Kisah Yang Lupa Diceritakan

Tak ada kiranya yang lebih indah dari pemandangan mentari tergelincir di ufuk teluk sana, semburat jingga dan oranye yang mewarnai kumulus mungkin saja pertanda beberapa dari anak Adam yang tengah melingkar dan terjebak dalam diskusi hangat itu benar-benar tengah dilanda rindu yang begitu hebatnya. Pemandangan diskusi di taman depan kampus saat senja seperti ini belakangan memang lebih sering terlihat. Efek kebijakan jam malam yang tak lagi memperbolehkan aktivitas malam hari di dalam kampus membuat para pecinta sekretariat, nyawa-nyawa lembaga itu berbondong-bondong tumpah ruah menjadikan taman depan kampus sebagai ladang baru untuk menggali ilmu yang tak diperoleh dari bangku kuliah saat siang hari.

Di antara trambesi yang telah tumbuh gagah dan bonsai kehijauan yang baru saja selesai dipangkas melingkar, di sisi kiri gerbang masuk utama, tepat di bawah logo kampus dipajang megah, sebuah lingkaran sedang digelar. Membikin malam seolah-olah lebih cepat tiba dari biasanya.

Entah siapa moderator dan narasumbernya, entah darimana datangnya topik-topik itu, entah apa yang sedang berkecamuk di kepala para pemuda ini, tiba-tiba saja lima sekawan yang kerap menjadikan taman kampus sebagai pernyataan sikap-sikap politis mahasiswa, kini sedang terjebak dalam nostalgia kampung halaman masing-masing.

Kelimanya perantau, dari daerah yang jauh-jauh pula. Tiga eksakta, dua non-eksakta. begitu kira-kira latar fakultas mereka. Tiga kurus khas anak kosan kekurangan amunisi tempur dapur, sisanya gemuk air khas anak kosan kelebihan galon. Empat masih seprovinsi satu sisanya dari luar daerah.

Berjibaku dengan lembaga kemahasiswaan dan gerakan-gerakan dalam kampus memang kerap mempertemukan pemuda-pemuda tanggung seperti mereka. Pemuda yang sepertinya tengah menenun jati diri menjadi kain-kain peduli yang tumpuk-tumpuk rapi. Yang jelas kelimanya tetaplah anak adam, para perantau, pelimbang, pendatang, musafir yang mengerti betul cara merindu ketika sudah lama tak menginjakkan kaki ke kampung halaman.

“Kapan terakhir pulang kampung?” Kata salah satu dari lima sekawan yang mengenakan baju putih berkerah dengan bordiran ‘NKRI HARGA MATI’ di punggungnya plus celana kain hitam yang menjadi ciri khas resminya. Beberapa dari mereka beranggapan Si Celana Kain mungkin saja tak memiliki celana dengan bahan denim sama sekali.

Mendengar pertanyaan dari Si Celana Kain itu, keempat sisanya menengadahkan kepala kelangit yang sedikit silau karena cahaya lampu jalan yang super terang. Kesemuanya seolah ditusuk rindu tiba-tiba. Mengingat-ngingat wajah Ibu dan Ayahnya. Menimbang, menghitung kemudian berusaha memutuskan jawaban masing-masing.

“Dua bulan lalu. Kenapa?”
“Enam bulan mungkin. Kenapa?”
“Satu tahun pasti. Kenapa?”
“Dua tahun kurang lebih. Kenapa?” Keempatnya serempak menjawab. dan balik bertanya.

“Dulu, waktu masih boleh di dalam, saya jarang pulang kampung. Tugas tumpuk-tumpuk akibatnya sekretariat seperti rumah kedua. Kossan sunyi. Apalagi saya tidak paham masak. Belakangan saya lebih sering pulang ke kampung karena sunyi” Sambung Si Dua Bulan. Di antara empat yang lain Si Dua Bulan memang memiliki kampung dengan jarak terdekat.

Di depan Si Dua Bulan, seorang Pemuda dengan logat khas Toraja sedang bergumul dengan asap rokoknya. Naik turun asap itu dibuatnya. Pandai sekali ia menghirup lalu menghembuskan. Ia yang paling lama belum pulang, Dua tahun katanya barusan. Kerongkongannya gatal ingin segera mengomentari topik perbincangan kali ini. Mereka sering menyapanya Api Revolusi. Paling Revolusioner di antara yang lainnya. Semua orang sekitar mereka tahu hal itu.

“Sebelum SPP turun, saya tidak akan pulang!” suara Si Revolusioner lantang memecah keheningan malam. Tawa kawan-kawannya pecah berhamburan di antara trambesi yang mulai bersetubuh dengan angin malam. Tentu saja itu mustahil. Dan konsekuensinya Si Revolusioner tidak akan pernah pulang selamanya jika dia serius dengan ucapannya. Biaya kuliah hari ini sudah pakai patron teori-teori ekonomi semisal semakin banyak permintaan maka semakin tinggi pula harga akan dinaikkan. Entahlah, mungkin saja ilmu pengetahuan memang di produksi di sebuah pabrik yang membutuhkan biaya produksi tinggi seiring bertambahnya jumlah permintaan. Ini sulit sekali dipahami.

“Tidak kenapa-kenapa, hanya saja belakangan saya pikir kampung-kampung halaman kita jauh lebih pandai dari kota, di sana tegur sapa dan senyum ramah, etika dan akhlak lebih sering kita jumpai. Mungkin saja kota tak di didik dengan baik sewaktu masih berkembang dulu, sehingga kita yang di kota cenderung angkuh bahkan melahirkan begal, munafikin, koruptor, diktator, otak kotor sisanya kaum hedon. Lalu kenapa musti cari ilmu ke kota padahal kampung kita jauh lebih pandai?” Sahut Si Celana Kain sambil menggulung ujung-ujung celana pertanda udara dingin mulai menyeruak kerongga-rongga dada lima sekawan itu.

“Benar itu. Kota sepertinya jadi semakin memuakkan. Serba uang, tak punya uang kita hanya orang kalah yang terus-terusan kalah. Walaupun pintar orasi dan pandai memegang megafon saya lebih senang pintar mengunyah dan memegang sendok garpu di depan masakan ibu saya yang enak sekali itu.” Sambung Si Gemuk Air yang sedari tadi sedang memainkan kerikil-kerikil ditangannya.

Masakan ibu. Ya, masakan ibu satu dari sekian polemik yang dihadapi para mahasiswa perantauan. Beberapa kadang menyebut alam terbaik adalah pelukan ibu. Tak terkecuali bagi mereka yang telah diikat kepalanya dengan ideologi-ideologi perlawanan ekstrim-ekstrim.

Malam sudah semakin tua ketika Si Kurus mulai angkat bicara. Dari tadi dia menyimak cukup baik perbincangan kawan-kawannya. Tak banyak yang bisa ia sampaikan, dia paham benar empat makhluk dihadapannya hanya bersoal pada satu pangkal masalah—rindu kampung—itu saja. Menurutnya semua yang mereka ucapkan itu semuanya sepenuhnya benar. Buku putih yang daritadi ditenteng Si Kurus ditutup kemudian di benamkan di pangkuannya. Ia membakar rokok terakhirnya. Ditariknya sampai batas nafas lalu dihembuskan secara perlahan namun pasti hingga tak ada asap yang tersisa di mulutnya. Dengan mimik serius ia berdeham dan mulai menumpahkan kata-kata dari mulutnya.

“Santai-santai… jangan terlalu berat pembahasannya bung” sahutnya mencoba lebih merenyahkan suasana.

“Awal bulan makan enak, tengah bulan pemuja Indomie, akhir bulan ngutang. HIDUP MAHASISWA RANTAU!!!” Pekik Si Kurus lantang.

“HIDUP MAHASISWA RANTAU!!!”
“HIDUP MAHASISWA RANTAU!!!”
“HIDUP MAHASISWA RANTAU!!!”

Tawa kembali pecah menghiasi malam. Udara dingin semakin menusuk kalbu, kerinduan pudar perlahan seirng tawa yang gonta-ganti. Lingkaran-lingkaran diskusi yang awalnya banyak itu, mulai menghilang satu persatu dimakan malam. Namun tetap saja samar terbesit di masing-masing kepala agar dapat lekas kembali pulang setidaknya toga dan selembar ijazah bisa jadi penawar rindu mereka yang sedang menunggu di kampung.

Lima sekawan itu bergegas menuju warung makan terdekat dengan pesanan makanan super irit seperti beberapa malam sebelumnya. Dua porsi tahu-tempe dengan lima piring nasi putih.

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *