Hingga akhirnya, pukul 11 malam ia kembali berkumpul bersama kami, dan barulah kami bisa tenang karena anggota keluarga sudah lengkap. Tak peduli seberapa banyak gempa susulan saat itu, yang jelas ayah,ibu,dan kakakku sudah berkumpul bersamaku. Kami tenang berada ditanah lapang yang seketika menjadi tampat pengungsian orang orang masomba (nama pasar) itu. Walaupun kami yang berada disana saat itu, tak ada satupun yang bisa tidur karena gempa susulan yang terus datang.
Aku, Dan Mie Instan
Hari pertama setelah gempa, aku dan keluargaku masih berada ditanah lapang itu, jelas kami masih takut untuk pulang kerumah. Karena gempa susulan terus menggetarkan kota palu beberapa hari.
Hari pertama, kami makan nasi dan roti dari toko omku yang ada di masomba. Hari kedua kami masih memakan nasi, dan lauk seadanya yang dimasak bersama ditanah lapang tersebut. Kami tidak kekurangan beras di tempat itu, sebab mayoritas pengungsi adalah orang orang pasar yang menjual bahan masakan, hanya saja air sangat sulit didapatkan. Walaupun ada yang menjualnya, harganya pasti dinaikkan dua kali lipat, dan mau tidak mau kami harus membelinya karena takut kehausan. Hari ketiga kami pindah kedalam pasar untuk berteduh.
Sore, senin 1 oktober, entah kenapa aku sangat ingin menyeduh mie kuah saat itu, bukan mengidam, tapi aku bosan dengan nasi saat itu. Akupun mengambil sebungkus mie dengan teriak “mbah, aku jalok mie ne siji yoo” , mbahku menyaut “iyo, joko’en le”
langsung saja, keseduh mie dengan air panas yang kebetulan sudah dipanaskan oleh ibuku untuk membuat kopi.
Nikmat rasanya sore itu. Namun bukan lagi karena warna orange dilangitnya, melainkan karena rasa nikmat mie kuah yang baru saja kuseduh tanpa ada gangguan dari gempa susulan. aku berkata dalam hati “sepertinya aku menemukan pengganti senja”, sebab biasanya, disaat senja akan datang, kepalaku mulai mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, namun ketika aku menikmati mie seduh ini, entah kenapa, sejenak ingatan itu hilang dari kepala.
Beberapa hari selanjutnya saat sore tiba, aku selalu menyeduh mie kuah dengan niat menghilangkan takutku pada senja, dan itu selalu berhasil. Tak ada lagi ingatan tentang guncangan dahsyat ketika aku menikmati mie kuah. Mungkin inilah alasan sedeharna kenapa aku berubah dari yang dulu penikmat senja menjadi penikmat mie instan di sore hari .
Baca Juga : Isak Tangis Maghribku
Tinggalkan Balasan