Cerpen : Jatuhnya Sang Mahakuasa – Karya Dito Englen

Dua tahun sudah rasanya aksi-aksi perlawanan dan pemberontakan terus menerus digelorakan, meskipun sering kali redup, sesekali juga tensinya memuncak dan terus menerus melahirkan benih-benih kesadaran baru akan sebuah ketertindasan.
Kumpulan orang-orang bodoh itu masih saja terus melawan atas kekuasaan Sang Mahakuasa; seorang raja dengan gaya retoris yang katanya sayang rakyatnya.

Tentu saja orang-orang itu bodoh dan konyol, Sang Mahakuasa tentu tak tertandingi, tak ada kuasa di atas kuasanya, banyak penjilat dan bandit-bandit pintar di bawah kuasanya, sekalipun dia hanya manusia biasa yang bertakhtakan mahkota Raja.

Lantas, sejak kapan manusia biasa ini dianugerahi gelar Sang Mahakuasa? Tentu sejak titahnya tak boleh lagi dibantah, khitahnya anti kritik dan ucapnya merupakan kebenaran tunggal. Jika melanggar, maka tunggulah namamu berakhir di pengadilan kerajaan.  Tepat pukul sepuluh keesokan paginya, hukum pancung atas kepalamu akan jadi tontonan menarik yang mampu menghantui orang-orang bodoh lainnya.

Siapa berani melawannya? Hanya orang bodoh tentunya. Aku mungkin orang bodoh yang sebentar lagi akan dipenggal kepalanya hahaha” gumam Dogran dalam lamunannya.

Asal tahu saja, Dogran merupakan salah satu punggawa dari kumpulan orang bodoh yang menentang secara terang-terangan kekuasaan Sang Raja. Lelaki kurus dengan rambut gondrong sebahu itu berasal dari distrik sebelah timur kerajaan, beberapa kali Dogran memimpin pemberontakan dan mendalangi aksi massa besar-besaran. Tidak hanya itu, tulisan-tulisan propagandanya tersebar hingga ke pelosok kerajaan, puisi dan sajak-sajaknya menggema di tiap barisan perlawanan.

Sebagai orang bodoh, Dogran sukses membuat Sang Mahakuasa merasa amat terusik dan geram terhadapnya. Alhasil, kepala Dogran dihadiahi sepuluh karung emas bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya bernyawa maupun tanpa nyawa.

***

Sore itu, saat cahaya merah dan embusan angin mulai mengusik lamunannya, saat bintang utara mulai menampakkan sedikit kelipnya, sekonyong-konyong sebuah ide muncul di kepala Dogran. Dalam lamunannya, Dogran membayangkan menulis sebuah cerita, cerita besar lebih tepatnya. Sebuah cerita tentang Jatuhnya pemerintahan Sang Mahakuasa.

“Setidaknya walau hanya sebuah cerita fiksi dari hasil tulisanku, aku yakin suatu saat kamu akan binasa dengan semua akal bulusmu wahai Mahakuasa hahaha” lelaki kurus itu meracau sendirian sembari memikirkan sebuah rencana besar. Dibulatkan tekadnya, dia harus segera menyelesaikan idenya kali ini.

Sore berganti malam, lekas diambil pena dan kertasnya, mulailah Dogran menulis di Pondokan persembunyiannya. Dalam keheningan,  Dogran ditemani suara jangkrik yang padu padan, seakan jadi nada pemantik semangat untuknya. Di awal kertas, dibuatnya sebuah sajak pendek pemberontakan sebagai pengantar cerita.

***

JATUHNYA SANG MAHAKUASA

SERU-SERUAN PERLAWANAN TAKKAN SURUT, SELAMA KEBENARAN MASIH MENJADI HAK SEGELINTIR ORANG, ADA API YANG AKAN TERUS MENYALA, KEMUDIAN MENJALAR MEMBIKIN NYALA-NYALA API LAINNYA.

JIKA TITAHNYA TAK LAGI BOLEH DIBANTAH, KHITAHNYA ANTI KRITIK DAN UCAPNYA ADALAH KEBENARAN TUNGGAL, DIA MELEBIHI TUHAN ATAS SEGALA HAL, MAKA TERBAKARLAH! TERBAKARLAH SANG MAHAKUASA MENJADI ABU. JATUHLAH KAU SEKARANG JUGA!

DOGRAN ^

***

Sajak itu sengaja ditulisnya dengan huruf besar-besar semua, dia ingin semangat kumpulan orang-orang bodoh lainnya menjadi besar-besar pula saat membaca cerita tersebut, tidak lagi takut melihat tiang pancung yang berdiri megah tepat di tengah alun-alun kota sana, tidak lagi gemetar saat mendengar vonis hakim yang seolah jelmaan malaikat pencabut nyawa.

Semalam penuh, waktunya dihabiskan untuk menulis cerita tersebut. Jarinya menari-nari merajut bait-bait kata, matanya melotot memandangi kertas, Dogran tenggelam dalam fiksi Jatuhnya Sang Mahakuasa. Tepat dipuncak malam, saat jarum jam menunjukkan pergantian hari, Dogran akhirnya merampungkan cerita itu.

Dari kejauhan, derap langkah prajurit Sang Mahakuasa terdengar, telinganya sudah sangat peka dan hafal dengan langkah kaki yang selalu memburunya itu. Mungkin persembunyiannya telah diketahui lagi kali ini. Dirapikannya kertas-kertas hasil kerjanya semalam suntuk. Lekas dilangkahkan kakinya menuju pintu belakang pondokannya.

Para prajurit mendobrak pintu, namun Dogran lenyap tak bersisa. Hanya sebuah topi cokelat butut yang didapati para prajurit di pondokannya, topi itu tergeletak di atas meja, di bawah topi terdapat secarik kertas berisi pesan;

“Pulanglah beristirahat, tak perlu mencariku hahaha, aku akan ada di alun-alun kota tepat pukul sepuluh besok. Ttd, Dogran”.

Sebab kejaran Prajurit Sang Mahakuasa itu, akhirnya Dogran memutuskan untuk bertemu Korela sebelum pagi, meski dengan nafas yang tersengal-sengal. Korela adalah salah seorang sahabat dekatnya, kawan pelarian sekaligus tempatnya berhutang. Tak hanya itu, Korela juga merupakan gadis yang dipujanya diam-diam. Dogran paham, tak mungkin menjalin hubungan dengan status sebagai buronan. Itulah pengorbanan perjuangan menurutnya, tak hanya soal tenaga dan waktu, tapi juga perasaan, bahkan cinta, begitupun kasih sayang.

Dititipkannya tiga lembar kertas berisi cerita yang ditulisnya itu kepada Korela. Dogran berpesan agar Korela memperbanyak dan menyebarkan cerita itu tepat pukul sepuluh besok pagi di alun-alun kota. Dogran mengucap salam perpisahan kepada Korela;

“Selamat tinggal, kabarkan kepada semua kumpulan kita bahwa AKU TAK PERNAH MATI!! Hahaha” lelaki itu tertawa puas lalu berlalu pergi meninggalkan Korela. Entah apa yang ditertawakannya, Korela juga bingung dan tak mengerti sama sekali apa maksudnya.

Tanpa sempat membaca apa yang tertulis dalam kertas-kertas itu, Korela bergegas memperbanyaknya. Sudah pasti tulisan-tulisan Dogran merupakan sesuatu yang penting pikirnya. Sebelum pukul sepuluh pagi, cerita itu berhasil dicetak perbanyak. Korela bergegas menuju alun-alun kota untuk membagikan kertas-kertas berisi tulisan Dogran, tulisan itu dibagi bersama beberapa orang dari kumpulan mereka yang sudi membantunya.

Gadis itu bersama kawanannya tiba di alun-alun lagi sepuluh menit pukul sepuluh. Ternyata, sedang ada eksekusi dilangsungkan pagi itu. Warga ramai memadati alun-alun ingin menyaksikan eksekusi berlangsung. Korela dan kawanannya bergegas membagikan kertas-kertas berisi cerita karya Dogran kepada Warga. Seluruh kertas ditangan korela terbagi habis dan disisakannya satu rangkap untuk dibaca olehnya.

Eksekutor mulai menaiki podium tiang pancung, seorang pria yang wajahnya ditutupi kain hitam berdiri dibelakang mengikutinya, sementara Sang Mahakuasa duduk manis di kursi kehormatan dengan senyum kemenangan. Saat kain hitam pria yang akan dieksekusi diangkat, seluruh alun-alun mendadak hening, mata mereka terbelalak menatap ke arah pria yang akan dieksekusi pagi ini. Korela diam membisu, mulutnya tak mampu berkata-kata, sementara matanya melotot memandangi pria tersebut. Seorang warga dari kerumunan berteriak lantang “Liat itu Dogran!!!”, Seketika alun-alun kembali riuh, namun orang-orang tetap saja tak percaya bahwa penulis cerita yang sedang mereka baca saat ini adalah orang yang akan dieksekusi pagi itu.

Sesaat sebelum pisau pancung raksasa menghantam lehernya, Dogran tertawa terbahak-bahak, sembari berteriak; “Hahaha, AKU TAK PERNAH MATI!!!”. Di akhir tawanya, darah tumpah membanjiri ember penampungan, kepala Dogran jatuh tepat di tengah ember. Alun-alun memanas dan kekacauan mulai terjadi.

***

Seminggu setelah eksekusi Dogran, kumpulan orang bodoh akhirnya membludak, nada perlawanan kembali diteriakan di jalan-jalan, barisan pemberontakan bersekutu dengan tekad dan niatan yang sama, yaitu; Mengakhiri pemerintahan Sang Mahakuasa. Seluruh kerajaan kacau balau seakan tenggelam dalam fiksi Dogran yang berjudul “Jatuhnya Sang Mahakuasa”.

Sebulan setelah eksekusi, Sang Mahakuasa lengser dari takhtanya. Kumpulan orang-orang bodoh yang dipimpin Korela berhasil menduduki kerajaan. Benar saja Dogran seakan tak mati, namanya mengakar dan abadi di tiap sudut-sudut kerajaan.

Namun satu hal yang mungkin lupa dituliskannya, tak banyak yang sadar para Penjilat dan Bandit-Bandit pintar yang tersisa akan tetap mengintai untuk berebut gelar Sang Mahakuasa yang baru.

**
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas MIPA Angkatan 2015

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

 


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *