Memahai Penindasan/Diskriminasi Perempuan Dalam Sektor Pendidikan

Tulisan ini akan mencoba memberikan Pemahaman terkait diskriminsi/penindasan perempuan dalam sektor pendidikan, Dalam Rangka Menyambut Hari Perempuan Internasinal yang ke-109

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan “Biar Sekolah Tinggi-Tinggi Tempatnya hanya di dapur, Sumur dan kasur”. Demikian ungkapan yang menggambarkan bahwa kesempatan mendapatkan pendidikan bagi kaum perempuan, berkaitan erat dengan citra perempuan. Karena perempuan dianggap sebagai mahkluk yang secara kodrat hanya berada di wilayah domestic dan tidak sepenting laki-laki sebagai tulang punggung. Maka ketika orang tua hanya mempunyai biaya pendidikan bagi satu orang anak saja, sementara yang butuh sekolah dua anaknya, masing-masing laki-laki dan perempuan, bisa di pastikan, anak perempuan harus memberi kesempatan pada anak laki-laki. Oleh karena itu, bicara tentang pendidikan bagi perempuan, berkaitan erat tentang kondisi objektif perempuan itu sendiri.

Pertama apakah kodrat perempuan itu hanya di rumah dan dia tidak membutuhkan pendidikan ? Kodrat adalah sesuatu  yang interen dalam diri seseorang, dibawa sejak lahir dan memang ketentuan dari Tuhan serta tidak bisa dipertukarkan. Misalnya, perempuan mengandung, melahirkan, atau menyusui, peran itu memang kodrat perempuan, karenanya tidak bisa di pertukarkan dengan laki-laki. Tetapi benarkah menyapu, mencuci dan memasak itu memang kodrat perempuan ? karenanya tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki. Nyatanya, banyak kepala juru masak di hotel-hotel berbintang, tukang sapu, karyawan jasa cleaning service adalah laki-laki. Yang sesungguhnya peran antara laki-laki dan perempuan bukanlah kodrat, melainkan konstuksi sosial dari sejarah perkembangan masyarakat.

Jika kita kembali pada kodrat di atas , maka kalau memang suami dan istri sama-sama bekerja di luar rumah, maka pekerjaan di rumah harus di lakukan bersama. Kalau istri sibuk memasak, apa salahnya ketika suami menyapu, kalau istri sibuk mencuci, apa salahnya ketika suami mencurahkan rasa cintanya dengan memandikan sang anak, jika istri lelah, apa salahnya jika sang suami membuat kopi sendiri. (Rasanya Dunia Lebih Adil Dan Mungkin Lebih Romantis Jika Polanya Seperti ini).

Perempuan mengenal tiga lingkungan pendidikan, yakni : Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sekolah dan Lingkungan Masyarakat. Dialah yang akan lebih banyak mewarnai anaknya. Maka untuk membentuk anak yang berkualitas, tentunya membutuhkan seorang ibu yang terdidik, cerdas, berwawasan luas, berkualitas, yang tahu apa saja yang patut dan tidak patut dilakukan dalam pengembangan anaknya.

Dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia, kita juga mengenal sosok perempuan yang bernama Sri Wulandari yang lahir di madiun, 16 Mei 1905, Semasa ia mengenyam pendidikan di Gouvernements Meisjes Kweekschool, Sri Masuk Organisasi Jong Java dan menjadi pemimpin kelompok pekerjaan tangan keputrian Jong Java Cabang SalaTiga, Selepas lulus dari sekolah guru, Sri pindah ke tegal untuk mengajar di Taman Siswa dan bergabung dengan wanita taman siswa lalu memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan, tanpa adanya diskriminasi antar laki-laki dan perempuan dalam mengenyam pendidikan. Disinilah ia bertemu dengan kekasih hati yang sepemikiran dengannya yakni Sarmidi Mangnsarkoro.

Mangunsarkoro mendukung sekali perjuangan Sri Wulandari. Bahkan di dalam keluarga, perlakuannya pada anak perempuan dan laki-laki sama. Sri pernah mengatakan bahwa pendidikan bagi perempuan sangatlah penting. Pasalnya, selain berjuang untuk kemerdekaan, perempuan juga seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dengan jiwa nasionalisme anti terhadap imperialisme dan feodalisme dalam negeri. Kemudian Pendapat sri ini dikenal sebagai konsep ibu yang dibawa gerakan perempuan pada masa kolonial untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan. Sebab didikan seorang ibu akan menjamin tumbuhnya generasi yang kuat serta cerdas dan siap menghadapi segala bentuk penindasan. Maka pendidikan sangatlah penting bagi seluruh rakyat tkhususnya perempuan, sebab pendidikan adalah alat untuk membangun pondasi dalam sisitem berfikir untuk menawab serta mendorong kesejaheraan rakyat.

Namun nyatanya, Diskriminasi perempuan dalam sektor pendidikan, akibat dari budaya feodal patriarki yang mengaggap perempuan hanya berada di ranah domestik, membuat angka putus sekolah paling terbesar di Indonesia dirasakan oleh kaum perempuan. Hal inipun semakin diperburuk akibat biaya pendidikan yang tiap tahun semakin meningkat dan membuat rakyat khususnya perempuan semakin sulit mengakses sektor pendidikan. Bahkan negara melalui kebijakannya yakni UU PT.NO 12 TAHUN 2012, mengatur kebijakan Perguruan Tinggi Negeri terus menjadi persoalan rakyat hari ini. Pasalnya, UU PT adalah bentuk pelepasan tanggng jawab negara terhadap sektor pendidikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar, dengan orientasi subsidi silang antara mahasiswa miskin dan kaya yang bertumpuh pada pembebanan terhadap rakyat, dengan penetapan biaya yang sangat mahal terhadap rakyat. Contoh kecilnya terdapat dalam pasal 65, (wewenang PTN Badan Hukum untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi) merupakan bentuk dari pendidikan yang di jadikan sebagi ladang untuk mendapatkan keuntungan. Kemudian pasal 85 (Pembiayaan Pendidikan Tinggi Oleh Mahasiswa) adalah bentuk dari negara yang melepas tanggung jawabnya terhadap sektor pendidikan. Maka situasi ini adalah gambaran akan semakin sulitnya rakyat khususnya perempuan dalam sektor pendidikan, apalagi mayoritas rakyat Indonesia adalah Buruh dan Petani yang berpenghasilan di bawah rata-rata  terus di perhadapkan dengan Perampasan Upah, Tanah, dan Kerja.

Maka situasi ini, tidak ada alasan bagi perempuan untuk tidak berjuang atas hak-haknya. Selalu ada proses bergerak yang akan membuat situasi ini berubah. Maka selalu tersedia ruang dan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi perempuan baru dengan hak-hak yang lebih banyak dan pilihan-pilihan yang lebih luas. Kemudian untuk menjadi perempuan, baru berarti berjuang melawan eksploitasi dan penindasan sebagai perempuan, sekaligus sebagai manusia, untuk mendapatkan hak-haknya yang seharusnya. Karena sejarah telah membuktikan, karena semangat belajar, berorganisasi dan berjuang dengan proses yang sangat panjang, Posisi dan fungsi perempuan dapat berubah.  Tentunya perubahan itu  tidak akan teradi tanpa perjuangan/pertarungan menuju hal yang lebih baik. Perubahan juga bisa menjadi lebih buruk. Namun dalam proses perubahan inilah kekuatan-kekuatan yang menghendaki perubahan kearah yang lebih baik terus bertarung dengan kekuatan-kekuatan yang hendak membawanya kearah yang lebih buruk.

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *