Setidaknya kamu memberitahuku. Sebab aku bukan tuhan yang tahu segalanya tentangmu. Aku melarang ini dan itu bukan untuk memenjarai kebebasanmu, Andari. Aku hanya tidak bisa menahan kekhawatiranku tentangmu yang mulai lepas kontrol sejak aku ke luar kota.
Kamu puas berteman dengan siapa saja selama aku tidak disisimu. Tetapi kamu tidak pernah memberi tahu kepada siapa saja kau menjalin pertemanan. Apakah dia lelaki yang tampan, baik dan pengertian. Atau dia lelaki yang pas-pasan, playboy dan kerap menggodamu. Aku tersiksa dengan semua itu.
Ada saat ketika aku tak memercayaimu. Kamu terlalu baik dan kerap dimanfaatkan. Ada saat aku tak yakin hangat matamu ketika memberi penjelasan. Ada saat dimana aku benar-benar ingin mengurungmu dalam dekapanku.
Sebab kamu mustahil tidak menggubris semua kebaikan palsu yang datang silih berganti. Kamu baik, Andari. Teramat baik. Kehadiranmu pun sangat spesial di dunia ini. Kamu harus menyadarinya. Agar tak keliru memahami kebenaran.
Sebelum jadwal kepulangan ku terima di tempat penginapan, aku tahu beberapa hari ini kita sedang kacau. Kamu memusuhi kekhawatiranku. Dan aku membenci kamu yang tidak ingin dikhawatiri.
Di pesawat, aku meraba-raba peristiwa yang akan terjadi setelah aku tiba.
Dan sialan rasanya. Sudah setengah jam berlalu kamu tetap sulit dihubungi. Kamu tidak datang menjemputku. Teman-temanmu pun menolak menjawab pertanyaanku tentang keberadaanmu. Apa yang sedang kamu rencanakan?
Dari bandara aku langsung menuju kampus. Mendatangi kantin dan taman fakultas. Kamu tidak ada di sana. Aku berakhir di gazebo. Satu-satunya tempat yang tidak menyisakan cerita tentangmu.
Aku nyaris ke rumahmu kalau lebih dari tiga jam berlalu kamu tidak menelpon. Tanpa basa-basi kamu mengabari posisimu: di café favoritku. Aku menenangkan diri sebelum akhirnya kembali melakukan perjalanan menujumu.
Tidak seperti biasanya, aku tiba di café dengan perasaan tidak karuan. Kamu menangkap kekosongan di mataku. Lalu menarik lenganku dan menuntunku duduk di sampingmu. Kamu menyodorkanku segelas coklat dingin. Aku tidak bergeming. Dengan tanggap kau suapi minuman itu padaku.
Aku melirikmu. Begitupun kamu. Setelah itu kamu kembali bisu. Tidak memberi sambutan hangat sedikitpun.
Aku tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Kau tahu, selama di luar kota, aku terlalu banyak mendengar berita-berita yang membuatku muak padamu, Andari. Rasanya aku ingin meluapkan kekesalanku saat ini juga.
Namun entah mengapa, setelah melihatmu, aku tidak bisa.
“Kamu darimana saja?” tanyaku dingin.
“Aku hanya disini. Tidak kemana-mana,”
“Sejak pagi?” Kamu mengangguk.
“Nomormu tidak aktif.”
“Maaf,” bisikmu pelan sembari meremas jemari kananku. Aku menoleh.
Aku membenarkan posisi. Mengarah kepadamu.
“Kamu tahu kalau kamu ada salah?” Kamu menggeleng. Lalu menatapku kebingungan.
Seperti dugaanku, Andari. Kamu polos dan lambat memahami situasi. Kamu memahami bahwa para lelaki yang mendekatimu adalah lelaki yang hanya ingin berteman. Tidak lebih dari itu.
“Kenapa kau minta maaf?” tanyaku.
“Karena saya tidak menjemputmu di bandara,”
“Saya tidak butuh kau jemput,” Kamu kembali menatapku. Lebih dalam. “Kalau pun kau jemput, apa untungnya?” lanjutku.
“Bicaramu kasar sekali, Aras.”
Aku membuang muka. Mengalihkan pandanganku ke jalanan. Andari, kamu salah. Lelaki yang mendekatimu bukan sekadar ingin menjadi teman. Lelaki selalu punya tujuan. Aku tidak ingin mencemburuimu, Andari.
Kamu memang manis dan banyak disukai orang. Itu faktanya. Namun kamu milikku. Dan aku tidak suka ketika kamu merespon, juga tidak bisa membedakan gerak-gerik lelaki.
“Kau harus belajar hari ini juga, Andari,”
“Belajar apa?”
Aku tertawa kecut entah untuk alasan apa. “Kau harus belajar memahami dengan baik,”
“Apa yang perlu dipahami Aras? Kau membicarakan sesuatu yang saya tidak mengerti,”
“Sekarang sebutkan. Ada berapa lelaki yang mendekatimu sejak saya di luar kota?” suaraku mulai meninggi.
Kamu menghela nafas panjang. “Kenapa harus ini lagi Aras? Kau tidak bosan? Sudah saya jelaskan, mereka hanya ingin berteman. Tidak lebih dari itu, Ar!”
“Bagaimana kau tahu?!” sarkasku keluar.
“Mereka sendiri yang bilang!” ujarmu tidak kalah sinis. “Kau dibutakan kecemburuanmu, Ar.”
“Saya tidak cemburu. Saya hanya tidak suka kau bermain dan dipermainkan mereka.”
Andari diam, tidak merespon dan menghindari bertatapan denganku.
“Kau harus belajar memahami, Andari. Itu inginku,”
“Bukan saya yang harus belajar, Ar. Tapi kamu.” Tegasmu dengan tatapan sinis.
Kamu berdiri dan meninggalkanku tanpa menoleh lagi. Air matamu luruh di pipi kiri. Aku tidak bergeming dari dudukku, Andari. Kamu menolak pintaku yang ingin menjagamu sebagai milikku.
Kamu hanya tidak tahu bagaimana aku berusaha menjagamu meski dari jarak paling jauh sekalipun. Dua tahun bersama bukan waktu yang singkat, Andari. Itu kali pertama kamu tidak menyetujui keinginanku. Aku dihunus kata-katamu.
Dan itu membuatku tidak bisa melupakanmu hingga sekarang.
Detik ini aku kembali mendatangi café dan duduk ditempat kamu meninggalkanku. Sepi dan sunyi. Hanya ada aku dan catatan sejarah kita di pojok ruangan lantai dua. Aku rindu, Andari.
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan