Musibah Berselimut Pembangunan

“Pembangunan” sebuah kata yang menjadi primadona untuk peningkatan kesejahteraan yang mengatas namakan rakyat. Untuk kemajuan,identik harus ada pembangunan.

Namun ,dibalik “kesuksesan” hasil pembangunan, ada hal yang sangat mengkhawatirkan kita akan dampak yang terjadi akibat pembangunan yang cenderung mengekploitasi sumber daya alam secara membabi buta.

Sumber daya alam yang sifatnya terbatas selalu dikeruk agar mengejar permintaan pasar dan tentunya keuntungan yang sebesar besarnya.

Seorang Mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Gusdur Alexander Sonny Keraf di buku nya “Etika Lingkungan” mengatakan :

adanya persepsi bahwa sumber daya alam dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang siap diolah untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi, sementara aspek aspek lain kekayaan sumber daya alam meyangkut nilai sosial,budaya bahkan nilai kelestarian lingkungan diabaikan dan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali demi pembangunan.

Statement Kerap tentang pembangunan sangat perlu dicermati dan bahkan kita renungkan. Ketika Pemerintah mengumumkan pertumbuhan ekonomi surplus dengan 7%(misalnya) sesungguhnya yang terjadi adalah pertumbuhan yang negatif,karena kerugian sosial budaya dan lingkungan ternyata sangat mahal dan tidak dimasukkan dalam cost ketika analisis ekonomi dilakukan.

Hal ini nampak nyata bila kita cermati pola pembangunan yang berlangsung di beberapa daerah di Indonesia.

Ketika investor diberikan izin mengelola dan memanfaatkan hutan dalam skala yang sangat besar baik dalam bentuk HPH(IUPHHK- HA),HTI(IUPHHK-HT) perkebunan kelapa sawit,dan juga pertambangan yang mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan.

Akibatnya ,sudah kita rasakan bahwa daerah hilirnya banjir dan bahkan longsor pun meningkat. Sumber daya alam terus dieskploitasi dengan alasan menghasilkan devisa.

Yang menjadi persoalan adalah ketika kita melihat secara utuh suatu daerah dalam sudut pandang lingkungan dan ekologi,perubahan lahan tersebut bisa menimbulkan keseimbangan baru yang biasanya berupa peningkatan bencana di daerah tersebut.

Pemerintah lah yang mempunyai tanggung jawab dan juga wewenang untuk mengatur kompensasi perubahan tata guna lahan agar lingkungan tetap terjaga.

Dari perhitungan bagi hasil sumber daya alam yang ada,nampaknya hutan menjadi primadona dan bahkan dominan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah selain PAD dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya.

Ditambah lagi dengan kesetiaan kita sebagai konsumen hasil hutan berupa kayu yang dijadikan perabotan rumah tangga,maka tidak aneh bilamana hutan terus dipanen oleh perusahaan yang diberi izin dan juga sering dijarah oleh oknum karena nilai jualnya secara ekonomi masih tergolong menguntungkan.


Skenario dan program pembangunan yang selama ini terjadi secara kasat mata menimbulkan dampak yang negatif yang setiap tahun berlangsung dan nampaknya cenderung meningkat baik dari segi kualitas dan juga kuantitas.

Tanda tanda kemarahan alam ketika keseimbangannya terganggu telah kita rasakan bersama disepanjang tahun.

Di musim hujan,banjir terus berlangsung di wilayah Nusantara dan tiap tahun terus meningkat. Ada daerah yang tadinya tidak pernah banjir sekarang menjadi langganan banjir. Longsor bahkan banjir dan juga banjir bandang terjadi hampir diseluruh penjuru ibu pertiwi.

Bencana-bencana ini telah menimbulkan kerugian material dan bahkan sampai merenggut jiwa manusia dalam jumlah yang masif.

Setelah banjir mengisyaratkan perpisahan dengan manusia,kemarau pun secara perlahan merangkak,kesulitan untuk mendapatkan air pun mulai dirasakan.

Perlu kita ketahui bersama bahwa secara teori ada cengkeram yang tidak bisa dielakkan dan harus kita rasakan,yaitu ketika musim hujan banjir dan longsor meningkat,maka kekeringan juga meningkat di musim kemarau,dan abrasi di daerah pinggiran pantai pun semakin bertambah.

Saat ini sudah selayaknya kita merenung sejenak untuk melihat secara jernih persoalan-persoalan yang ada.

Bagaimana masa depan kita terutama anak cucu kita bilamana bumi tidak bisa kita rawat? Pola pembangunan dengan hanya mengandalkan keuntungan ekonomi semata sudah saatnya dirubah.

Prinsip etika lingkungan hidup harus mulai dipakai sebagai salah satu dasar pertimbangan utama yang sejajar dengan parameter ekonomi yang sudah berlaku.

Memang di dalam peraturan dan perundangan yang ada ,teori pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development) dinyatakan secara eksplisit.

Istilah pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan sudah menjadi wacana yang populer dalam seminar-seminar,di media massa,dalam program pembangunan nasional dan daerah.

Namun pada giliran praktek dan implementasinya hal tersebut juga tetaplah sebatas wacana. Bahkan ada ironi mengatakan “Ah! Itu kan teori, pokoknya yang penting aku sukses,pembangunan berkelanjutan itu bukan urusan saya tapi urusan pemerintah”. Akibatnya,bencana seakan tiada akhir dan cenderung meningkat secara drastis.

Lemahnya law enforcement official,lemahnya komitmen untuk mengaplikasikan konsep konsep pembangunan dan adanya ego sektoral menambah kusutnya persoalan dan sulitnya menghasilkan solusi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dipacu dengan semangat antropocentris lah yang menyebabkan manusia bernafsu untuk menundukkan alam semesta .

Ditambah dengan laju pertumbuhan pendudukan yang semakin tinggi menyebabkan “pembangunan berlanjut” bukan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berlanjut ini didasari atas pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan manusia harus mengeksploitasi alam.

Dengan melihat,membaca,mendengar kerusakan alam yang makin meningkat sudah saatnya kita beralih ke semangat juang ekocentris.

Salah satu caranya adalah secara bersama sama mengubah pola pikir semua manusia dari “manusia sebagai pusat kehidupan” menjadi “,manusia bagian dari alam”.

Karena kehidupan adalah Anugerah Tuhan ,adanya kehidupan adalah karena adanya air.

Mempertahankan keberadaan air secara berkelanjutan maka kita juga mempertahankan kehidupan yang berarti pula kita menjaga Anugerah Tuhan

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *