Bukan Hanya Sebagai Dongeng Pengantar Tidur Semata

Sudah 5 tahun semenjak lulus kuliah, aku sempat berpindah-pindah tempat kerja. Namun kini aku memilih bekerja di perusahaan tambang dan tidak ingin pindah lagi, gajinya lumayan besar, bisa untuk melunasi cicilan rumah dan mobil sekaligus. Tapi akhir-akhir ini rasanya aku ingin segera berhenti saja dari pekerjaan yang telah memberiku penghidupan selama 3 tahun terakhir bersama keluarga.

Perasaan ini bermula ketika waktu itu Saat ingin pulang, lama aku terhenti di lampu merah. Sungguh ini kota yang begitu padat, hingga hidup manusia-manusia di kota ini terbagi tiga. Rumah, jalanan dan tempat kerja. Itulah kehidupan masyarakat perkotaan yang tidak bisa dihindari.

Ketika sedang mengantri menunggu lampu hijau, datang seorang pengamen ke arahku, menuju kaca jendela. rambutnya gondrong, pakaian kucel, kulit hitam legam akibat terlalu lama kena sinar matahari. Seperti kebiasaanku ketika didatangi pengamen. Pura-pura tidak melihat dan tidak ingin menurunkan kaca jendela mobil hingga pengamen itu bosan sendiri mengetuk kaca jendela dan pergi. Pasti dia hanya mau uang dan menyanyi tidak karuan, pikirku.

“Lihatlah negeri kita yang subur dan kaya raya, sawah ladang terhampar luas, samudra biru” sontak aku kaget, lagu yang ia nyanyikan adalah lagu dari band “Marjinal, berjudul negeri ngeri”. Lagu ini juga mengingatkanku pada masa kuliah dulu. Lagu yang sering aku kumandangkan bersama kawan-kawan di sekret, apalagi jika Usman yang menyanyikan lagu ini, dengan stelan kaos hitam polos dibalut kemeja kotak-kotak lengan panjang yang agak sedikit digulung serta seluruh kancingnya terbuka, ditambah lagi celana jeans sobek tepat di lutut dan sepatu boot miliknya, membuat ia layaknya anak punk sejati.

Sebelum Usman bernyanyi, ia tak lupa orasi singkat, katanya itu wajib sebelum menyanyikan lagu ini. Dengan suara lantang, orasi ditutup dengan kalimat khas miliknya, bahkan kami yang sering bersamanya sampai hapal dan ikut mengucapkannya “Indonesia adalah miliki kita yang Tuhan berikan untuk dijaga dan digunakan seperlunya saja, agar kelak anak cucu kita bisa menikmati serpihan surga ini dengan nyata, bukan hanya sebagai dongeng pengantar tidur semata!”.

“Oke terimakasih, semoga kelak anak cucu kita bisa menikmati serpihan surga ini dengan nyata dan bukan hanya sebagai dongeng pengantar tidur semata” seketika lamunanku buyar mendengar perkataan pengamen itu. Aku menoleh untuk melihatnya tapi ternyata ia telah pergi tanpa mengetuk kaca mobilku seperti pengamen biasanya.

Mataku terus mencari pengamen itu, kiri dan kanan jalan ku amati dengan seksama. Diantar sela-sela kendaraan yang memadati jalanan ini, pengamen itu berjalan menuju kendaraan-kendaraan yang berada di belakangku. Entah mimpi apa aku semalam, aku turun dari mobil dan coba menghampiri pengamen itu.

Ku tepuk pundaknya. “Tiit..tiit..tiit!” Bunyi klakson pengendara mulai berhamburan, aku dan pengamen itu pun saling menatap kaget. “Usman?” Kataku refleks.
“Mohon bapak jangan membuat macet lalulintas dengan memarkir mobil ditengah jalan”
“Maaf pak, sebenarnya itu bukan disengaja”
“Kalau begitu bapak kami beri teguran saja, tapi kalau besok-besok bapak lakukan lagi, bapak langsung kami bawa ke kantor”
“Oh iya pak, terimakasih yah, pak” keluar dari pos polisi aku langsung menuju mobil.

Hari yang gila, meninggalkan mobil ditengah jalan saat lampu telah hijau. Usman telah menungguku didalam mobil, kawanku yang sejak lama tidak pernah lagi kutemui.

“Jadi bagaimana kabarmu sekarang pria kantoran?”
“Sudah kita bicaranya nanti saja, sekarang kita cari tempat ngopi dulu” kami pun berkeliling mencari tempat yang pas untuk bisa berbagi cerita, sudah lama kami tidak bertemu ditambah lagi Usman juga merupakan sosok yang menjadi panutanku ketika kuliah. Memang usianya beda setahun denganku, namun sebagai senior ia tidak memperlakukan kami seperti kacung, bahkan ia menganggap kami yang merupakan adik tingkatnya seperti kawan. Baginya senior junior itu bentuk pembagian kelas yang nyata, melihat seseorang bukan dari isi kepalanya melainkan siapa lebih dulu menginjakkan kaki di kampus adalah hal yang tidak bisa ditolerir.

Ia juga sering geleng-geleng saat melihat aktivis kampus yang sok ‘kekirian’ tapi masih suka perintah adik tingkat untuk beli rokok. “Itu kanan berbulu kiri” katanya. Orang yang aneh dan terasing, saat kawan-kawan seangkatannya telah menjadi pimpinan dibeberapa lembaga kampus, ia malah menarik diri. Menurutnya cita kerakyatan tidak dapat diraih dengan jabatan, malah tekanan bertubi-tubi membuat si pemangku jabatan untuk terus kompromi demi nama baik pribadi.

Hanya aku dan beberapa kawan saja yang tahan bergaul dengannya. Buruh, petani, nelayan, kaum marjinal dan orang susah lainnya yang menjadi materi khutbahnya setiap kami kumpul. Kami pula bertahan dengannya karena sosok Usman yang menurut kami pahlawan, selain cerdas ia juga jago debat apalagi berkelahi.

“Minum dulu kopinya Man”
“Iya tapi kopi saja, tidak usah pesan makan”
“Tenang nanti aku bayar”
“Sudah jangan”
“Kita kan baru ketemu, apa salahnya sekali-kali traktir kawan sendiri”
“Kalau mau traktir jangan disini, nanti di warteg saja”
“Lah memangnya kenapa, uangku masih cukup kok”
“Bukan masalah uang, tapi kesejahteraan. Kalau kamu punya uang jangan di tempat kapitalis begini belanjanya. Kita cari warteg saja nanti”

Ku kira sekarang ia telah berubah. Nyatanya haluan kiri yang ia anut telah mendarah daging, bahkan untuk hal sepele ini saja ia selektif. Jadi teringat lagi ketika dulu ia sering dapat nilai eror, bukan karena bodoh tapi malas masuk kelas yang dosennya teoritis dan tidak mau kalah.

“Man kenapa tidak masuk? Diusir lagi yah?”
“Biasa pak Udin, kalo ngajar hanya bisa bahas masa mudanya sambil ngerokok dalam kelas. Pas ditanya tentang ekonomi kerakyatan, eh dia malah plonga-plongo, terus nantang untuk jawab. Eh pas ku jawab malah dia suruh keluar, sebagai mahasiswa yang taat yah aku keluar”
“Kamu berani juga, padahal cukup diam dalam kelas sudah bisa dapat nilai bagus”
“Hahaha santai, semester depan kita sekelas karena aku ngulang”
“Man, ingat juga orangtua susah cari biaya kuliah”
“Lah memangnya kamu lupa, kuliahku ditanggung negara”
“Oh iya, tapi ingat juga negara sampai ngutang demi biayain kuliahmu”
“Mangkanya itu, aku kuliah dengan benar. Coba menumpas para pengajar yang sebenarnya tidak lebih paham dari mahasiswa dan hanya peduli pada gaji ketimbang mencerdaskan mahasiswa. Itulah misi ku demi menolong negara yang telah membiayaiku kuliah”.

Usman memang tidak dapat ditaklukkan perihal debat dan prinsip, karena itu pula ia menjadi terasing seorang diri.

“Pakaianmu bagus juga, sudah punya mobil pula. Memangnya kamu sekarang kerja apa?”
“Oh kerja, sejak tiga tahun terakhir aku kerja di perusahaan tambang”
“Wah kamu mendukung eksploitasi para kapitalis itu yah!” Seluruh pengunjung melihat kearah kami akibat teriakan Usman.
“Tenang dulu Man, tambang golongan C itu hanya…”
“Ah, aku tau. Pasti kamu mau bilang kalau perusahaan tempatmu kerja hanya mengambil nitrat, fosfat, asbes, talk, grafit, pasir kuarsa, kaolin, feldspar, marmer, dan pasir kan”
“Perusahanku juga taat mengeluarkan CSR kok”
“Alah, sudah cukup! CSR hanya milik pejabat daerah bukan rakyat, kamu ternyata sama saja dengan mereka para kapitalis serakah, rela menjual ‘tanah air’ demi uang!”

Seisi ruangan melihat kearah kami dan aku cuma bisa diam, persis sama seperti dulu ketika ia telah berkhutbah.

“Terimakasih atas kopinya kawan dan ingat ini baik-baik. Indonesia adalah miliki kita yang Tuhan berikan untuk dijaga dan digunakan seperlunya saja, agar kelak anak cucu kita bisa menikmati serpihan surga ini dengan nyata, bukan hanya sebagai dongeng pengantar tidur semata!” Katanya seraya pergi meninggalkanku.


Diterbitkan

dalam

,

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *