Palu Bangkit : Senjaku Direnggut Oleh Bencana

Sore itu, hari yang sama dengan hari-hari kemarin, tidak ada perbedaan, tidak ada ketakutan, dan tidak ada firasat yang mengatakan bahwa inilah hari terakhirku melihat betapa indahnya Kota Palu. 28 November 2018, pukul 18.02 WITA, ketika orang berlarian, ketika kendaraan berjatuhan, ketika bangunan yang ada di depanku berjatuhan, “Ya Allah, apakah ini yang dinamakan Kiamat ?” ujarku, tidak ada lagi keindahan senja, tidak ada lagi keindahan pantai Talise di Teluk Palu, semua berubah menjadi mencekam, hanya tangisan, hanya ketakutan yang terdengar.

Disinilah aku melihat, harta tidak lagi dipentingkan, materi tidak lagi dipikirkan, mungkin hanya satu pikiran kami waktu itu, “Bagaimana cara kami selamat ?”. Orang-orang sudah tidak saling mengenal, saling menyelamatkan diri masing masing, ku berlari walau tanpa arah, namun hanya satu tujuan yaitu aku harus selamat. Air mataku tak terbendung ketika melihat anak anak terpisah dari orangtuanya, perempuan yang tak lagi memakai busana demi menyelamatkan diri, “oh Tuhan, apa salah kami ? kenapa harus Palu ?” ujarku.

Aku hanya bisa bersimpuh sambil meneteskan air mata, mengingat tuhan, mengingat keluarga, mengingat sahabat, dan mengingat segala dosa yang sudah ku perbuat, “yah, Tuhan tidak marah, Tuhan hanya menunjukkan kita jalan yang lebih baik, tuhan tau bahwa kita, orang orang yang ada dipalu adalah orang orang yang kuat,,” ujarku dalam hati.

Baca Juga : Syukur Dibalik Bencana Palu

10-15 menit setelah gempa, ku menoleh kearah laut, sambil bertanya tanya sendiri “mana senjaku ? secepat itukah senjaku hilang ? mengapa engkau merenggut senjaku ?” tidak berselang lama ketika ku menoleh ke laut, disitulah hal yang pertama kali aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, ketika air menggulung bagaikan tikar ke arah daratan, ketika air bagaikan berdiri di tepi tepi pantai kemdian meluluhlantahkan sebagian dari kota kebanggaan kami, kota sejuta kelor, ibukota Sulawesi Tengah.

Setelah kejadian itu, tidak ada aktivitas, tidak ada senyum dalam raut wajah warga Palu, hanya suara teriakan nama orang yang saling mencari keluarganya, tangisan anak anak yang kelaparan, tangisan ibu ibu yang ketakutan, dan kerinduan akan palu yang kemarin. setelah beberapa hari dari kejadian itu sempat ku berfikir, “masihkah Palu dapat kembali ????”. orang orang sudah berkata “inilah akhir dari Palu”.

Tapi ku yakin Palu tidak sendiri, DUKA PALU, DUKA INDONESIA. Memasuki hari ke-3 sudah begitu banyak bantuan berupa logistik dan materi, yah sekali ku katakan “PALU TIDAK SENDIRI”. Mari masyarakat palu jangan jadi orang yang pesimis, mari kita tunjukkan kepada dunia , bahwa kita bisa bangkit dari keterpurukan, mari buktikan jangan lari dari permasalahan, ambil hikmah dibalik kejadian ini, Tuhan sayang pa torang, Tuhan mau melihat persaudaraan kita, mari jo, kita berpegang tangan, saling membahu untuk membangun kota Palu. SEMUA MENUNGGU PALU YANG BARU DENGAN KEINDAHAN PANTAI DAN SENJANYA.

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *