Palu Bangkit : Padamu Palu, Ku Titipkan Kisahku

Jembatan kuning boleh saja rubuh,

sepanjang talise boleh saja hancur,

tapi rindu tak berhenti di situ

dan kenangan akan selalu ku bawa..

sampai aku kembali lagi,

padamu Palu, ku titipkan kisahku..

 

Aku tak pernah memilih Palu untuk di tinggali.. bahkan dengan berat hati memilih menyelesaikan kuliahku disini.

Aku tidak pernah cocok dengan udaranya, Airnya, lalulintasnya dan banyak hal yang sangat membuat tidak nyaman.. hingga setahun berlalu, tanpa sadar kisah, cinta dan cerita tumbuh menjadi rindu untuk Palu.

Aku mulai menyukai setiap sudut kota ini, bagiku setiap sudut kota ini adalah kita.. aku mulai  suka jalanan macet Palu dan lampu merah Sigma yang ku lewati sambil berboncengan denganmu , lalu memeluk erat pinggangmu. atau ketika kau memegang erat tangan ku , jam 10 malam saat melewati bundaran STQ yang rawan begal, juga  ketika melewati jembatan kuning, seringkali ku sandarkan kepalaku di Bahumu, tapi  aku  kesal ketika harus melewati perempatan Juanda, sebab seringkali polisi  melakukan swiping untuk menangkap setiap pengendara yang tidak taat berlalulintas, aku terpaksa harus memakai helm dan itu membuat ku tidak leluasa bersandar di bahumu.

Tapi aku takan pernah lupa perjalanan pulang dari Tadulako menuju Lagarutu, tentu saja sebelum itu kita akan berkeliling dulu dari FISIP menuju FKIP lalu perpustakaan , FMIPA dan melintas di depan rektorat, sejenak meneduhkan diri di depan taman Untad, lalu kemudian menyusuri sepanjang jalur dua setelah sebelumnya berhenti di lampu merah depan kampus. Aku menikmati setiap perjalanan itu, terutama saat kau kesal ketika aku memaksamu untuk melewati daerah sepanjang pantai, katamu anginnya terlalu kencang untuk bajuku yang terlalu tipis, lalu ku balas dengan bersandar rapat ke punggugmu… atau ingatkah kau terakir kali kita duduk berdua sambil memandang ke arah donggala, kerlap kerlip lampu di malam hari yang menenangkan tentu saja selalu ku rindukan.. tapi sayang sekali jajanan malam di wali kota, dan suasana malam di perumahan Citra land belum sempat kita lewati bersama.

Baca Juga : Palu di Ujung September | Puisi

Sore itu kau berjanji akan menjemputku sebelum akhinya guncangan besar menghantam Palu, aku tak tau apa yang terjadi yang ku ingat hanya telepon dari mu menanyakan keberadaanku lalu bersikeras akan menjemputku, bodohnya aku menolaknya. semua orang berlarian tak karuan, aku pun berusaha menyelamatkan diri mencari tempat tinggi dan terbuka, jaringan terputus dan aku tak tau kau di mana dan harus kemana.

Sehari berlalu sejak guncangan besar Gempa magnitudo 7.4 dan Tsunami di teluk palu, aku masih tak tau kau di mana, entah bagaimana secara tidak sengaja kita bertemu. aku senang mengetahui kau mencariku sejak malam tadi sampai pagi hingga siang ini sampai akhirnya kita bertemu, padahal kemungkinan kita bertemu hanyalah 1:100 kemungkinan, bagiku itu takdir bagi kita untuk di pertemukan kembali.

Suasana Palu saat itu sangatlah buruk, tapi dengan kau di sisiku setidaknya sanggup menenangkanku. setidaknya saat separuh dari Palu hancur lebur semuanya ku lewati dengan mu, melihat Palu kembali Pulih pun ku lewati dengan mu.. bertahan hidup saat menipisnya bahan makanan, bahan bakar dan persediaan air bersih semua nya terasa muda di lewati asal itu dengan mu, berdua dengan mu sudah cukup bagiku untuk membuatku berpikir bahwa Palu baik baik saja, tapi sayang takdir berkata lain, semua orang juga tau Palu tak memungkinkan untuk di tinggali saat ini, cepat atau lambat, kita harus meninggalkan tempa ini meninggalkan Palu artinya meninggalkan semua kenangan bersama puing puing reruntuhan kota yang berserakan, juga it berarti adalah perpisahan dengan mu. mau tidak mau studi ku harus ku lanjutkan di tempat lain, dan saat nya bagi kita untuk memilih jalan masing masing..

Senin, 1 Oktober 2018, pukul 19:00 ku selesaikan packinganku, waktu itu ku ingat jelas bagaimana tak sepatah katapun kau ucapkan, hanya tanganmu yang memelukku dengan erat, untuk terakirnya aku menangis di pundakmu, entah sebab apa, berat kaki ku melangkah meninggalkan kota ini. tapi bukankah ini yang dai dulu kau mau? pergi menjauh melanjutkan studi di PTN idamanmu?  tidak, bagaimana mungin ku tinggalkan kota ini dengan segala kenangan yang harus ku punguti satu satu di antara puing puing kerinduan yang telah ku bangun bersamamu..

tapi sekali lagi terimakasih Palu untuk semua kenangan itu, cepat pulih dan tetap kuat, hingga aku kembali ,padamu ku titipkan rinduku sebagai alasan untuk pulang.

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya


Diterbitkan

dalam

,

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *