Palu Bangkit : Isak Tangis, Magribku

Isak Tangis, Magribku

“Kak, kita ke mana?”
“Kemanapun, Dek. Ke tempat yang paling tinggi pokoknya.”
“Kak, saya takut.”
“Iya, Dek. Kakak juga takut. Istighfar saja, Dek.” Ucapnya masih terisak.
“Kak, Ibuku.”
“Ada apa dengan ibumu, dek?”
“Ibuku sedang hamil, kak. Aku takut ia kenapa-kenapa.”
“Astagfirullah.”
———————————————————————————————————————-
Namaku, Hasna. Seorang mahasiswa semester lima. Sedikit kuceritakan mengenai peristiwa besar yang saat ini masih menjadi topik hangat dunia. Ya, bencana gempa dan tsunami kota Palu, Indonesia. Sebuah peristiwa yang mengajarkan aku betapa pentingnya orang terdekat dan untuk pertama kalinya aku sangat bersyukur atas sesuatu yang amat berharga. Aku sangat bersyukur atas nafas dan hidup yang aku dan orang-orang terdekatku miliki. Sungguh, aku sangat bersyukur.
Aku tidak akan menceritakannya seperti seorang penulis handal. Bukan pula seperti seorang reporter atau jurnalis berita. Tidak pula mengisahkannya bak seorang pendongeng. Kuceritakan sedikit saja. Sesuatu yang sesungguhnya terjadi. Ya, tentang Isak tangis, Magribku. Tapi sebelum itu, kumulai saja dulu dariku. Detik-detik bencana ini bersamaku. Bersama Isak tangisku.
***
Banyak yang bilang hari itu langit tampak cerah. Senja terlihat bersahabat. Awan pun menunjukkan tanda bahwa ia enggan untuk berpindah. Mulanya kupikir tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa bencana besar itu akan tiba diwaktu yang tak terduga. Sangat tak terpikirkan. Mungkin karena kesibukan dan padatnya agenda keseharianku. Memang sih, hari itu undangan menghadiri kegiatan kelembagaan bertubi-tubi masuk di buku kesekretariatan.
Pertemuan di pagi hari, undangan menghadiri kegiatan dari pukul 14.00 hingga 16.00 WITA, belum lagi mata kuliah yang dimulai pada pukul 16.20 hingga 17.30 WITA. Harusnya mata kuliahku berakhir pada pukul 18.00 WITA, hanya saja dosen kami pada saat itu tak hadir, maka diskusi kami berakhir tidak sesuai jadwal. Usai diskusi mata kuliah, aku melanjutkan perjalanan hari itu ke gedung IT Center Universitas Tadulako, mengingat sore itu juga adalah waktu dekorasi tempat kegiatan Seminar Nasional Pekan Ilmiah Mahasiswa Universitas Tadulako yang akan dilaksanakan esok hari.

Hampir lima belas menit aku di gedung IT Center, perasaan tak tenang, resah ingin pulang memenuhi perasaanku. Akhirnya kuputuskan untuk pulang dan berpamitan dengan beberapa orang; Niar, Sulis, Enda dan Indah. Perjalanan pulang di dekat bundaran UNTAD, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil, karena penasaran aku memutar motor hingga memutari kembali taman Untad. Menunggu beberapa menit, berusaha mencari siapakah gerangan yang memanggil namaku, tapi tak ada satupun yang tampak kukenali.

 

“Apakah hanya perasaanku?” Pikirku.
Aku pun mencoba menghubungi Erin, salah satu teman, kupikir dia yang memanggilku barusan mengingat dia yang paling cerewet dan paling berani memanggil orang dengan teriakan seperti itu, namun tak diangkat olehnya. Bahkan, saat menunggu di pinggir taman, kulihat Niar dan Sulis yang berboncengan melewati taman Untad sambil meneriakiku, “Hayoo tunggu siapa?” ejek Niar.

Merasa bosan dan malas menunggu, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di Jalan Pendidikan, mendadak aku teringat pembahasan mengenai UKPM (Unit Kegiatan Penalaran Mahasiswa, salah satu lembagaku) yang belum selesai dan harus kubicarakan dengan salah satu koordinatorku, Ian. Akupun kembali menghentikan sepeda motor di sebelah gedung Universitas Terbuka (UT).

Kuputuskan langsung menghubungi Ian, bertanya Ia di mana, sedang rapatkah? jika tidak aku meminta waktu sebentar untuk bertemu dan membahas sesuatu. Ia mengiyakan, dan memintaku untuk menunggu di dekat UT. Setelah menghubungi Ian, Ibuku menelpon, katanya sudah waktu pulang, kukatakan sebentar lagi. Tak lama kemudian, Erin juga menelponku, bertanya mengapa tadi menelpon, kujelaskan yang kualami, dan Ia juga menceritakan apa yang Ia alami. Darinya kuketahui bahwa Ia sedang menjaga salah satu senior di rumah sakit (Kak Iyam, nama Senior itu, beliau bendahara Umum BEM FKIP), Ia hanya pulang mandi dan ganti pakaian sebentar kemudian kembali lagi ke rumah sakit.

Selang beberapa menit berbicara dengan Erin. Aku kembali dilanda kebosanan menunggu Ian, beberapa kali kukeluhkan betapa lamanya Ian tiba. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 18.08 WITA. Magrib hampir tiba. Kuperhatikan sekelilingku, langit tampak gelap, suasana tampak mencekam, seperti akan pilu. Tiba-tiba bumi bergetar, berguncang amat dahsyat. Aku terkejut, meloncat dari motor, berusaha menjauh, tapi dengan sendirinya aku terangkat dan menjauh dari motor. Bumi masih berguncang saat kulihat motorku sudah tergeletak terlentang diatas aspal hitam.

Aku kaget. Panik. Tanpa aba-aba air mataku mengalir, bumi masih berguncang hebat saat tiba-tiba pikiranku teralihkan pada Tuhanku.

“Astagfirullah. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar!” Jeritku dalam hati. “Ada apa ini Ya Allah, kiamatkah Ini?”
Detik berikutnya kusaksikan dengan kedua mataku, gedung megah Universitas Terbuka yang berlantai tiga itu runtuh. Gedung itu miring, hanya sebelahnya yang runtuh ke lantai 1, sebelahnya lagi hanya sampai di lantai 2. Detik berikutnya, Seorang perempuan keluar sambil menjerit-jerit, histeris hampir terjebak reruntuhan bangunan.
Tangisku pecah, kurasakan aliran darahku seperti melejit ke atas memenuhi otak, pikirkanku melesat pada ingatan kedua orangtua yang berada di rumah. Ibuku yang sedang hamil muda, usia kandungan tiga bulan. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat Ibu. Air mataku tak henti-hentinya mengalir, dengan tangan bergetar kucari handphone, sementara mataku tak lepas dari sekeliling, Isak tangis dan teriakan ketakutan orang-orang disekitarku mengudara di langit sore itu. Kulihat Niar dan Sulis berlari ke tengah jalan sambil menangis, beristighfar. Aku berlari ke arah mereka, kupeluk mereka.
“Aku takut, Niar, Sulis. Aku takut. Ibuku bagaimana? Dia sedang Hamillllll,” ucapku dengan tangis pilu.

“Ibuku jugaaaaa,” Niar menyahuti perkataanku, dengan tangis yang juga pilu, penuh ketakutan.
Tak mampu kubayangkan apa yang terjadi pada ibu saat itu. Usia kandungan yang masih sangat muda, baru memasuki tiga bulan. Masih teramat muda. Harapanku pada adik bayi. Impian ayah-ibuku pada seorang anak lelaki. Impian sosok baru di keluarga kecilku. Harapan ayahku yang kembali menjadi ayah baru. Harapan keluarga besarku pada cucu baru, katanya. Ponakan baru kata paman dan bibiku.
Bumi teralu kuat berguncang sore itu. Kutakutkan Ibuku Panik, kaget, terjatuh, terpental atau ada hal-hal lain yang mungkin saja terjadi. Aku berteriak memanggil Ibuku. Bumi berhenti bergetar, dengan gerakan cepat aku kembali mengambil handphoneku, mengetik dengan gemetar, mencoba menghubungi Ibuku dan tanpa kusadari jaringan telah hilang pada saat itu. Suara tiang listrik yang berjatuhan kembali terdengar, dan dalam hitungan detik bumi kembali bergetar, tangis pilu semakin pecah bersama dengan teriakan orang-orang yang berlarian.
“Ada air! Ada Air!”
“Air naik! Lari!”
“Tsunami! Lari!!!”
“Lariiiiii!”
Tanpa pikir panjang aku melepas pelukanku dengan Niar dan Sulis, Niar bergegas lari, Sulis dan akupun seperti itu. Tapi Sulis meneriakiku, mengatakan, “Hasna, bawa motormu! Bawa!” Katanya sambil berlari kembali ke arah motornya.

Masih dengan sisa tangis dan rasa ketakutan, panik serta tangan yang gemetar. Kunyalakan motorku, sebisa mungkin bergerak cepat, kudengar teriakan salah seorang wanita diantara kerumunan orang-orang yang berusaha berlari menyelamatkan diri.
“Dek, sama-sama kita.” Katanya dengan Isak tangis, “Dek, Kakak Numpang motormu, Ya.”
Kuiyakan, sebab beruntung saat itu aku sedang sendiri. Ia memboncengku, memintaku untuk memeluk erat, ia melajukan motor sambil menangis, mengucapkan kalimat-kalimat istighfar.
“Kak, kita ke mana?”
“Kemanapun, Dek. Ke tempat yang paling tinggi pokoknya.”
“Kak, saya takut.”
“Iya, Dek. Kakak juga takut. Istighfar saja, Dek.” Ucapnya masih terisak.
“Kak, Ibuku.”
“Ada apa dengan ibumu, dek?”
“Ibuku sedang hamil, kak. Aku takut ia kenapa-kenapa.”
“Astagfirullah.”
“Kakkkkk,” tangisku semakin pecah. Pilu. Ketakutan. Menduga-duga yang tak ingin. Berusaha membuang prasangka.

Langit semakin gelap. Tak ada penerangan listrik, mendadak listrik sekota Palu padam. pencahayaan hanya berasal dari lampu motor dan mobil yang juga berjalan mengarah ke gunung. Katanya, ketika gempa amat kuat, jauhi gedung-gedung tinggi, berlindunglah di area yang lapang. Mengingat air yang naik dan akan menenggelamkan kota Palu, kami melewati lapangan pertama dan kedua hingga tiba di lapangan ketiga yang sudah mendekati area puncak gunung.

Kakak itu memarkirkan motorku di tengah lapangan. Tiba ditengah lapangan, Ia berusaha menenangkanku. Mengatakan bahwa kandungan Ibuku sudah kuat.
“Tenanglah, Dek. Mari kita berdoa bersama, semoga Ibu dan adikmu baik-baik saja,” katanya masih dengan nada isakkan.
Setelah itu aku dan kakak itu berkenalan, kuketahui namanya Ferren. Tak asing. Hal pertama yang terlintas dipikiranku, tapi tak kupedulikan. Selang beberapa menit, orang-orang kembali berteriak, “Air semakin dekat! Naik ke puncak!” Kekacauan kembali terjadi. Orang-orang sibuk berlarian, menyelamatkan diri, menuju puncak gunung, masih dengan derasnya air mata, air mata pilu, air mata ketakutan, air mata kehilangan. Aku bersama kak Ferren kembali berlari, mengikuti arus orang-orang yang juga berlari ketakutan. Wajah-wajah penuh air mata, ketakutan dan kepanikan.

Kami memutuskan untuk meninggalkan motor di lapangan, melihat kondisi yang sudah tidak memungkinkan untuk naik motor. Jalanan yang amat padat, orang-orang berdesakan menuju puncak gunung. Perasaan panik, khawatir terhadap tsunami yang melanda. Suasana malam itu tak karuan. Kacau, pilu dan penuh duka.
Pukul delapan malam, suasana semakin tenang, bumi tak lagi berguncang hebat. Hanya ada getaran sedikit demi sedikit. Tak apa, kabar mengenai stunami pun telah reda. Diantara kerumunan orang-orang yang berkumpul aku hanya berdua bersama kak Ferren, ada yang bersama teman-temannya, keluarganya, sahabatnya. Beberapa menit kemudian, sahut-menyahut orang-orang mencari keluarganya. Mencari anaknya, istrinya, adiknya, kakaknya, temannya. Tak ada yang mencariku, tidak satu pun.

“Astagfirullah!!” Tiba-tiba wanita di sebelah kak Ferren histeris.
“Ada apa?” Kak Ferren bertanya penasaran.
“Mall PGM dan sekitarnya hancur disapu tsunami,” jawabnya sambil memperlihatkan gambar di handphonenya.
Mendadak hatiku perih mendengarnya.
Bagaimana dengan Ibuku?
Apakah dia selamat?
Apakah dia diterjang tsunami?
Apakah tsunaminya sampai di area Kabonena?
Apakah sampai di rumahku?
Apakah ibuku masih sempat menyelamatkan diri?
Astagfirullah!? Hatiku pilu mengingatnya, amat takut hari esok tanpa Ibu, tanpa ayah. Aku kembali terisak. Aku takut. Sangat takut.
Dzikirku semakin cepat, Kulangitkan doaku, penuh harap pada Tuhanku.
“Semalamatkan Ibu, Ya Allah.” Hanya itu. Permohonanku, bersama Isak tangis ketakutan. Aku memeluk lututku. Menenggelamkan kepalaku diantaranya. Menyembunyikan Isak tangisku. Hingga sayup-sayup kudengar percakapan orang-orang disekitarku.
“Ada jaringan internet ya?” masih kudengar kak Ferren kembali bertanya pada wanita disebelahnya.
“Iya, ada, tapi hanya XL.”
Setelahnya tak terdengar lagi. Suara-suara seperti lenyap. Sunyi. Senyap. Hening. Sepi.
Suasana terasa tenang. Bumi tak lagi berguncang. Aku masih bersama kak Ferren. Masih bersama Isak tangisku. Masih bersama gelisahku, bersama kekhawatiranku. Memikirkan ibuku, ayahku, adikku. Keluargaku, teman-temanku. Apa kabar mereka malam ini?
Dimana mereka malam ini? Selamatkah mereka?

Baca Juga : Kado Ulang Tahun | Puisi


Diterbitkan

dalam

, ,

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *