruh baya ini ke meja ketik.

“Oke pak, kalau gitu terimakasih banyak pak” Bahar menjabat tangan bapak itu.
“Iya nak, sama-sama. Bapak juga mau minta maaf soalnya sempat marah-marah” jawab bapak itu
Bahar menuju motor dan berencana akan pulang biar bisa langsung menuliskan beritanya. Belum juga motornya ia nyalakan tiba-tiba bapak itu berkata “kamu ini lucu sekali nak”
“Lah lucu kenapa pak?” Tanya Bahar heran
“Kamu ini kan wartawan yang ekonominya lemah, kok harus capek-capek cari orang lain untuk bahan berita. Kamu juga tadi bilang kalau cari bahan untuk berita itu yang menarik kan, kalau kamu tulis berita tentang kondisi ekonomi pemulung seperti saya ini tidak ada menariknya. Pemulung itu ada banyak dan sudah pasti susah, anak kecil juga pasti tau kalo pemulung itu orang susah”
“Oh iya ya pak” jawab Bahar sambil coba membayangkan.
“Kalo gitu saya lanjut dulu nak”
“Iya pak”

Kondisi ekonomi seorang penulis berita di situasi anjloknya perekonomian, tema yang Bahar pikiran saat ini. Masih banyak juga orang yang belum tahu kalau penulis itu banyak susahnya tapi diminta untuk kreatif, mulai dari cari data hingga menulis. Perkataan bapak tadi terus terbayang, kali ini Bahar dilema. Kali ini ia pusing, bukan karena tak ada ide, hanya saja ia harus memilih diantara dua ide yang menurutnya bagus untuk dituliskan.

Bahar kebingungan, kopi dan rokok telah ia siapkan. Sore hari depan teras rumahnya ia coba menimbang-nimbang. Entah sudah berapa batang rokok ia habiskan, hari telah menjelang malam dan Bahar belum menentukan apapun.

Tengah malam nanti berita sudah harus ada, agar siap cetak dan dijual saat pagi. Tanpa berita berarti honor pun tak ada bahkan sialnya lagi, ia bisa dipecat dari pekerjaannya.

Rokok dan kopi yang berada tepat disebelahnya belum juga ia sentuh, tidak biasanya Bahar seserius ini. Hentakan demi hentakan mesin tik miliknya begitu keras hingga memecah keheningan malam, umpama suara lantang jerit manusia yang tengah kelaparan.

Ia dan waktu saling mengadu, siapa yang paling cepat diantara mereka. Kebiasaan serta pengalaman Bahar malam ini sedang diuji, untuk beritanya kali ini ia tak ingin merangkai kalimat yang membuat para pembacanya iba. Ia malah ingin sampaikan sebuah keberanian, tekat, pantang menyerah dan rasa sabar.

Sampai pada akhir kalimat, ia menghembuskan nafas dalam-dalam pertanda semua beban telah ia lepaskan. Apapun yang terjadi nanti, Bahar tidak peduli. Berita telah siapa cetak menurutnya. Tanpa mandi dan gosok gigi, hanya mengganti sarung yang ia kenakan dengan celana kain panjang ia pergi menuju kantor berita.

Pagi ini situasinya sama seperti kemarin. Pengamen, pedagang kaki lima, pemulung bertebaran di sepanjang jalan yang ia lewati. hanya saja Bahar tidak begitu peduli. Dalam hatinya, tugas telah selesai dan hari ini bisa membeli makan.

Penuh semangat Bahar memasuki kantor ingin bertemu redaktur dan memperlihatkan beritanya. Tiada sanjungan, tiada senyuman yang menyambutnya. Hanya penolakan keras yang menampar wajahnya. Ekonomi sulit, penguasa putar otak, banyak pengusaha gulung tikar. Bahar datang membawa berita kesulitan ekonomi seorang penulis berita. Ide gila kala negeri menjerit parah.

anakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

 


Diterbitkan

dalam

,

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *