Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Hari-hari ku lalui seperti biasanya. Disaat matahari mulai terbenam, ku tinggalkan kampus tercinta Universitas Tadulako. Jum’at, 28-9-18 sore itu aku langsung masuk ke dalam kontrakan yang sekitar 2 bulan memang menetap di sana. Tepatnya di Perumahan Kebun Sari, Jl. Dayodara II, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.
Setibanya di rumah, saya langsung ke dapur menyantap makanan yang ada. Setelah makan, saya merasa gerah. Oleh karena itu, saya bergegas keluar rumah dan duduk-duduk di teras rumah sambil bermain gadget. Sambil menikmati suara sholawat di Mesjid yang mendekati pukul 18:00, terlihat kakak sepupuku yang bernama Ullah telah bersiap mengendarai motor. Ullah memundurkan motornya, dengan pakaian rapinya dia siap-siap untuk keluar dari gerbang rumah.
Saya bertanya padanya “Mauki ke mana kak?” dan dia menjawab “Mauka ke Mesjid”. Saat hendak mengambil fotonya, saya berkata “Kak Ullah balek ki dulu” dan langsung memotret. Setelah itu, saya langsung meng-upload fotonya dengan caption “Ini baru anak muda asli di tanya mau ke mana jawabannya ke Mesjid”. Tepat pukul 18:03 WITA setelah saya meng-klik tombol upload untuk story di Whatsapp, saat itu juga tanah langsung terguncang. Tanpa pikir panjang, saya yang tadinya duduk di teras rumah langsung lari ke luar gerbang rumah.
Karena guncangan gempa yang sangat besar, membuat lari saya tidak karuan terpontang-panting dan hampir menabrak tiang listrik. Saya langsung duduk sambil refleks melontarkan kalimat-kalimat dzikir. Saya berusaha bergerak ke tengah kompleks perumahan karena takutnya tiang listrik itu rebah dan mengenai saya. Sambil menyaksikan tanah terbelah, saya berusaha menghindari belahannya karena takut apabila nantinya saya akan terjepit oleh tanah itu. Di saat saya mencoba maju dan melompati tanah yang terbelah tadi, tiba-tiba tanah yang di depan ku terbelah lagi. Saya melompatinya lagi, tetapi tanah yang di depannya pun terbelah.
Sampai akhirnya saya tetap duduk dengan pasrah dan berserah diri kepada Allah. Sambil menyaksikan tanah terbelah, bangunan-bangunan runtuh, dan mendengar teriakan histeris dari tetangga sekompleks itu, mata saya tertuju pada ibu-ibu yang berusaha keluar dari gerbang yang terkunci sambil berteriak seolah meminta tolong kepada saya, namun saya tidak berani meninggalkan tempat saking kagetnya. Gempa akhirnya mulai reda dan semua penghuni kompleks telah berkumpul di tengah kompleks berjalan bersama menuju Pak RT yang mengarahkan warga untuk naik ke atas gunung. Gempa yang berkekuatan 7,4 SR itu membuat semua aliran listrik rusak dan koneksi jaringan terputus. Namun untungnya beberapa menit pasca gempa jaringan telepon masih bisa terhubung dan mamaku sempat menelfon untuk menanyakan keadaan ku apakah baik-baik saja.
Setelah itu dengan tetangga sekompleks, kami pergi mencari tempat yang aman. Di situ kami sempat berpencar karena ada sebagian warga yang naik ke gunung, ada yang lari ke halaman belakang rumah, dan ada pula yang turun ke jalan mengikuti arus di mana orang terbanyak pergi. Sambil berpegangan tangan erat dengan Ullah dan Nita, saya berjalan setengah berlari ke lapangan STIA yang berada di dekat penurunan Sigma (Jl. Sisingamangaraja). Sesampainya di lapangan, ternyata sudah banyak orang yang berlindung di sana. Semua orang berdzikir sambil menghayati guncangan gempa yang tiada hentinya. Hanya jeda beberapa menit saja gempa terus bersusulan.
Pasca kejadian saya tidak menangis, tapi di saat kita semua berdzikir bersama di tengah lapangan, air mata saya langsung berjatuhan. Kala itu tersadar bahwa yang terjadi ini bukan mimpi melainkan nyata. Tidak ada tempat berlindung, mau lari kemana pun, berharap kepada siapa pun, semua terasa tidak berguna. Hanya dzikir dan rasa ikhlas berserah diri memohon perlindungan kepada yang Maha Kuasa. Suara dzikir orang-orang pada waktu itu semakin keras selaras dengan kerasnya gempa yang mengguncang.
Baca Juga : Karena Tuhan Tahu, Kita Mampu !
Terdengar seorang perempuan berteriak minta tolong, setelah teriakan meminta tolongnya usai, terdengar pula suara tangisan bayi yang lahir di sudut lapangan seketika itu juga. Kami pun berdoa semoga dengan lahirnya jiwa yang suci dan mulia bayi itu akan menjadi pertimbangan bagi yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan kampung yang penduduknya penuh dosa ini. Tak lama kemudian, di tengah-tengah dzikir yang kami panjatkan ada seseorang yang berteriak “ada air” dan semua orang di lapangan berhamburan. Saya langsung berpegangan tangan dengan Nita dan Ullah lari ke atas gunung. Saya bertanya apa yang terjadi, dan Ullah mengatakan ada tsunami.
Langkah saya semakin cepat sambil menarik tangan Ullah dan Nita. Nita yang mengeluh “Rini pelan-pelan ki, sakit kaki ku jalan” tidak saya perdulikan. Saya tetap menariknya untuk naik secepatnya ke atas gunung. Setibanya di sebuah lembah yang berada di atas gunung, kami pun menghentikan perjalanan dan memutuskan untuk beristirahat di sana. Dengan beralaskan tanah dan rerumputan, beratapkan langit dan bintang-bintang ditemani oleh terangnya bulan, dan berbantalkan batang kayu, kami merebahkan diri sejenak sambil terus menerus melantunkan dzikir.
Malam itu terasa sangat panjang dan sepanjang malam itu bagaikan di ayun oleh gempa. Gempa-gempa susulan terus mengayun di sepanjang malam bahkan sampai Mentari menyapa. Namun jujur saja, saya juga merasa senang dengan adanya bencana ini. Karena, saya melihat semua orang sadar dan mengingat Allah. Bahkan bisa dikata saya akan lebih memilih kondisi seperti ini karena di sinilah saya bisa melihat orang-orang yang saling menghargai, saling tolong-menolong, saling bahu-membahu di saat kesusahan air kita masih bisa berwudhu dan sholat berjamaah di tempat pengungsian.
Ayat-ayat Al-Qur’an senantiasa dibaca dan dihayati. Tidak ada yang bersikap sombong. Semua akhirnya saling menyapa dan saling berkenalan serta saling mengingatkan satu sama lain. Sebenarnya saya lebih suka kehidupan yang seperti ini walaupun di tengah kondisi dan bencana yang sedang menimpa dari pada hidup yang normal tapi dalam suasana sikap individualisme. Walaupun mungkin harus dengan cara ini teguran Tuhan mendapatkan respon dari penduduk bumi.
Dan alangkah baiknya jika kita tetap saling menghargai, membantu, bersilaturahmi, dan saling mengingatkan satu sama lain dalam kondisi yang normal di saat semua aman-aman saja tanpa harus di tegur oleh bencana. Pesan dan harapan saya, marilah kita menyadari sedari sekarang untuk saling bahu-membahu dalam kebaikan dan merawat tempat-tempat ibadah kita jangan menunggu harus ditegur dulu oleh Yang Maha Kuasa. Ini kisah ku, apa kisahmu?
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya |
Tinggalkan Balasan