Kamu, di Pagi ini (Cerpen)

“Palu, di sebuah pagi di penghujung minggu di bulan basah.”

Pagi ini di minggu akhir Desember hujan turun dengan tidak begitu deras, lengkap dengan wangi tanah yang baru tersiram air. Cuaca pagi ini seperti mengajakku untuk tetap berlama-lama ditempat tidur.

Aku masih berada dipelukan selimut saat sebuah notifikasi pesan masuk di handphoneku.

Silau pijar layarnya membuatku memicingkan mata yang memang masih sangat mengantuk.

Dilayar handphoneku telah tercantum sebuah nama yang telah sekian lama tidak lagi terdengar. Sosok laki-laki berzodiak ikan yang dulunya suka menyedot minuman favoritku tanpa ijin.

“Masih ingat ini?”, sebuah pertanyaan masuk tanpa basa-basi.

Dalam hitungan detik aku jadi teringat pada si pengirim pesan, dan sifatnya yang memang sering kebingungan untuk menentukan cara memulai pembicaraan. Dibawah pesan itu terlampir dua buah gambar. Gambar pertama, dua buah karcis tiket nonton lengkap dengan jam pemutaran dan nomor seatnya. Gambar kedua, dua orang ABG labil menggunaakan pakaian putih abu-abu dengan memegang popcorn yang berukuran besar. Gambarnya tidak begitu terang, karna diambil dengan kamera Nokia yang sudah ku lupa tipe berapa. Yang pasti pernah hits pada jamannya.

Tidak banyak yang ku ingat tentang hari itu, kecuali soal kita yang untuk pertama kalinya berani pergi nonton berdua. Sebelum hari itu kita sama seperti ABG putih abu-abu lainnya, kita hanya berbincang lewat pesan singkat hingga ribuan banyaknya. Pertemuan kita yang semakin sering seolah menjadi rutinitas baru.

“Masih lah, Haha. Tidak terasa sudah 5 tahun lalu ya”, balasku.

Bersamaan dengan pesan itu terkirim, tiba-tiba semua ingatan soal sosok pengirim pesan tersebut bermunculan.
Tampil bergiliran seolah masing-masing potongan ingatan sudah berbaris sesuai nomor antrian. Semuanya tampil dengan detail hingga ke tiap kejadian terkecilnya. Terlau detail, sampai-sampai rindu dibuatnya.

Dalam waktu singkat aku jadi mengingat bagaimana rasanya pertama kali dibuat jatuh hati, lalu kemudian dipatahkan oleh orang yang sama. Sialan. Semanis atau segetir apapun, kenangan memang selalu punya daya tarik tersendiri.

“Apa kabar sekarang? Masih di Palu kan?”, pesan darinya kembali masuk.

Aku baik-baik saja, dan rasanya dia pun sama. Sejujurnya, senang rasanya tahu kita berdua baik-baik saja, dan sedang sibuk berlayar menuju apapun tujuan akhir kita. Sudah sejak lama aku memang tidak lagi mengikuti perkembangan cita-cita yang ia usahakan. Sudah lama saya tidak lagi ikut dalam persinggahan-persinggahan hidup yang ia rasakan. Mungkin, jika semesta memberi ijin, kita akan dibawa berlayar ke sebuah titik temu berikutnya. Dimana kita akan mengakhiri ini semua dan berdamai dengan kenyataan, atau bahkan memulai kembali.

“Lanjutin cerita 5 yang tahun lalu yuk?”, sebuah pesan kembali masuk, dan lagi-lagi tanpa basa-basi.

Aku terdiam, kebingungan mencari jawaban apa yang harus kuberikan. Ini masih pagi dan seseorang dari masa lalu mendadak datang berkunjung tanpa banyak basa-basi.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit.

Aku masih terdiam menatap layar handphoneku tanpa mengetik jawaban apa-apa.

“Bagaimana?”, pesannya datang lagi.

Setelah satu helaan nafas panjang dan puluhan pertimbangan,  akhirnya aku memutuskan untuk memberi jawaban yang semoga saja tidak memberi kekecewaan bagi kita berdua. Karena memang rasanya kita berdua sudah cukup pernah saling mengecewakan satu sama lain.

Dengan rasa gugup dan ragu yang luar biasa, ku beranikan untuk menjawab pesan itu, “Boleh. Mau kapan?”

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *