Ah Sudahlah : Itu Semua Hanya Kenangan (Part 1)

Perkenalkan namaku Rio. Aku duduk di semester 7 di salah satu Universitas di daerah Surabaya. Tidak perlu mengenalku terlalu jauh, karena itu akan mebuatmu jatuh cinta padaku.. hehehe.

1 Januari 2018, entah mengapa di hari dan malam itu aku merasa biasa-biasa saja, seperti tidak ada sesuatu yang istimewa. Entah karena keyakinan yang aku miliki ataupun suasana rumah yang memang tak mengistimewakan malam itu. Ah sudahlah, itu tidak penting untuk kuceritakan, semua orang punya interest sendiri-sendiri tentang malam itu, aku hanya menceritakan apa yang aku rasakan. Tepat tengah malam aku berfikir untuk mau menulis, entah tentang apapun itu, aku pengen sekali. Awalnya aku hanya menulis puisi, dan kemudian teringat akan dirimu. Ya.. dirimu yang pernah ada di hatiku. Aku hanya ingin menulis untukmu, dan semoga kamu membaca ini.

Assalamualaikum Sandra, apa kabar kamu disana? Apakah kamu masih mengingatku? Kuharap kamu masih mengingatku dengan sejuta kenangan yang kita ukir dulu, namun aku hanya berharap kau mengingatku melalui doamu serta akan selalu kusebut namamu dalam doaku.

Sebelum membaca ke bawah, saya luruskan kalau tulisan ini bukan bermaksud untuk merayu lagi, apalagi untuk melamarmu *eh. Rangkaian kata ini aku tulis hanya sebagai pemberitahuan. Entah mengapa, pokoknya ‘‘kamu harus tahu itu’’ *seperti judul acara tv saja*. Dan sebagai ucapan minta maaf. Karena rasanya kita ini sudah menjadi keluarga dekat. Jika bertemu dengan teman-teman SMP selalu hanya ada satu kalimat yang mereka katakan padaku, “Golek’i Sandra Ri”. Kata teman-teman dengan logat jawa yang kental dan ekspresi menggoda yang kurang lebih artinya dicari Sandra Ri. Hampir semuanya mengatakan begitu. Itu bisa menjadi isyarat jika hubungan kita bukan sekedar teman. Toh memang kita digojloki (kurang lebih seperti godaan ciee cieee dan sebagainya) mulai dari SMP sampai SMA, itupun berlangsung terus-menerus. Ah sudahlah.

Kita kenal mulai kelas 7 SMP, itu karena kita satu kelas. Tak lama kemudian, dan kamu juga tahu kalau aku mulai menyukaimu *ingat, bukan cinta :P*. Yaa memang saya hanya tertarik dengan dirimu saat itu, aku belum cinta. Hampir setiap malam aku meneleponmu, via telepon rumah pula. Karena zaman itu memang kamu belum diizinkan untuk pegang HP, entah karena orang tuamu yang super protektif atau apalah, aku tak peduli. Dan aku beruntung kamu punya telepon rumah. Sampai kamu dimarahi ibumu.

“Nypo meneh sih? Panggah telepon-telepon terus? Aku diseneni mbahku karo ibukku” katamu saat itu (Kenapa lagi sih? Selalu telepon terus? Aku dimarah nenek sama ibuku)

sumber : Google.com

Lanjut naik kelas, aku mencoba memberanikan diri. Aku masih ingat betul pada waktu itu, berulang kali mengajakmu bicara, mencari waktu yang tepat, tapi jawabannya selalu, “Insya Allah”. Kamu mengatakan pulang sekolah, oke saya tunggu. Kamu janji setelah rapat OSIS (memang saat itu kamu adalah salah satu siswa yang selalu aktif di organisasi), ku siap menanti.

Kadang otakku tak mampu untuk ikut tertawa jika kuingat masa-masa remaja kala itu, ingin sekali rasanya aku berteriak dan tertawa lepas di lapangan untuk melawan otakku yang enggan untuk menerima, entah kenapa. “Itu masa mudaku, memang anak muda begitu, sangat labil, hampir tidak menghiraukan apa saja disekitarnya”, pikirku dalam hati

Jeng jeng jeeeeng *nada game COC*.

Oke! kembali ke penantian, aku berusaha ,mengingat kembali jawaban yang telah kamu berikan kala itu . “Maaf Rio, aku belum ingin pacaran”, katamu yang kuingat sambil kamu tundukkakn pandanganmu padaku. Jika kugambarkan rasaku kala itu, bisa jadi tergambar gunung meletus atau tsunami. Yaa.. benar-benar sakit dan hancur. Bukan hanya penantian yang panjang, tapi perasaan penasaran akhirnya dipatahkan dengan penolakan yang sangat halus yang sulit untuk diterima.  Sudah menunggu lama, mau ngomong ditunda-tunda, gak diterima pula. Ah sudahlah,semua itu hanya kenangan.

Tak berselang lama, kau telah menemukan your first love  yang tentunya bukan diriku. Aku tak perlu menyebutnya siapa, kau pasti sudah tau itu.  Dan saya pun dapat yang lain, hehehe…  Entah kenapa secepat itukah kita berpaling, mungkin kita lalu masih remaja, yang hanya mengandalkan cinta-cinta monyet saja. Ah sudahlah.

Waktu berlalu, kamu ada masalah dengan beberapa orang mengenai asmara. Tentu kamu ingat tentang ceritamu yang dikeroyok senior  hanya karena dikira merebut pacar miliknya. Waktu itu saya hanya berkata dalam hati, “kalau kamu dengan saya, kamu tidak akan pernah merasakan itu”.  Aku pun sudah tau maksudmu bercerita itu, entah kenapa aku dengan mudahnya menebak apa maksudmu kala itu. Dan tebakanku benar, kamu pun minta tolong agar aku menjadi pacar pura-puramu. Apa boleh buat, tak ada alasan untuk menolak. Jika bisa kenapa tidak berhubung disitu juga aku pun sudah single lagi (pemikiran remaja kelas 2 SMP kala itu) . Kian berjalannya waktu, akhirnya kita pacaran juga. Aku pun tak tau tanggal pastinya, semua itu mengalir saja seperti air. Ye yee yeeee 😀

Waktu pun terus berjalan seperti biasa, berselang  1 bulan, hati ini mulai berpaling kepada si π. Maafkan aku yang dulu gampang untuk jatuh cinta, aku tak tau, mungkin karena waktu itu aku masih remaja yang memang masih gila akan cinta. Akhirnya kita putus dan ada sedikit pertikaian waktu itu, biasalah, namanya juga belum dewasa. Aku merasa kita semakin jauh, semakin sangat jauh. Istilah Belandanya ‘satru’ (istilah di jawa untuk keadaan tidak saling sapa). Aku masih sangat ingat, ketika kalian (Kamu dan Wendi) saling sapa. Aku pun merasakan ketidakpercayaan diriku muncul kala itu, aku merasa kamu sudah tidak peduli denganku. Aku pun tak berani menyapamu duluan. Tak lama kemudian aku pulang, aku terus berpikir tentang kejadian itu, kejadian yang kau tak menegurku, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk mengirim pesan singkat kepadamu. Entah sejak kapan kamu memiliki HP dan darimana aku mendapat nomormu. Aku tak mengingat itu.

“Sing di aruh-aruh i Wendi took”, pesan singkatku kepadamu. (kataku dalam bahasa Jawa yang artinya ,yang disapa cuma Wendi).

“Kan wes mewakili”, jawabmu. (Kan sudah diwakili). Ya begitulah, aku tak memperdebatkan itu, wanita selalu punya alasan. Itu yang kupikirkan ketika mau memperdebatkan hal itu. Aku terima.  Sejak saat itu kita sudah mulai berteman (entah kenapa aku merasa kita seperti musuh sebelumnya). Pertemanan ini berjalan secara semestinya, seperti biasa. Tapi beda dengan yang kurasa, aku merasa ini sudah bukan lagi pertemanan, aku merasa semua ini lebih dari teman. Aku tidak pernah tau apa yang kamu rasa, karena aku enggan untuk bertanya padamu. Ah sudahlah, rasanya cukup sudah kuingatkan kembali melalui tulisan ini. Mengingatkan kembali kisah kita yang pernah ada. Aku tak tau kamu masih ingat itu atau tidak, aku hanya bisa menyimpan kenangan ini di hatiku…


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *