Cerpen : AeSello..

Ia akhirnya pergi. Memisahkan diri dari bagian yang bukan aku lagi. Tampaknya ia begitu berbahagia, aku melihatnya menari dengan riang. Ia sempat berkata,

‘Kita harus merayakan ini! Aku akhirnya bisa pergi jauh! Kemanapun yang ku mau!’

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Langit cerah malam ini. Mungkin aku seharusnya turut berbahagia, menemaninya menikmati malam, merayakan perpisahan yang begitu memilukan, setidaknya bagiku.

***

26 Oktober 2012.

‘Kapan kamu berulang tahun?’ Perawat Reyna membetulkan selang imfus Aes sambil tersenyum. Perawakannya pendek, kulitnya pucat dan ada tahi lalat di ujung bibir kanan bawahnya. Ia perawat paling ramah di rumah sakit ini, Aes sangat menyukainya.

‘1 Januari. Keren bukan? Bertepatan dengan tahun baru. Jalanan selalu ramai. Bunyi terompet dan kembang api akan bersahutan di sana-sini. Aku sangat menikmatinya, kami berdua selalu melihatnya dari jembatan Ponulele. Di sana langit dan laut berkolaborasi.’ Aesel bercerita panjang tanpa ditanya. Perawat Reyna mengangguk tanda mengerti. Ia sangat hafal pribadi Aes.

‘Maaf, apa aku terlalu banyak berbicara? Tapi aku benar menyukainya perawat Reyna. Langit menjadi penuh pada malam itu. Bukan cuma aku, Sello juga menyukainya. Iyakan? Iyakan?’ Aes mengguncangku yang sedari tadi diam saja mendengarkan.

‘Iya, Aes sangat menyukai tahun baru perawat Reyna, ia sangat suka ketika langit terlihat kotor oleh benda-benda aneh itu.’ Aes cemberut sambil mengangguk pelan, Perawat Reyna tersenyum lagi.

‘Bagaimana denganmu Sello?’

Aes diam, turut menunggu jawaban.

‘Ng.. Aku menyukainya juga.’ Aku melirik Aes sebentar dan cepat-cepat menutup mata untuk menghindari pertanyaan lain. 5 menit kemudian Aes masih berbincang, lalu perawat Reyna dengan nada yang sangat menyesal berkata bahwa Ia harus pergi memeriksa pasien yang lain. Selepas kepergian perawat Reyna, Aes menggumam, ‘ahh, aku sangat menyukai perawat Reyna.’ Kemudian jatuh terlelap di sampingku.

***

31 Desember 2011.

‘Sello! Sello!’ Tangan kiriku berguncang, dengan enggan aku membuka mata.’Kita harus pergi !! Cepat!!’

Aku mengerjap. Setengah tersadar, mataku mengitari ruangan, menyapa setiap selak-selak familiar. Ah, rumah.

‘Sello come on! Sebentar lagi pergantian tahun. Sebentar lagi 1 Januari!’

‘Oh tuhan.’ Aku membalikkan badan ke kanan. Membuat bahu kiriku terasa nyeri.

‘SELLOOOOO!’ Aes berteriak di telingaku. ‘SELLOOOOO!!!’

‘Aku capek Aes! Kamu pergi saja sendiri!!’

‘Sello..’ Suaranya bergetar, ‘Andai aku bisa Sel, aku ngga bakal ganggu kamu gini.’ Aes mulai terisak, dan aku benci ini.

‘Grhhh! Baiklah.’ Aku bangkit dan membalik badan. ‘Ayo kita pergi!’

Angin bergerak acak. Sesekali ia menampar ke kiri, kemudian sebaliknya. Hujan desember masih tersisa di sela-sela pepohonan. Aroma kayu memanjakan hidung. Hal yang takkan ditemukan di kota-kota besar.

Aes melangkah mantap, ia mengenakan mantel biru dan sepatu boot hitam. Aku menyisipkan tangan kami di saku kiriku. Menjaga agar tak terjamah dingin.
Jembatan Ponulele menggantung indah dari kejauhan. Dipenuhi manusia yang mulai menghitung mundur. Aes segera berlari menyeretku.

‘ 4… 3… 2… 1…’ Ucapan selamat tahun baru menggema di mana-mana. Aesel terlihat begitu gembira. Ia menganga menghadap langit. Aku menutup mata, mencoba membunuh bising dari kepalaku.

Hawa hangat menghampiri telingaku,

‘Happy birthday, Sello. Selamat tahun baru…’ Aku tersenyum. Ku tarik tangan Aesel lebih dalam ke saku kiriku.

***

28 Oktober 2012

‘Kamu siap?’

Aku mengangguk pelan.

‘Aku takut..’ Tangan kanan Aes bergetar Aku menatapnya.

‘Kenapa? Operasinya akan berjalan lancar, tenang saja.’

‘Bukan itu..’ Aes terhenti. Perawat Reyna memasuki ruangan dengan beberapa perawat lainnya. Mereka membaringkan kami diranjang yang berbeda. Tangan kiriku terasa nyeri ketika ranjang Aesel terdorong terlalu jauh. Aku tak mengeluh. Itu mungkin nyeri terakhir yang kurasakan. Setelah ini, tangannya takkan lagi menempel dengan milikku. Takkan lagi ada istilah kembar siam atau apapun itu.

***

Aku mengerjap. cahaya matahari menyapa dari sela-sela ventilasi.
Aku mengguncang tangan kiriku untuk membangunkan Aesel, ‘Hey, gadis semacam apa yang masih tidur jam segini?’

Tangan kiriku menggantung ringan di udara. Aku terbangun dan menyadari Aesel tak ada disampingku.

Ahh, sudah setahun lebih kami terpisah. Aku mengecek ponselku, 2 missed call dan satu pesan.

From: Aesello Diandra

‘Hey, kau tidak mengangkat telefonku! pria macam apa yang masih tidur jam segini?
Haha.. Sello! Kau tahu? Aku bertemu seorang teman baru, ia berasal dari Cina dan ia sedikit mengerti bahasa kita. Ia pindah ke
Kanada bersama keluarganya. Aku sedang belajar cara memaki menggunakan bahasa Cina, biar bisa ku gunakan melawanmu. Hahaha. Sello, bisakah kau membawakan Lili ke pemakaman ibu dan ayah? Hari ini hari ibu dan aku sedih karena aku tidak bisa melakukannya’

Aku melirik kalender dan melirik bunga Lili di meja yang ku beli semalam. Apa kau pikir aku akan lupa? Gadis bodoh.

‘Dan bagaimana kerjaanmu? Apa kamu punya rekan kerja yang baik? Atau bahkan cantik? Aha! Itu sebabnya kau jarang menghubungiku. Hati-hati! Jangan sampai aku mengutukmu . I love you Sello.. Dan aku rindu..’

Aku tersenyum, mengetik beberapa saat dan mengirimnya.

 

Air berhenti membentur tanah dan matahari beranjak menyerang membentuk pelangi di sisa-sisa hujan dedaunan. Jejeran makam menatapku beku. Aku sampai di hadapan dua lainnya, duduk di antara, terbawa pada memori yang hampir usang.

Ibu dan Ayah meninggal dalam perjalanan bisnis 9 tahun yang lalu ketika kami berumur empat belas. Meninggalkan kami tanpa keluarga yang kami kenal. Saat-saat di mana aku dan Aesel dipaksa menjadi dewasa dan hanya bergantung pada pengacara keluarga. Aku dilatih untuk menjadi penerus perusahaan ayah dan Aes hanya harus belajar dengan giat demi cita-citanya. Hal yang sangat melelahkan, dengan kondisi tangan kami yang saling menyatu, aku harus mengikuti rutinitas Aesel dan begitupun sebaliknya. Pengacara keluarga sempat memberikan ide untuk operasi pemisahan yang disambut dengan rengekan Aesel. Ia takut. Dan kami menjalani semuanya bersama dengan satu peraturan utama, tidak boleh ada satupun dari kami yang pergi ke toilet jika berada di tempat umum.

Aesel sering kali jatuh sakit. Terkadang ia demam pada malam hari, di saat perawat rumah telah pulang dan aku tak bisa bangun untuk mengambilkannya obat. Aku hanya bisa mengompres kepalanya dengan sobekan bajuku dan air minum di meja.

Ketika kami berumur dua puluh satu, Aesel lulus beasiswa S2 di Kanada, hasil belajar giatnya selama ini. Ia memintaku ikut, melakukan hal yang sama seperti beberapa tahun terakhir, pergi kemanapun ia pergi. Aku menolak.

Kemudian kami sampai pada satu keputusan, berpisah.

***
Malam terakhir Desember, 2013

Langit penuh oleh bintang, mematahkan prediksi BMKG yang menyatakan malam ini akan turun hujan. Jembatan Ponulele berdiri kokoh, menyambut rombongan manusia yang terus berdatangan.

Telepon genggamku bergetar, satu pesan menghiasi inboxku.

From : Aesello Diandra

‘Sello, ini kali kedua aku tak merayakan tahun baru sekaligus ulang tahun bersamamu. Hal yang tak pernah kubayangkan akan terjadi dalam hidup kita. Apakah kau ingat apa yang ku katakan sebelum operasi pemisahan? Aku takut.

Bukan Sello, aku bukan takut pada operasinya. Aku takut berpisah denganmu, melakukan hal apapun sendirian. Pikiran yang sama ketika pengacara mengusulkan operasi pemisahaan bertahun-tahun lalu.

Tapi aku baru sadar sekarang, kemanapun aku pergi, aku tidak pernah sendirian. Kau selalu ada di hatiku. Aku hanya perlu beradaptasi dengan lingkungan yang tanpamu di dalamnya.’

Aku tersenyum, gema suara mulai menghitung mundur ‘3… 2…’. Telepon genggamku kembali bergetar,

From: Aesello Diandra

‘Selamat ulang tahun Marsello. Selamat tahun baru. Aku rindu…’

Bunyi petasan menggema beriringan. Kembang api bergerak memecah langit.
Angin meniup rinduku, bergerak menyeberangi lautan, mencari sosok mungil adikku. Jarak mungkin membawanya terlalu jauh, tapi cinta, gerakan tangan kanannya, cerita tak hentinya, senyum dan tangisnya membuat ia dekat dan masih bersamaku.


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *