Cerpen | Balada Mahasiswa Proyek

Pagi hari buta saat ayam jago tengah balas-balasan berkokok seolah adu kokok terkeras, embun mulai mengepul diujung-ujung daun pintu gedung-gedung pencakar langit, mukenah-mukenah putih lalu lalang usai sholat shubuh, kudapati diriku tengah berada di sebuah bus kota pagi meluncur deras menuju sebuah perkampungan di sudut ibu yang katanya kota ini. Butuh dua jam lebih untuk sampai di tempat yang sedang kutuju. Rasa kantuk masih menghampiri, namun mataku terlalu melotot hijau memikirkan pundi-pundi duit yang segera akan kuterima usai menyelesaikan proyek yang di embankan padaku bersama dua orang kawan oleh seorang dosen di jurusanku.

Kami memang mahasiswa yang memiliki prestasi di atas rata-rata, tak heran rasanya jika dosen tersebut sudi mempercayakan proyek seperti ini kepada kami. Satu hal yang telah lama kutunggui selama mencari-cari yang katanya ilmu di kumpulan gedung-gedung bernama kampus.

Berbeda dengan kawan setimku Doni dan Roy, mereka berdua sudah beberapa kali lebih dulu diikutkan dalam proyek-proyek dosen. Dan untuk kali pertama aku turut dilibatkan dalam proyek semacam ini. Kali ini yang kami tangani adalah sebuah proyek dengan budget terbesar di antara proyek-proyek lainnya—sebuah proyek penyusunan amdal—tentu aku sangat senang, ini sama halnya naik tangga ketemu duit loh. Doni dan Roy serta beberapa kakak tingkat di jurusanku seringkali bercerita bahwa dilibatkan dalam proyek-proyek dosen terkhusus penyusunan amdal seperti ini merupakan rejeki nomplok, plok, ploook. Terlebih bagi anak rantau yang harus berjibaku di kosan sempit seperti kami. Hanya perlu melakukan pengujian dan pengukuran terhadap beberapa parameter, menyusun hasilnya dalam sebuah laporan serta tak lupa juga sedikit memanipulasinya agar tampak sesuai keinginan sang dosen. Lalu, hap, haap, haaap… Uang segepok bakal mendarat mulus di dompet levis kecoklatan pemberian ibuku. Sungguh rejeki anak sholeh sepertiku bisa melaksanakan tugas enteng seperti ini.

BACA JUGA : LEGENDA GADIS LUGU

Sudah hampir pukul delapan pagi, namun bus tak kunjung sampai ke tujuan. Padahal kami sengaja berangkat pagi sekali agar bisa kembali pulang sebelum malam hari. Kulihat Doni berdiri dan berjalan menuju ke arah Kernet bus yang sibuk menghisap rokok sambil berdiri menggantungkan tangannya tepat di depan pintu tengah bus. Mereka bercakap-cakap beberapa menit, namun tak bisa kudengarkan karena sedari tadi aku memang tengah mendengarkan musik menggunakan earphone dengan volume hampir penuh.

Karena sedikit penasaran kuputuskan untuk bertanya.

“Kenapa Don?”
“Itu, nanyain ke kernet kok lama banget nyampenya.” muka Doni tampak sedikit suntuk
“Trus?”
“Kata Si Kernet jalurnya dialihkan, jadinya kita muter deh. Lewat jalur sini butuh sejam lagi baru nyampe”
“Sial, emang dialihkan kenapa Don?”
“Biasa Dit, tuh mahasiswa lagi demo gak jelas. Katanya nolak penggusuran”

Ah mengganggu saja, padahal ingin sekali rasanya segera kuselesaikan tugas suci nan mulia ini sembari memikirkan makanan paling mahal juga kopi terbaik di kafe tongkronganku. Tak lupa aku pasti mentraktir beberapa kawan sejurusanku, hal ini juga bak ritual suci nan mulia yang wajib dilaksanakan ketika ada mahasiswa yang diutus untuk mengerjakan proyek-proyek dosen. Ini wajib! Jika saja ingin memperoleh traktiran serupa di kemudian hari. Tentu saja aku tak ingin melewatkan hal demikian. Sebuah traktiran merupakan anugerah luar biasa bagi mahasiswa perantauan sepertiku.

Setelah berjibaku hampir empat jam berada di dalam bus, akhirnya sopir menurunkan kami di jalan masuk kampung karena jalan menuju kampung tak muat jika harus dilewati bus sebesar itu. Cukup sepuluh menit jalan kaki dan kini kami telah sampai di tujuan. Tampak jejeran rumah-rumah semi permanen, beberapa lagi benar-benar sepenuhnya non permanen, sebuah masjid berdiri tepat di tengah kampung dan sawah berukuran seluas dua lapangan bola terhampar menghiasi daerah tersebut. Suasana sedikit lengang, karena mayoritas yang tinggal di kampung ini merupakan petani, pedagang kaki lima di jalur tol dan beberapa lagi merupakan pemulung di sudut kota. Tentu saja jam-jam seperti sekarang merupakan waktu kerja yang sangat sibuk bagi profesi-profesi itu, tutur seorang warga yang hendak ke sawah. Tanpa banyak basa-basi kami langsung saja memulai uji terhadap beberapa parameter yang diperintahkan sang dosen. Tentunya dengan senang hati hal ini kami lakukan. Wong, ada duitnya kok.

Hari mulai sore, para petani dengan peluh di sekujur tubuh mulai berdatangan, tak kalah peluh para pemulung yang sedang merapikan hasil pulungannya juga ikut beradu sementara para pedagang kaki lima belum juga kembali. Aku ingat jika para pedagang di jalur tol biasanya mengemasi daganganya di pukul sepuluh malam. Perkampungan itu mulai ramai terisi tawa dan percakapan-percakapan hangat ala kampung pada umumnya mengisi tiap sudut.

BACA JUGA : JATUHNYA SANG MAHAKUASA


Diterbitkan

dalam

,

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *