PUKUL 11.00
Gemercik air hujan telah membahasi halaman, sedikit demi sedikit mencoba masuk menerobos sela-sela ruangan yang tak ditutupi seng. Udara terasa dingin seiring makin derasnya air dari langit yang tak kunjung memberi isyarat akan berhenti.
Tapi, semua itu tidak menyurutkan kesibukan orang-orang disekitarku. Hanya saja, ada yang merasa terganggu karena tak bisa pergi tempat yang lain. Mungkin itu pula alasan Dosen pengampuh matakuliah yang seharusnya masuk sejam yang lalu ke kalas kami, tapi sampai saat ini, tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya sedikitpun.
Aku menatap keadaan sekitar. Sebuah meja dan kursi yang panjang melintang gagah di tengah-tengah gedung ini yang menjadi tempat segerombolan Mahasiswa untuk berdiskusi satu sama lain. Tapi jika kalian melihat diskusi itu, kalian akan merasa itulah diskusi yang terbaik yang pernah ada, mungkin saja kalian pernah melakukan itu. Tak perlu menanyakan kepadaku, karena akupun pernah dan bahkan terlampau sering melakukannya. Melihat cara mereka, aku sambil tersenyum dan menggeleng melihatnya, teringat akan kebiasaanku juga. Itulah diskusi mereka. Tak ada mata yang saling memandang, tak ada mulut yang saling berargumen, semua mulut tertutup rapat. Dan semua kepalah hanya menunduk kebawah, hanyak jari jari yang terlihat sibuk, sibuk bergerak naik turun dan kearah yang tak aku ketahui ke mana arah perputarannya. Lalu di mana letak diskusinya? Tentu kalian akan tahu sendiri jawabannya. Diskusi yang hanya tertulis di dunia maya.
Lupakan soal diskusi itu.
Walaupun Aku masih terdiam melihat situasi itu. Di saat mataku asik memandangi keadaan disekitar. Aku terkagetkan dengan sebuah suara dari arah belakangku, walau tak begitu keras, tapi cukup untuk menghentikan lamunan panjangku. Aku langsung menoleh ke arah suara itu, ternyata itu seorang pedagang roti yang membunyikan sebuh benda yang tak pernah ia lepas dari tangannya, sejenis terompet tapi memiliki bentuk yang kecil dan suara yang lebih nyaring. Tapi selang beberapa saat, belum juga ada yang datang merapat kearahnya untuk menukarkan uang dan sebuah roti miliknya.
Aku menelan ludah melihat kondisi itu. Merasa iba, tapi tak memiliki niat walau hanya sekedar mengeluarkan selembar uang untuk membeli sebuah roti milik bapak itu. Lihatlah, untuk berbuat baik pun, terkadang masih harus berfikir. Apakah hanya Aku? Aku berharap tidak ada orang sepertiku saat ini. Tapi aku sadar, Berbuat baik memang tak butuh apapun. Tapi apakah memang harus menunggu panggilan hati? Untuk kesekian kalinya, kalian harus menemukan jawaban itu sendiri.
Inilah kehidupan kita saat ini.
Tak percaya, maka lihatlah keadaan sekitar kalian, maka pemandangan yang lebih memilukan, akan lebih banyak kalian dapatkan.
Oh iya Perkenalkan. Aku, Fandi Ahmad Khaykal. Orang-orang terdekatku biasa memanggilku Ikal, bukan karena nama lengkapku memiliki penggalan penyebutan ikal, tapi karena rambut panjangku yang tergolong kriting tapi tak begitu cocok untuk disebut kriting, makanya mereka hanya memanggilku ikal, si kutu Buku.
Sekitar sepuluh menit aku masih duduk melamun di sebuah besi besar yang dijadikan penghalang pelataran lorong-lorong gedung ini. Dari sini aku bebas memandangi apapun yang ada disekitarku. Kemudian dari arah parkiran, sebuah motor merapat, Dua penumpang turun, kemudian berlari kecil ke tempat perkiran mobil yang memiliki tempat berteduh yang baik. Rupanya mereka sepasang kekasih, jika dilihat dari gelagaknya mereka seperti mencoba untuk menebar kemesraan. Oh sial, Itu pemandangan yang kesekian kalinya yang aku dapatkan hari ini. Melihat tingkah mereka, aku sadar bahwa Rupanya cinta memang diatas segalanya.
Aku menghela napas panjang.
Diseberang gedung, terlihat keramaian di salah satu kantin. Tak begitu besar, tapi cukup untuk menampung para mahasiswa yang sedang menghabiskan waktu kosong mereka. Atau menghabiskan rasa kebosanan karena tugas-tugas yang tak ada habis-habisnya.
PUKUL 12.00
Langit masih saja Menurunkan rintik-rintik hujan. Meskipun kini tak sederas sebelumnya, tapi Udara dingin masih menusuk-nusuk tulang. Tak ada sinar Matahari hari ini, sepanjang mata memandangi langit, yang terlihat hanyalah kupalan awan-awan putih kehitaman.
Menghindari rasa kebosanan, aku memilih masuk keruang kelas. Teman-teman yang lain hanya asik bermain handphone masing-masing, hanya satu dua yang membaca buku, akupun tak yakin buku itu dibaca dengan baik atau tidak.
Aku melirik jam tanganku, oh sial. Hampir 2 jam waktuku hanya dihabiskan untuk melamun.
Aku membuka tas yang ada di atas kursiku. Sebuah novel yang sejak dulu selalu aku bawah, entah sudah kali keberapa aku membaca isinya. Bukan karena tak memiliki buku lain, tapi yang satu ini memiliki cerita tersendiri.
Waktu itu, aku masih menjadi remaja yang labil. Punya beberapa kabiasaan buruk yang selalu saja aku lakukan. Aku selalu senang bermain ke perpustakaan, tak ada keributan dan disana aku bebas memilih buku apapun yang aku mau. Sepintas dari kebiasaanku ini tak ada yang salah, tapi ini adalah salah satu kebiasaan yang menjadikanku orang yang paling ditakuti guru atau pegawai yang penjaga perpustakaan. Saat itu aku masih SMA tingkat akhir, 2010.
Huu….Aku belum siap menceritakan masa itu, mungkin tidak akan aku ceritakan. Tapi entahlah.
Di saat aku mencoba memperbaiki posisi duduk, tiba-tiba teman-temanku yang ada diluar ruangan berhamburan masuk ke dalam kelas, seperti bebek yang dimasukkan ke dalam kandangnya.
“Ada apa Rul?.’’ Aku menatap heran ke arah Arul, salah satu teman dekatku.
“ Itu, Pak dosennya udah datang.” Jawabnya singkat
Seakan tak percaya, aku mencoba melihat ke arah parkiran. Oh sial itu memang dia dengan menggunakan sebuah mobil Jeep berwarna merah , mobil itu telah terparkir mulus. Kenapa sih baru datang jam segini, lirihku dalam hati
“Hmm… Mohon maaf hari ini bapak terlambat ya, tadi ada kesibukan sedikit.” Sedikit apanya, sudah beberapa jam kami harus menunggu, beruntung hari ini ada hujan deras, Jika tidak sudah 2 jam yang lalu ruangan ini kosong kami tinggalkan. Lirihku kembali dalam hati.
“Ok. materi hari ini bapak tidak bisa sampaikan, Ini materinya Bapak udah print. Jadi kalian tinggal kopi, jangan lupa untuk dipelajari ya. Sebentar lagi saya harus ada di ruang sidang skrpsi, saya nggak bisa lama-lama di sini. Oh iya minggu depan silahkan cari ruangan kosong siap-siap ya, kita akan Ujian”.
Aku hanya bisa terpelongok melihat dosen itu berjalan keluar dari ruangan kami. Lucu sekali melihat tingkahnya. Sudah datang terlambat, masuk Cuma sebentar, malah kasi kabar untuk ujian.
“ Terbaik tuh dosen, kalo kita tuh ya, masuk terlambat 10 menit aja udah di suruh keluar.” Ira, salah satu mahasiswi dengan jumlah organisasi terbanyak di kelas kami, lebih dulu berteriak protes kepada dosen itu, walaupun sih dosennya sudah berjalan jauh dari kelas kami.
Yang lain hanya mengeluh mengiyakan teriakan Ira. Satu-dua malah kegirangan melihat dosen itu pergi.
Kali ini, hampir semua teman-temanku memilih keluar dari ruangan membuat kesibukan kecil untuk menghilangkan rasa bosan.
PUKUL 12.30
Aku masih mencoba memahami kejadian hari ini. Sebagai mahasiswa Aku amat merugi hadir pada hari ini, tak ada yang bisa aku dapatkan. Percuma bayar tiap semester uang spp jika hanya hadir tapi tak ada bekal baru yang aku dapatkan dari dosennya. Rugi dong, bayar jutaan uang spp hanya gosip sana sini dan bercerita amburadul dengan yang lain.
Merasa kesal. Aku mengambil tas selempangku dan menuju ke salah satu UKM, dimana tempat itu menjadi sebuah kisah yang tak akan bisa kalian tebak.
………………………………………. Bersambung
***
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan