SEKOLAH DAUN

Karya: Mulia Atahza

Aku selalu mendengar bahwa kehidupan di bawah sana lebih baik, bahkan mungkin jauh lebih baik dari dusun ini. Mereka punya banyak hal yang kami tidak punya. Jangankan untuk memiliki, melihatnya saja belum pernah. Aku selalu iri ketika Ayahku bercerita bahwa anak-anak di sana cerdas, mereka memiliki sekolah dan tempat belajar yang layak. Ayahku hanya membelikan buku bacaan yang murah untuk dibaca, katanya agar aku juga menjadi anak yang pintar.

Aku sering bertanya pada langit, pada rerumputan hijau yang terbentang di hadapanku saat ini ‘’Apakah rumah-rumah mereka seperti kami?’’

Aku selalu penasaran, ingin rasanya ikut Ayah ketika menjual sayur-sayuran di kota. Hanya saja, untuk turun ke sana membutuhkan waktu berjam-jam.

‘’Kamu akan kelelahan’’ itulah yang selalu dikatakan Ayah ketika aku merajuk ingin ikut

‘’Nana, Nana.. papamu cari!’’ teriak Annida sahabatku

Seketika, teriakan panggilan itu menyadarkanku dari lamunan. Aku segera berlari menuju rumah dan menemui Ayahku.

***

Pagi ini daun-daun bergoyang, angin yang datang bertiup kencang membawa hawa kesejukan. Membuat setiap penduduk kembali menarik selimut dan menutup mata. Aku tak pernah tahu bahwa hari ini adalah awal perubahan bagi dusun kami. Dusun Topesino, dusun di atas awan lereng gunung gawalise propinsi sulawesi tengah. Pagi itu, itu kami menemukan seseorang dalam keadaan pingsan. Tubuhnya lemas dan dingin, kulitnya yang putih menandakan bahwa sepertinya orang itu bukan warga sini.

‘’Woy.., ada orang pingsan’’ papa Ungke dengan mata yang masih mengantuk menuju keran umum tiba-tiba kaget melihat wanita yang baju dan wajahnya kotor oleh tanah. Teriakannya mampu mengumpulkan seluruh warga untuk menyaksikan kejadian itu.

‘’Siapa? Siapa?’’ tanya Ibuku

‘’Kenapa?’’ tanya Ibu dan Bapak-bapak lain

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, untuk menghapus rasa penasaran mereka.

‘’Angkat ke rumah kita saja! Dekat’’ kata Ayah, memerintah sebagai kepala Dusun

‘’Io, Ayo cepat’’ jawab seorang warga

Setelah lama dibaringkan, Ayah telah pergi bekerja sementara Ibu sedang sibuk memasak. Akhirnya, tangannya bergerak-gerak kemudian matanya terbuka melihat-lihat sekitar kamar yang dindingnya terbuat dari daun-daun dan tempat tidur yang hanya terbuat dari bilah-bilah bambu.

‘’Di mana ini?’’

Aku yang sedari tadi mengintip dari bilik kamar, menampakkan diriku yang kurus dengan rambut keriting

‘’Tante, lagi di rumahku’’ jawabku takut-takut

‘’Oh ya? Apa tante pingsan? Anak pintar, apa kamu sedang belajar?’’

Aku memperhatikan sekitarku, bingung. Aku tak belajar apa-apa. Tapi, setelah ia menunjuk ke arahku dan meletakkan tangan di dada, aku mengerti yang dia maksud adalah satu buku yang selalu ku dekap, warnanya sudah kekuningan dan digigit rayap samping-sampingnya.

‘’Tidak’’ Aku menggeleng

‘’Kamu bisa membaca?’’ tanyanya lagi

‘’Ia, sedikit’’ ku baca buku yang ku dekap tadi dengan antusias, meskipun masih banyak kesalahan di dalamnya. Ibu dan Ayahku tidak tahu semua huruf-huruf itu.

‘’Eh… tantenya sudah bangun, kenapa tidak panggil Mama?’’ sapaan Ibu menghentikanku membaca.

‘’Tadinya, mau begitu ma’’ jawabku seadanya

‘’Ambilkan tante minum di dapur’’ perintah Ibu

‘’Tidak perlu, saya tidak ingin merepotkan’’ Tante bermata cokelat itu melarang

‘’Tidak kenapa, anggap saja kami keluarga’’ begitu kata Ibu sambil memijat-mijat kaki tante yang cantik. Ia memakai baju dan penutup kepala berwarna cokelat, tidak sama seperti yang dipakai ibu ketika digunakan untuk ke kebun yang diikat-ikat menutupi rambut agar tidak kotor. Penutup kepala itu menutup rapat rambut dan lehernya.

***

            Hari-hariku terasa menyenangkan setelah kedatangannya. Rumahku setiap hari dipenuhi dengan anak-anak lain yang ikut belajar dan juga mendengar cerita-ceritanya. Kami terbawa, membayangkan setiap kalimat yang dikatakannya. Ia mampu membuat kami bermimpi dan ingin menggapainya. Ia mengajari kami membaca, menulis dan juga berhitung. Tidak hanya mengajari kami yang bisa dilakukannya. Ia selalu membantu ibu memasak dan hidangan yang dihasilkan tangannya itu sangat lezat. Membuatku yang malas makan, jadi menambah berulang-ulang. Hingga ada seorang laki-laki berbadan tinggi, kurus dan memiliki wajah tampan datang, aku tak akan pernah tahu kenapa Ibu itu berada di sini.

‘’Aliyah’’ wanita bermata cokelat itu memperkenalkan dirinya pada ibu saat aku keluar kamar untuk mengambil air. Saat itulah pertama kali ku mengetahui namanya.

‘’Nama yang cantik, saya Zainab hanya saja mereka memanggil dengan Ibu Nana’’ puji Ibu, sambil memperkenalkan namanya. ‘’Kenapa Ibu bisa ada di sini?’’ tanya ibu melanjutkan bicara.

‘’Saya hanya ingin mencari sesuatu yang menyenangkan, membuat saya merasa bahagia sebelum akhirnya pergi’’

‘’Oh…’’ jawaban itu hanya mengiyakan tanpa mengerti apa maksudnya.

Saat itu, kami sedang belajar. Kami sudah punya sekolah yang dibuat dari bermacam-macam daun. Meskipun begitu, meja sebagai tempat menulis kami hanya terbuat dari dua buah lembar papan yang ditopang dengan kayu, itupun hanya bisa digunakan untuk beberapa orang anak saja. Anak-anak lainnya harus duduk bergerombol dan menumpuk di atas balai-balai yang terbuat dari bilah bambu dan pelepah daun. Itulah kenapa kami menyebut sekolah kami dengan sekolah Daun.

‘’Ini Ibu, itu Ibu Budi’’ jelas Ibu Aliyah dari depan kelas sambil menunjuk-nunjuk dengan kapur. Tangannya penuh dengan hamburan-hamburan kapur yang jatuh, sesekali ia bersin dan memegang pergelangan tangan kirinya. Aku tak tahu kenapa ia selalu melakukan hal itu.

‘’Ini Ibu, itu Ibu Budi’’ teman-teman sebayaku yang masih dikelompokan di kelas 1 mengikuti membaca apa yang ditulis dan dikatakannya.

‘’Saya….’’ kalimatnya terhenti ketika sesosok lelaki berada di depan sekolah yang juga kelas kami. Ibu Aliyah menghela napas panjang, sepertinya dia tidak suka kalau lelaki itu datang.

‘’Anak-anak, untuk hari ini cukup ya. Besok kita lanjutkan lagi’’

Hari ini tidak seperti biasa, Ibu Aliyah menghentikan proses belajar mengajar tanpa cerita-ceritanya yang membuat kami berteriak lagi dan lagi. Kami semua hanya saling bertatapan dengan penasaran, kemudian pulang.

‘’Kamu kenapa ke sini? Aku baik-baik saja dan merasa senang di sini’’ kata Ibu Aliyah

‘’Aku ingin melihat kamu. Aku selalu khawatir dengan keadaanmu’’ jawab lelaki bertubuh tinggi itu.

‘’Kembali saja ke rumah, aku hanya istri yang tidak berguna’’

‘’Hey… hey… sejak kapan kau menjadi tidak berguna?’’

‘’Saat penyakit itu datang, aku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Memecahkan perabotan rumah tangga dan membuat Ibumu marah. Apakah aku masih berguna?’’

‘’Sssttt… tidak ada yang menyalahkanmu atas semua ini. Ibu bahkan menangis berhari-hari merasa bersalah terhadapmu. Kau tidak pernah menginginkannya bukan? Allah hanya ingin menguji hambanya. Aku merindukan semangat Istriku yang dulu’’

Ibu Aliyah ternyata mengidap penyakit Guillain-Barré Syndrome. Penyakit yang diwali dengan Flu ini bisa merenggut nyawa penderitanya. Awalnya ia akan merasa lemas dan mengalami kelumpuhan.

‘’Mau kan pulang denganku? Aku berjanji tidak akan membuatmu sedih lagi’’

Hening…

Beberapa menit berlalu, ibu Aliyah akhirnya mengiyakan permintaannya itu. Tapi dengan syarat, lelaki itu harus mengantarkannya ke tempat ini lagi. Kapanpun ia menginginkannya.

***

            Ibu Aliyah kembali ke rumah kami dengan lelaki itu. Aku telah kembali lebih dulu, untuk membiarkannya bicara dengan lelaki itu.

‘’Assalamualaikum’’ mereka mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah kami

‘’Waalaikumsalam’’ jawabku

‘’Pantas saja kau betah tinggal di sini, ada gadis kecil yang selalu menemanimu. Sementara, di rumah kau selalu sendiri ketika ku tinggal bekerja’’ Lelaki itu menatap Ibu Aliyah dengan senyuman dan mengusap-ngusap ubun-ubunnya yang tertutup jilbab putih.

‘’Ibu, om ini siapa?’’ tanyaku penasaran sambil menarik-narik ujung bajunya

‘’om Adam, anak cantik ini siapa?’’ jawab lelaki bertubuh tinggi itu, sambil mendekati tubuhku yang bersembunyi malu-malu di balik tubuh Ibu Aliyah.

Ayah dan Ibu telah pulang dari kebun, kami semua berkumpul di ruangan. Mereka sepertinya akan membiacarakan sesuatu. Ya, Ibu Aliyah tidak akan tinggal di sini lagi, aku sedih dan khawatir jika ia tidak datang ke sini lagi untuk menjawab rasa keingintahuan kami semua.

***

            Seperti biasanya, aku selalu menyukai pagi. Pagi yang selalu hadir dengan mentari yang merona, embun yang hinggap di ujung dedaunan dan suara burung-burung yang menyambut pagi, membuat selaksa kesejukan di setiap hati. Membawaku untuk bermimpi sembari tidur di atas bila-bila bambu dan menatap langit. Langit itu seperti kertas yang putih bagiku, dan mimpiku akan ku gambarkan di langit itu.

Hari ini Ia datang lagi, guru bermata cokelat itu seperti layaknya seorang peri, datang dengan sebuah nuansa. Nuansa yang sama ketika ia datang pertamakali ke tempat kami. Meskipun hari ini ia tak mendaki di kemiringan 45 derajat dan merasa lelah hingga akhirnya pingsan. Dia membawa banyak buku dan makanan untuk kami, juga sebuah kabar yang baik bahwa kami harus ikut berkompetisi dengan anak-anak di kota. Ini kesempatan kami, meskipun dengan sejuta keterbatasan yang kami miliki.

‘’Anak-anak, kita harus belajar lebih giat lagi’’

‘’Iya, kami siap bu’’ semua mata kami bersitatap satu dan yang lainnya. Mata kami berbinar penuh harap, harapan yang akan membawa menuju sebuah kemenangan untuk sebuah pengorbanan. Dengan tubuhnya yang tak lagi bisa berdiri dengan tegap di atas tanah dan matanya yang mulai hitam, ia tetap memiliki semangat yang besar. Masih sama saat pertama kali mengajari kami semua. Mengajarkan betapa pentingnya pendidikan untuk kami sebagai penerus bangsa yang akan melanjutkan estafet perjuangan. Kami semua paham bagaimana harus membalas jasa Ibu Aliyah selama ini. Cukup belajar dengan baik dan menjadi anak yang pintar.

‘’Bu guru, kami semua sudah punya meja untuk tempat menulis. Ayah kami membuatkannya agar lebih semangat belajar meskipun Ibu tidak ada’’ kata Aisyah dengan begitu bersemangat.

‘’Rio sekarang lebih pintar bu, dia rajin membaca setiap hari dan teman-teman yang lebih pintar mengajari yang lainnya’’ celetuk Andin

‘’Ia bu, kemudian kami sudah punya banyak buku. Ada beberapa orang pemuda datang dan memberikannya untuk kami’’ kata Evan, menambah ramai suasana saat menjemput Ibu Aliyah turun dari Helikopter.

Jika kau ingin tahu siapa yang mengirimkan buku-buku itu lewat pemuda-pemuda tadi, dialah Ibu Aliyah. Selama beberapa bulan tidak datang, kami semua mengira bahwa Ibu Aliyah tidak lagi ingat pada kami. Ternyata, kepulangannya dari sini membuat ia harus di rawat berbulan-bulan di rumah sakit. Ia selalu menitipkan rindu pada selembar kertas untuk kami yang selalu ditulisnya dengan kata-kata indah di belakang buku-buku pelajaran itu, membuat Evan yang membaca pertama kali menangis.

***

            Sebulan berlalu, setelah berlatih dengan keras pagi dan sore, kami memberanikan diri untuk pergi, pergi mencari sebuah cahaya masa depan untuk kami. 1 rombongan telah tiba di kota, kami datang lebih awal sebelum akhirnya mengikuti lomba.

‘’Kalian mau jalan-jalan?’’ tanya bu Aliyah

‘’Mau.. mau…’’ kami semua berseru keriangan

‘’Bagaimana kalau dengan sekolah tempat kita berlomba besok?’’

‘’Ia, tapi Nana takut bu’’ kataku

‘’Tidak perlu takut, mereka bukan harimau’’ Ibu Aliyah tersenyum dan mengacak-acak rambutku.

Sampai di sekolah, mata-mata itu menatap kami dengan tatapan miring. Pakaian kami dan tubuh kami yang dekil mana pantas berada di tempat ini. Kami berhenti ketika sebuah papan bertuliskan ruang guru pada sebuah kayu hitam yang terukir dengan rapi.

‘’Perkenalkan, ini Ibu Sofia’’ Ibu Aliyah memperkenalkan seorang wanita bertubuh gendut dengan perhiasan yang menghiasi tubuhnya.

Aku ingin menjabat dan mencium tangannya seperti yang diajarkan Ibu Aliyah. Itu salah satu sopan santun terhadap guru. Tapi, ibu Sofia sepertinya tidak suka. Ia menarik dan mengelap tangannya segera saat aku hendak ingin menciumnya.

‘’Waktunya pulang, kamu harus istirahat Aliyah’’ kata om Adam memperingatkan istrinya yang selalu saja keras kepala

‘’Tidak apa-apa, sebentar lagi. Anak-anak pasti senang berada di sini’’

‘’Ia bu, kami juga capek jadi kita pulang saja’’ kata Lili berbohong

Ibu Aliyah dulunya adalah guru di sekolah ini, hingga akhirnya cobaan itu datang, ia mengundurkan diri atas permintaan suaminya. Bagaimana mungkin suaminya mengizinkan istrinya yang sakit bekerja.

Sekolah ini cukup bagus, anak-anak juga rata-rata sudah memiliki HP bahkan laptop sendiri. Ah, alangkah beruntungnya mereka. Meskipun begitu, kita tidak boleh kalah untuk cerdas cermat Matematika besok. Kata Ibu Aliyah, sekolah ini salah satu saingan kami juga.

***

Hari itu telah tiba, masa-masa yang menegangkan untuk kami. Kami akan ditatap oleh puluhan penonton untuk pertamakalinya. Tanganku dingin, sementara Evan keluar masuk kamar mandi sejak tadi. Hari ini kami memakai seragam sekolah yang disiapkan Ibu Aliyah sejak jauh hari.

‘’Evan kenapa?’’ Tanya Ibu Aliyah

‘’Anu bu… Evan gugup mungkin’’ jawab Lili

‘’Kalian tidak perlu takut atau grogi. Ibu percaya, kalian anak hebat yang bisa diandalkan. Ibu ingin melihat kalian memegang piala itu. Apakah kalian ingin berjanji? Berjanji melakukan yang terbaik, bukan untuk ibu atau siapapun. Tapi, untuk mimpi-mimpi  dan kebahagiaan kalian di masa depan’’

‘’Baik bu, kami berjanji’’

Kami semua sudah siap untuk berangkat. Mobil kami melesat di jalanan yang ramai, terlihat gedung-gedung menjulang tinggi yang aku tak tahu dindingnya terbuat dari apa.

‘’Lihat itu, bagus ya!” sesekali Evan menunjuk-nunjuk ke luar mobil, sepertinya rasa takutnya sudah hilang.

‘’Ada kelinci’’ aku menempelkan wajahku di kaca mobil, memperhatikan penjual binatang peliharaan itu hingga akhirnya tidak terlihat lagi.

Setiba di sekolah, kami menuju satu ruangan. Ruangan yang telah bersih dan tertata rapi. Di depan sana ada meja yang tertulis regu A, B dan C. Ada tombol dengan lampu berwarna merah, kuning dan hijau. Kata Ibu guru bermata cokelat, sebelum memberikan jawaban harus memencet tombol terlebih dahulu.

‘’45, 50, 15’’ jawaban-jawaban atas ketiga regu yang tampil pertama begitu cepat dan benar. Saat pertanyaan hampir selesai dibacakan mereka langsung memencet bel. Kami pun melakukan hal yang sama, meskipun dengan rasa takut. Kami sudah berjanji, untuk itu kami melakukan yang terbaik seperti yang mereka lakukan.

‘’Itulah tadi, 10 sekolah yang telah bertarung dan memberikan usaha terbaik mereka. Selanjutnya, kami akan membacakan pemenang dari lomba ini. Juara ke 3 diraih oleh SD Gamaliel, Juara 2 diraih oleh SD Inpres 1 Talise dan Juara pertama diraih oleh SD’’ pembawa acara mengumumkan

‘’SD berapa?’’ riuh, tanya Ibu-ibu.

Kami telah mengira, kami tidak akan menang karena sekolah kami hanya Sekolah Daun, bukan sejumlah SD-SD yang ada di sini.

‘’Hadirin, saya tidak salah menyebutkan nama sekolah. Sekolah Daun saya singkat dengan SD’’

Tepuk tangan riuh para penonton membuat ramai perlombaan ini. Aku berterimakasih pada Tuhan yang sudah berbaik hati mengirimkan malaikat pada kami.

Di saat kebahagiaan itu datang menjemput, kesedihan itu muncul beriringan. Setelah usai lomba dan menerima piala, Ibu Aliyah harus dibawa dan dirawat di rumah sakit sebelum akhirnya pergi untuk bertemu sang pencipta. Kami menungguinya berhari-hari di rumah sakit, tak peduli bagaimana orang tua kami mengkhawatirkan di sana. Wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang tinggal terbungkus kulit, membuatku merasakan betapa sakitnya menjadi Ibu Aliyah. Tapi, kesabaran dan semangatnya membuat kami tidak takut lagi. Menggantungkan mimpi-mimpi di langit dan berjanji akan meraih kebahagiaan di masa depan.

***

Daun-daun telah menjadi saksi akan keinginan kami. Di sini, di atas awan, kami akan sungguh-sungguh belajar dan menjemput kebahagiaan masa depan. Untuk Ibu Aliyah, karena cintanya kami berjanji akan mengibarkan bendera merah putih di negara-negara lain. Negara yang selalu diceritakannya, ada Cina yang terkenal dengan teknologinya yang berkembang pesat dan juga Jepang yang terkenal dengan kedisiplinannya serta Amerika dan juga London.

‘’Tapi… siapa yang akan mengajari kita setelah ini?’’ tanya Evan

‘’Ia, hanya Ibu Aliyah yang selalu peduli’’ tumpah sudah air mata Lili, sahabat kami yang sering dipujinya.

‘’Aku rindu’’ kataku, seketika kami semua berpelukan sambil menangis

Aku selalu berharap, akan ada guru pengganti meskipun tak seperti Ibu Aliyah yang akan mengajari kami dengan sabar dan dengan ketulusan.

‘’Bapak yang akan mengajar kalian, anak-anak Aliyah anak bapak juga’’

Suara itu membuat kami mencari sumbernya, kami mengelap air mata. Ternyata, om Adam datang ke tempat kami dengan niat tulusnya. Menjadi guru bagi kami semua yang terlanjut menggantungkan mimpi di atas langit sana.


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *