Palu Bangkit : When The City Smiles

Waktu berlalu begitu cepat di hari itu. Hingga larut malam aku baru kembali ke rumah. Berkumpul bersama keluargaku. Menunggu hingga esok paginya, kami tidur depan rumah. Berjaga-jaga. Namun guncangan kecil itu berkali-kali datang. Membuat kami tidur dalam keresahan.

Pagi tiba. Aku membuka mata dan mendapati diriku berada di ruangan yang asing bagiku. Tidak. Itu adalah lapangan yang berada dekat rumahku. Yang telah di pasangi tenda. Menjadi tempat pengungsian kami untuk sesaat. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku mencoba mengangkat tangan, tetapi tubuhku terasa berat sehingga nyaris tak dapat bergerak. Apa yang telah terjadi? Ku ingat kembali. Kilasan gambar berdenyut di benakku: wajah-wajah, gelak tawa yang berubah menjadi isak tangis semalam dan ketakutan bayang-bayang. Oh tidak. Bumi dan lautan sedang menguji kami.

Mendengar kabar bahwa banyak orang yang terluka bahkan ada yang tak dapat selamat dari kejadian itu. Beberapa bangunan di kota telah di luluh lantakkan. Termasuk pusat perbelanjaan yang biasa kudatangi. Taman di pinggiran pantai telah diratakan oleh lautan. Bahkan tempat yang menjadi ikon kota ku ini ialah jembatan yang menggantung begitu megah  telah hancur.

Aku tidak bisa. Aku ingin marah tapi ada takut yang juga ku rasa. Air mata menyerbu di balik mata ku dan meluap bulu mataku yang tertutup. Untuk pertama kalinya aku merasa tak menyukai senja ataupun lautan lagi. Tapi aku tak bisa membencinya.

Sehari, dua hari, seminggu, bahkan dua Minggu setelah kejadian getaran kecil yang menakutkan masih terasa. Kini telah didapati nyawa ribuan orang yang telah dibantai habis. Sedangkan beberapa lainnya yang selamat pergi meninggalkan kota. Lainnya lagi memilih bertahan dengan alasan menjaga tempat tinggal dan menjadi relawan untuk para korban.

Aku berada di tempat yang sama. Melihat sekeliling. Ini bukanlah akhir dari kota ini. Aku percaya ada alasan untuk ini. Meski aku tahu bahwa aku tak dapat lagi melihat senja dengan suasana yang sama. Lautan yang membiru seperti pancaran langit di siang hari. Tidak lagi. “Cepat pulih. Banyak yang ingin ku ceritakan padamu lagi. Dan juga orang-orang yang berada di sekitar mu kini berusaha untuk memulihkanmu, kota ku.”

Aku menunggu. Melihat kembali ketika kota itu tersenyum.

Penulis : Barto

Contact ig : @bharth2311

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *