Palu Bangkit : Laki-Laki Berkacamata

Aku tak akan berkisah tentang perjuanganku melewati maut itu. Namun, aku akan berkisah tentang sosok “Laki-Laki Berkacamata” yang mengajarkanku langsung, bahwa hidup adalah fase kehidupan yang sangat sementara. Dan sesungguhnya tidak ada pilihan di dunia ini. Semua atas ketentuan-Nya. Termasuk kita tak pernah bisa memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan-Nya.

*****

Jum`at, 28 September 2018. Di lantai 1 Dekanat Fisip, aku menunggu staf pengajaran untuk menyerahkan berkas wisudaku. Sembari menunggu, aku beberapa kali naik ke lantai 2 untuk mencari Ariel. Hari ini rencanya jadwalku mengajarnya mengaji. Sekitar pukul 2.30 siang, aku bertemu Ariel dan adik sepupunya. “Kita ngaji di masjid aja yah, lebih enak disan ada ac-nya, luas, gak banyak orang juga, oke.” Kami pun menuruni tangga menuju ke masjid, sambil sesekali ku tengok ruangan itu.  Ruangan tempat “Laki-Laki Berkacamata” itu bekerja. Namun, tak tampak ku lihat keberadaannya. Sekitar pukul 03.00 sore di Masjid Fisip, saat mengajari anak-anak mengaji, ku rasa ada getaran yang cukup keras. Aku memegangi anak-anak dan membawa mereka ke orangtuanya. Aku melihat para staf dan pengajar yang ada di gedung Dekanat sudah berhamburan keluar. Dan sekilas ku lihat dia. Sosok berkacamata itu. Dengan langkahnya yang besar, ia kembali ke ruangannya di lantai 2.

Pukul 05.45 sore, aku terbangun dari tidurku. Aku sudah berada di kos. Suara teman sekamarku yang heboh membahas bidikmisi yang sudah cair membangunkanku. Ku tengok tabku untuk melihat chat wa yang masuk. Sambil sesekali melihat story yang mayoritas membahas gemba sore tadi. Memang perasaanku tak enak sejak gempa. Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan “Bagaimana” dan bayangan tentang kejadian itu yang sudah sering muncul sejak lama. Pukul 06.00 petang, ku ambil air wudhu dan siap melaksanakan salat magrib. Saat akan takbiratul ikhram, datanglah guncangan itu. Guncangan yang begitu keras. Seketika itu lampu padam. Barang-barang berjatuhan. Aku sambil terpopoh berusaha keluar dari ruangan itu. Orang-orang dari bawah berteriak “Airrrrrrrr….tsunamiiiiiiii.” Bayang-bayang buruk mulai mengelabui pikiranku. Karena kosku berada dekat dengan pantai. Hanya satu pintaku saat itu “Tuhan, Selamatkan Aku”

*****

Minggu, 30 September 2018, di Posko Pengungsian Tondo, aku sedang duduk sambil mengamati orang-orang yang berlalu lalang memanggil nama keluarga dan kerabatnya. Malam hari kota Palu begitu mencekam. Tidak ada listrik. Tapi untunglah tower di dekat posko pada malam hari menyalakan gengsetnya, sehingga para pengungsi bisa mengisi baterai handphonenya disana. Paling tidak, mengabari keluarga di kampung halaman, bahwa kami selamat itu penting agar mereka tak panik. Walaupun sebenarnya kami tak tahu, apakah pesan itu terbaca atau tidak, karena jaringan telekomunikasi yang juga tak stabil.

Malam itu aku bertemu dengan teman yang juga adik tingkatku di kampus. Senang sekali rasanya ketika mengetahui kabar teman-teman yang selamat. Hingga akhirnya temanku membawa kabar tentang “Laki-Laki Berkacamata” itu.  “Dia tertimpa reruntuhan bagunan dekanat Fisip.” Aku tak bisa mempercayainya. Aku berusaha mengelaknya dengan batinku. “Dia pasti selamat. Dia pasti ada di Rumah Sakit saat ini. Pasti!” begitu batinku berusaha meyakinkan dalam hati.

*****

Senin, 1 Oktober 2018, masih di lokasi pengungsian yang sama. Saat itu aku baru pulang dari meng-charger tab ku. Dan Alhamdulillah, aku bertemu dengan teman yang juga adik tingkat yang cukup dekat denganku. Kami saling bertanya kabar tentang teman-teman. Hingga akhirnya, LAGI…Kabar tentang laki-laki berkacamta itu sampai di telingaku. Aku mendengarkannya dengan seksama. Air mata ini tak terbendung. Pikiranku kalut dan bertanya-tanya “Bagaimana bisa? Dia sudah pergi? Secepat ini? Tapi di masih muda. Dia anak yang baik. Benarkah dia sudah pergi untuk selama-lamanya?” Rasa tak percaya dan berbagai pertanyaan itu pun terjawabkan lewat kalimat teman saya, “Ka, itu sudah ajalnya.”

*****

Laki-Laki berkacamata itu bernama Muh. Anggas Al Ayyubi. Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Tadulako Anggkatan 2015. Aku mengenalnya sejak dua tahun yang lalu. Kami berada di lembaga yang sama. Kini ia telah menajdi ketua lembaga dan aku telah di demisioner. Ia kuliah sambil bekerja menjadi asisten Ibu Intam (Wadek bidang kemahasiswan Fisip Untad). Oleh sebab itulah, kami sering bertemu di ruangan, karena Ibu Intam adalah dosen pembimbingku.

“Semangat ka Suci!” sambil tersenyum, kata-kata itu yang sering ia ucapkan saat aku selesai bimbingan dan memberi undangan ujian. Kini kata-kata itu tak akan terucap lagi. Termasuk jejeran pertanyaan yang kerap kutanyakan padanya “Anggas, password wifi udah ganti? Anggas, ibu kemana? Anggas, ibu belum datang? Anggas, ibu kapan balik? Anggas, titip undangan dan naskah buat ibu yah kalau udah kelar rapat, boleh? Anggas nanti wa yah kalau ibu udah datang? Anggas minta password wifi yang baru dong? Anggas, gimana eLSAM? Ada proker baru lagi? Sekarang jejeran pertanyaan itu tak akan ada lagi yang menjawab. Karena “Laki-Laki Berkacamata” itu telah pergi untuk selama-lamanya.

*****

Meskipun telah tiada, mejelang akhir hidupmu, ada pelajaran hidup yang begitu berharga yang dirimu perlihatkan kepada kami yang masih hidup dik. Yakni perjuanganmu menuju kematian. Dan itulah sebabnya aku menuliskannya, agar tak hanya aku ataupun teman-teman yang menyaksikan kepergianmu yang memperoleh pelajaran berharga, tapi juga para pembaca.

Engkau berjuang selam 12 jam dik. Tentunya itu waktu yang begitu panjang. Apalagi berada dibawah reruntuhan bangunan. Aku tahu engkau ingin pergi dari tempat itu. Tapi apa daya, tanganmu tertindis oleh beton bangunan. Dan apa daya kami, jika kami salah memindahkan, maka reruntuhan akan menimpa badanmu. Kawan-kawan hanya bisa menerangimu dengan senter seadanya, memberimu makan dan air sesuap demi sesuap. Hingga engkau berkata “Jangan tinggalkan saya sendiri disini.” Perih rasanya untuk menyampaikan, bahwa untuk keluar dari sana tanganmu harus di potong terlebih dahulu. “Saya masih mau pakai tanganku,” begitu katamu lirih. Hingga akhirnya, setelah berjuang selam kurang lebih 12 jam lamanya, engkau pun menghembuskan napas terakhirmu. Masih dalam keadaan yang sama. Ayahmu datang membawa bantuan. Bukan lagi untuk menyelamatkanmu. Tapi menguburkanmu dalam keadaan terlayak.

Terima kasih dik. Sudah mengajari kami yang masih hidup, bahwa ajal akan datang kapan saja dan dimana saja. Tak melihat usia muda atau tua, tak melihat tempat di pantai atau di gunung, tak melihat sudah baik atau msih buruk. Yang pasti, kematian itu akan datang saat sudah tiba waktunya.

Baca Juga :

*****

Laki-Laki Berkacamata itu kini telah tiada. Ia dikenang sebagai sosok yang cerdas, mandiri dan rajin beribadah. Tugasnya di dunia telah tuntas. Tentunya dengan ending yang baik. Yakni dikenang sebagai orang yang baik. Selamat!

Terima kasih atas segala kebaikanmu di dunia dan maaf tidak bisa mengucapkan salam perpisahan di saat terakhirmu. Semoga doa ini akan tersampaikan di dunia seberang yang menjadi kehidupan baru untukmu dik. Innalillahi wainnalillahi rojiun. Semoga dirimu ditempatkan di sisi Allah subahanahu wata`ala bersama orang-orang baik. Amiin Allahumma Amiin.

“Allah menyayangi setiap hamba-Nya. Jika engkau bertanya kasih sayang Allah, maka tengoklah kasih sayang ibumu. Allah menyayangimu melebihi ibu kandung kita sendiri. Allah menyayangi mereka yang telah pergi, karena rindu untuk berjumpa dengan hamba-Nya. Allah juga menyayangi mereka yang selamat, sehingga masih memberi kesempatan untuk bertaubat.”

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya.


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *