Beberapa tahun yang lalu sebelum para kapitalis itu merusak hamparan hijau nan sejuk di daerah tempat tinggalku, betapa eloknya bentangan alam bumi pertiwiku. Hamparan tanaman pertanian yang indah, pepohonan rindang, angin sepoi-sepoi, pesona alam terbentang, burung yang terdengar berkicau mengantarkan hati pada kenyamanan. Daerahku terbilang cukup kaya dari segi Sumber daya alamya sehingga menarik perhatian para investor untuk menanamkan modal dalam pengelolahannya. Tanah kami itu kaya akan nikel, hampir pada setiap permukaan tanah dengan mudah dijumpai, baik di bagian kiri atau kanan jalan, di kawasan hutan, terlebih lagi di kawasan pelabuhan. Tumpukan ore nampak seperti bukit berbaris yang akan di kirim ke seberang lautan sangat jauh dari daerahku.
Namaku Reno. Aku lahir di bagian selatan provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di Desa Makarti Jaya. Aku dan kedua orangtuaku telah menetap sangat lama di desa kecil sederhana itu. Mereka berpenghasilan sebagai petani sayur-sayuran, sehingga terkadang Aku membantu mereka menanam, membersihkan rumput, dan memanen sayuran yang telah siap panen. Meskipun dari keluarga sederhana namun Aku tak pernah mengeluh, bahkan Aku bangga karena Ayah dan IbuKu mau bercocok tanam sebagi wujud kecintaan terhadap bumi pertiwiKu. Mereka selalu berpesan kepadaKu,
Nak, selama kita bersyukur kepada yang Maha Kuasa atas kehidupan yang diberikan, pasti kita tidak akan kekurangan, karena Tuhan selalu melengkapi. Jika ada masalah tetaplah bersyukur sambil berdoa. Yakinlah Tuhan akan segera menjawab doa-doa mu”
Kala itu Aku berumur 9 tahun dan masih berada di bangku Sekolah Dasar. Saat hari libur tiba Sahabatku Hamdan sapaan akrabnya Din, selalu mengajakKu bermain di daerah penggunungan tak jauh dari rumah tempat tinggalku. Bersama dengan teman-teman lain kami sering bermain petak umpet, bedhil-bedhilan, ular naga, dan beberapa permainan lainnya. Permainan biasa kami mulai setelah sholat ashar sekitar pukul 15.40 WITA dan berakhir pada puKul 17.00 WITA, karena kami harus bersiap-siap mengikuti pengajian malam di rumah kepala sekolah kami.
Desa kecilku itu masih memiliki jalan yang sempit namun tidak berlubang. Ketika malam tiba maka rumah-rumah sederhana hanya diterangi oleh lampu pelita, sehingga di bagian jalan gelap gulita kecuali saat bulan sedang bersinar. Sangat jelas terdengar bunyi hewan-hewan malam membuat jiwa menjadi semakin tentram dan menghipnotis tidur semakin terlelap. Tidak hanya itu, kunang-kunangpun ikut mewarnai malam-malam kami, memancarkan cahaya khas kuning-kebiruan.
Bersamaan dengan lulusnya Aku dari bangku sekolah Dasar, sebuah perusahaan tambang nikel masuk ke daerahku. Tentu saja sasaran dari perusahaan asing itu adalah kekayaan alam bumi pertiwiku. Sebagai calon siswa SMP (sekolah menengah pertama) Aku tak begitu paham lebih jauh tentang cara kerja para kapital itu, yang ku pahami hanyalah bermain bersama teman-teman di daerah pengunungan hijau nan asri, sambil menikmati pemandangan yang akan menjadi sejarah dari masa depan kami. Sedikitpun tak pernah terbesit dampak yang akan ditimbulkan oleh para kapitalis itu.
Sebagai keluarga petani yang akan tetap memperjuangkan keberlanjutan pertanian, Ayah dan Ibuku tidak sepakat dengan masuknya perusahaan tambang, karena akan merusak lingkungan sehingga keluargaku tidak bisa bertani lagi, di tambah lagi dengan bertani menjadi sumber pencaharian kami. Tetapi suara mereka tak begitu lantang. Kami hanya keluarga petani bukan pejabat daerah yang berhak mengambil kebijakan. AKu hanya bisa terdiam melihat raut wajah orang tuaKu yang murung memikirkan masa depan kami. AKu mendekat kepada ayahKu dan memeluknya dengan erat hingga perlahan air mataku berjatuhan. Sambil menagis ayahku mengatakan,
Jangan pernah bosan untuk belajar Nak, tantangan hidup ini sangat keras. Ia akan memukul mundur mereka yang lemah menghargai hidup”
*****
Beberapa bulan kemudian, perusahan mulai didirikan, langkah awal mereka membeli tanah-tanah kami. Sebagian besar masyarakat di desaku menjual tanah-tanah mereka kepada perusahaan sebagai tempat berdirinya banguanan-bangunan perusahaan. Sementara ayah dan ibuku tetap melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani sayur. Seperti mereka Akupun sangat mencinta kelestarian bumi pertiwiku. Kamipun berprinsip tidak akan pernah menjual tanah satu-satunya milik kami kepada perusahaan yang kebetulan berbatasan dengan lokasi perusahaan, sehingga sangat memungkinkan untuk mendapat tawaran dari mereka.
Tanah-tanah kami dihargai sangat tinggi sehingga banyak masyarakat merelakan tanah mereka terbeli. Tapi wajar saja semua orang membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian hari semakin serba gemerlap. Apalagi kalau tawaran itu muncul pada saat-saat yang di butuhkan, siapapun tidak akan menolak. Tetapi aku tetap berterimakasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas setiap kebutuhan yang di berikan tak sampai pada kata kekuranagan. Entah yang terjawab doa ku atau doa ayah dan ibuku yang pasti kami hidup berkecukupan sebagai petani.
Seiring berjalannya waktu, wilayah perusahaan semakin meluas. Hamparan hijau itu tidak terlihat lagi karena di gantikan dengan bangunan-bangunan industri. Pegunungan tempat kami bermain dan bersuka ria, kini telah digusur. Banyak lahan-lahan pertanian yang di alihkan menjadi lokasi tambang. Perusahaan menjanjikan kesejahteraan kepada masyarakat yaitu perluasan serapan tenaga kerja. Namun ada yang lebih berbahaya dari sekedar permasalahan tenaga kerja yaitu ketika bumi pertiwiku merintih. Akhirnyapun Harapan dan kenyataan berbanding terbalik substansinya, kemakmuran yang di angan-angankan masih jauh dari kenyataan.
Serapan tenaga kerja yang di janjikan ternyata hanya sebagai latar. Realitanya banyak tenaga kerja hanya dari kalangan mereka sendiri dengan gaji yang berbeda sangat jauh dengan masyarakat lokal. Di sisi lain masih banyak masyarakat lokal yang dipersulit untuk memperoleh nafkah di perusahan itu, terkecuali bagi mereka yang memiliki kenalan pegawai perusahaan. Berbagai problematika yang hadir di antaranya, isu tentang tenaga kerja asing ilegal yang hingga saat ini masih belum dapat diklarifikasi berapa jumlah keseluruhan tenaga kerja asing tersebut. Implikasinya, banyak tenaga kerja lokal yang kehilangan peluang kerja di tanah sendiri. Adakah yang mau bertanggung jawab dengan hal ini ?
Alih fungsi hutan menjadi daerah pertambangan memberi dampak negatif terhadap masyarakat, bahkan kepada generasi selanjutnya, sebab sumber daya alam membutuhkan waktu ribuan tahun untuk dapat diperbarui. Selain itu, dampak pengundulan hutan yang tidak bisa terhindarkan, seperti kejadian baru-baru ini terjadi banjir di wilayah perusahaan dengan ketinggan sekitar 20 cm, bahkan di wilayah lain juga terkena dampaknya, diantaranya jembatan penghubung hampir terputus akibat tidak satupun saluran drainase dibuat.
Sepanjang mata memandang disekitar pantai perusahaan, sudah sangat jauh berbeda. Awalnya banyak tanaman mangrove yang menghiasi sekitaran pantai, tampak terlihat jelas kapal nelayan mencari ikan di lautan jernih nan biru. Namun, kondisi sekarang begitu memprihatinkan. Segalnya pergi tak Kunjung datang, pantai itu telah sirna dan tersisa hanya hamparan tanah yang dipenuhi hasil tambang, kapal nelayan yang sudah menjauh karena sumber kehidupan meraka hilang.
Di daerahku sudah tidak lagi dapat menikmati jalan-jalan sore karena kondisi jalanan yang tidak kondusif. Aspal retak yang dipenuhi lubang, ditambah lagi debu berterbangan di mana-mana. Daerahku kaya tetapi masih jauh dari kemakmuran. Kondisi daerahku seolah tidak tepat jika dilabelkan sebagai daerah kaya. Lihatlah, tataplah, pandanglah semuanya begitu memprihatinkan, alam indonesiaku sangat bersedih.
Adakah tempat untuk kami nanti tinggal? Sementara saat ini alam kami terus di keruk tanpa henti. Adakah tempat kami nanti mencari makan? Jika sekarang segalanya di Kuasai mereka. jangan biarkan bumi pertiwiku terus merintih ! Tolong sisakan bagian kami !”
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis da menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya. |
Tinggalkan Balasan