Belajar

Refleksi Untuk Mahasiswa | Antara Belajar dan Berkuliah

Refleksi untuk Mahasiswa: Antara Belajar dan Berkuliah

Mahasiswa adalah sandangan atau status tertinggi bagi pelajar dalam dunia pendidikan formal. Ia menuntut ilmu di perguruan tinggi setelah berhasil menyelesaikan tahap sekolah dasar dan menengah. Agent of change, intelektual, atau aktivis adalah klaim yang disematkan kepada mereka. Alhamdulillah saya juga mahasiswa. Sedikit terlintas di benak saya, apa benar mereka penuntut ilmu? Calon intelektual? Atau agen perubahan? Setelah menghadap realita, nyatanya tidak sepenuhnya demikian. Tipe mahasiswa masa kini terbagi menjadi dua: 1) berkuliah; dan 2) belajar.

Kuliah adalah nama lain dari belajar untuk penyandang status mahasiswa. Namun, izinkan saya memilah mana itu kuliah, dan mana itu belajar.

Berkuliah yang saya maksud di sini adalah kegiatan mengisi kekosongan waktu pasca lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Mereka yang tipe ini menjadikan kuliah sebagai hobi semata. Kebanyakan, mereka ini kuliah bertujuan untuk dapat meraih gelar kemudian terjun ke dunia kerja. Sekadar itu saja: meraih gelar.

Namun, menurut hemat saya, ini adalah sebuah kekeliruan yang fatal bagi niat mahasiswa. Kuliah cari gelar? Naikkan derajat sosial? Tinggikan prestise? Atau memang benar-benar belajar? Kuliah cari gelar biar bisa kerja? Seberapa menjamin? Coba lihat di luar sana berapa banyak sarjana yang menganggur. Bahkan, secara kasat mata kita bisa melihat betapa banyak lulusan yang sebenarnya menjadi pengangguran friksional. Ada juga beberapa lulusan perguruan tinggi yang tidak menganggur, tapi bekerja tidak sesuai dengan gelar yang tersemat di belakang namanya. (Kita realistis saja, ya!). Ada yang lulus di bidang pertanian, tapi menjadi pekerja kasar di sebuah perusahaan. Ada yang lulus di bidang keguruan dan pendidikan, tapi menjadi teller di bank. Dan masih banyak lagi.

“Saya mau cepat lulus biar bisa cepat kerja”

atau

“Yang penting hadir terus, dilihat dosen, aman sudah nilainya kita”.

Pernah dengar mahasiswa yang berkata seperti itu? Saya terkadang membatin, apakah mereka ini benar-benar kuliah, atau kah memang hanya cari nilai semata? Sebab saat ini, nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) begitu dihargai ketimbang ilmu yang diberikan. Tak usah mengelak, ini realita. Bukankah nilai adalah salah satu akibat dari kapasitas ilmu kita—selain pendekatan sosial yang begitu andal? Nilai tinggi, menjamin ilmu kita? Atau menjamin karir kita ketika sarjana? Saya dan pembaca yang budiman pasti sepakat: belum tentu. Kita terlalu fokus pada nilai, sehingga suka lupa kalau ilmu kita pas-pasan. Seberapa sering kita mengandalkan bantuan kuantitas absen dan pendekatan sosial kepada dosen? Yang pernah jadi ketua kelas, hal ini awalnya mengejutkan, tapi banyak yang kecanduan demi nilai yang menggemaskan.

Generasi milenial kebanyakan seperti ini: berkuliah, bukan belajar sebagaimana hakikat pendidikan. Hal tersebut seperti virus yang membius pelajar masa kini secara kolektif dan tertanam di pola pikir mereka. “Sekolah itu candu”, sedikit banyak saya setuju dengan tulisan-tulisan hasil buah gagasan Roem Topatimasang. Banyak yang menjadikan sekolah sebagai tangga sosial. Kuliah juga sekolah, bukan?

Faktor ini menurut saya bukan semata-mata dari diri mahasiswa sendiri. Maksudnya, ada faktor dari luar yang mendukung kita untuk tetap menjadi pemburu nilai. Salah satunya adalah guru dan dosen. Kebanyakan guru jarang yang memberi kesadaran atau doktrin yang menekankan bahwa belajar itu penting.  Yang ditekan adalah sekolah, sekolah dan sekolah. Sekolah setinggi-tingginya  biar sukses dan dihargai di masyarakat. Karena guru digugu dan ditiru, ya begitulah jadinya: sekolah tak kenal makna sekolah.

Dosen juga berpengaruh. Sudah mahasiswanya ada yang tidak sadar pentingnya belajar, malah dibiarkan. Sedikit saja yang memberi perhatian ke arah situ. Masa bodoh dengan mahasiswa, berdalih bahwa dosen bukan guru. Wajar jika ada beberapa tenaga pendidik di perguruan tinggi lebih mengutamakan haknya dibanding kewajibannya. Ingat ya, beberapa, bukan semua.

“Maaf nak, saya tidak masuk mengajar karena ada urusan. Diskusinya dilanjutkan saja. Absen dan monitoringnya tetap jalan, ya”

Pernah? Kita kuliah tidak gratis lho. Ilmu itu hak  kita kalau kewajiban kita sudah ditunaikan. Dosen kan tugas utamanya itu mengajar, jabatan lain itu hanya tambahan. Hak silakan ambil, kewajiban jangan ditanggal. Kasihan mahasiswa ditelantarkan. Tidak masuk belajar, tapi absen dan monitoring tetap jalan. Jumlah pertemuan hanya 14 kali tersempatkan, ditulis di absen 16 kali pertemuan. Parahnya lagi, ada ketua kelas bersama kawan-kawannya yang mau berkompromi dengan hal seperti ini, dan tetap merasa baik-baik saja. Inilah yang saya maksud dengan kuliah bukan belajar.

Sekarang, coba kita luruskan niat kita. Tempatkan cita-cita bekerja dan sukses itu akibat, bukan tujuan. Fokus ke proses dan ilmu, pekerjaan dan karir pasti  menghampirimu. Pesan-pesan “sekolah baik-baik” itu jangan diartikan “sekolah cari-cari nilai”. Bangsa ini butuh intelektual dan orang-orang yang berpendidikan, bukan gelar-gelar yang tersematkan di balik nama nan gemilang.


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *