Cerpen: Lentera Senja

Lentera
“ Sifa Ananda, S.E ”
Suara itu terdengar menggema memenuhi ruangan aula wisuda yang dipadati ribuan manusia.
Seorang wanita parubaya bergetar saat nama itu disebut, seakan tidak percaya, benar-benar seperti mimpi, rona wajahnya memerah dan ia tak dapat menahan keharuan yang tercipta, bening itupun pecah tak dapat terbendung lagi, saat semua pandangan tertuju pada seorang gadis manis dengan setelan toga yang tampak rapi dan pantas di badannya, ditambah make up yang sederhana membuat raut wajahnya yang nampak haru tak dapat ditutupi, mata gadis itu berbinar, dengan senyum mengembang , ia berjalan menuju podium dengan percaya diri, kebahagiaan yang ia rasakan sangat luar biasa, bahkan bibirnya hampir tak dapat berucap.
Mata Sifa berkaca-kaca, ia memandang kearah wanita parubaya yang sedari tadi tak dapat mengendalikan tangisnya, bukan tangisan kesedihan melainkan tangisan haru sekaligus bangga yang tak terkira, siapa sangka putri yang ia besarkan dengan penuh kesederhanaan kini berdiri didepannya dan menerima penghargaan sebagai seorang Sarjana dengan predikat Cumlaude.
Mata keduanya saling memandang dengan penuh keharuan, wanita yang mengenakan kebaya abu-abu bermotif klasik itu berjalan dengan kaki yang gemetar saat diminta untuk mendampingi putrinya.
Sifa meraih tangan Ibunya, mencoba untuk menenangkan hati orang yang paling dihormatinya itu, ia terus menggandeng tangan ibu Asih selama Rektor dan para Dosennya bergiliran menjabat tangan mereka dan memberi ucapan selamat. Seusai acara wisuda, mereka menyantap hidanagan prasmanan yang dihidangkan oleh panitia, sambil mengobrol dan bersukacita.
Ibu Asih masih duduk diantara para orang tua lainnya, ia tersenyum sembari memandang putrinya yang sedang bercengkrama dengan teman-temannya, sejenak ingatan Bu Asih berkunjung ke masa lalu.
Ia tampak bersemangat, sesekali melihat dirinya di cermin, dan memastikan setelan kebaya hijau sederhana itu pantas untuknya. Dengan hati yang berseri-seri, Bu Asih mengayunkan sepedanya menuju sekolah putrinya, hari itu adalah hari dimana akan diumumkan kelulusan siswa-siswi SD Tunas Bangsa, SD dimana putrinya bersekolah. Satu demi satu nama-nama siswa disebutkan, dari urutan tertinggi hingga terendah, ibu Asih cemas karena sedari tadi dia tak kunjung mendengar nama putrinya disebut.

“dan yang terakhir Bayu Sanjaya”, kepala sekolah mengakhiri pengumuman tersebut.
Ibu Asih tersentak sekaligus khawatir mengapa nama putrinya tidak termasuk dalam daftar, ia bergegas menemui kepala sekolah untuk menanyakan hal tersebut,

“Maaf Bu, seperti yang ibu ketahui nama Sifa tidak termasuk dalam daftar, artinya ia tidak lulus ujian dan harus mengulang tahun depan”.

Kata-kata itu seakan petir yang menyambar, hati ibu Asih begitu teriris dan tidak dapat berucap apapun, ia pulang dengan perasaan kecewa.

Tiba dirumah, Bu Asih mengganti pakaiannya, wajahnya tampak lesu, ia menghela nafas panjang kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang bambu berukuran 1 x 2 meter di sudut kamarnya, ia hendak rehat sejenak dengan menutup matanya, namun ia mendengar sayup-sayup suara tangisan, ia bangkit dari tempat tidurnya dan mencari asal suara tersebut.

Sifa mengisak dipojokan dapur rumahnya, ia sangat sedih karena tidak lulus ujian dan membuat ibunya kecewa, dia lebih takut lagi jika ibunya marah, apalagi mengingat ibunya begitu bersemangat, bahkan bersiap-siap sejak subuh tadi. Meskipun wajar saja jika Sifa tidak lulus, karena selama sekolah ia selalu berada di rangking terakhir bahkan beberapa kali harus naik kelas dengan bersyarat, tapi ibunya selalu percaya padanya dan memberinya semangat, bahkan telah bercerita pada tetangga bahwa hari ini anaknya akan lulus.

Ibu Asih menghampiri Sifa yang masih mengisak di pojok dapur, dan entah kenapa isakannya semakin menjadi, pastilah dia takut kalau-kalau ibunya marah,atau ibunya memukulnya karena kecewa, tapi tidak demikian, ibu Asih dengan lembut memeluk Sifa dan mengecup keningnya, Sifa mulai merasa tenang lalu mengangkat kepalanya, kemudian memberanikan diri memandang ibunya, ibu Asih tersenyum teduh sembari menyodorkan sebuah buku lusuh kepada Sifa.

Sifa masih termenung dipojok dapur setelah ibunya berlalu tanpa mengatakan apapun dan hanya memberi buku itu untuknya, Itik Buruk Rupa , judul buku itu cukup familiar bukan ?, yah dongeng klasik yang menceritakan kisah seekor itik buruk rupa yang dihina dan dijauhi karena kekurangannya, namun seiring berjalanannya waktu ia tumbuh dan menemukan jati dirinya sebagai seekor angsa yang cantik jelita.

Sebenarnya sederhana saja, sebagai seorang ibu, Bu Asih jelas kecewa dengan prestasi putrinya, namun ia seorang ibu, sudah menjadi kewajibannya untuk tetap berada di pihak putrinya apapun yang terjadi, dan sudah menjadi keharusan baginya untuk membangkitkan semangat putrinya. Ia sengaja memberikan buku itu pada Sifa, agar sifa dapat merenungkan makna dari cerita tersebut dan kelak bisa tumbuh menjadi anggsa yang cantik jelita.

Hari demi hari berlalu Ibu Asih semakin giat bekerja, ia bangaun jam 3 dini hari, menyiapakan segala keperluan untuk membuat jajanan pasar, kemudian menjualnya dipasar, sepulang dari pasar, jika masih tersisa ia jajakan dagangannya berkeliling kampung, melihat ibunya bekerja begitu keras, Sifa beberapa kali bertanya pada ibunya, dan jawabannya selalu sama,

“ Ibu bekerja untuk mu, biar kamu bisa sekolah ke perguruan tinggi dan jadi orang hebat nantinya”. Ibu Asih selalu tersenyum penuh harapan setiap kali mengatakan itu pada Sifa.

Sifa semakin sering merenungkan kata-kata ibunya.Bermula dari hal itu Sifa menjadi lebih giat belajar, ia berusaha keras agar lulus ujian, dan akhirnya Sifa bisa lulus SD meskipun masih di Rangking terakhir, namun begitu ibunya sangat gembira dan semakin bersemangat untuk mendukung Sifa.

Setelah masuk SMP prestasi Sifa mengalami Kemajuan, di semester pertama Ia berhasil menduduki rangking 18, kemudian semester berikutnya 14 dan berikutnya ia rangking 5, ini sempat membuatnya terlena dan puas sehingga di semester berikutnya rangkingnya anjlok ke urutan 25, yah meskipun prestasinya naik turun seperti jetcoster, namun ibunya lagi-lagi selalu berada disisinya dan memberi semangat, hingga pada saat SMA prestasinya mulai stabil, ia selalu masuk 5 besar di kelasnya, dan kemudian ia di terima di PTN impiannya, tentu saja hal itu tidak lepas dari kerja keras dan dukungaan Ibu nya.

Kembali ke-Aula wisuda, Sifa menghampiri Ibunya yang masih terlihat melamun, Sifa tersenyum dan memegang tangan ibunya dengan lembut, Bu Asih terbangun dari lamunannya. Ia sungguh bersyukur karena putrinya kini menjadi yang terbaik.

Sifa mengulurkan tangannya sembari menunjukan sebuah buku lusuh yang pernah ibunya berikan. Ya, Itik Buruk Rupa yang dahulu, kini telah menjelma menjadi angsa nan cantik jelita. Kemudian Sifa memeluk ibunya yang terlihat mulai renta, ia berjanji untuk selalu membuat ibunya bangga dan bahagia. Baginya ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada disampingnya dalam kondisi apapun, ibu adalah lentera yang menerangi langkah kita, bahkan dititik tergelap sekalipun.
Created By :
Yeni Astuti (2013)
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP UNTAD


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *