Sesat Pikir Memahami Opini Seorang Akademisi

Don’t assume, ask.
Be informed.
Don’t jump to conclusion.
Be thorough.
Be accurate.

Saya percaya Bung Didit memahami prinsip dasar berpikir kritis, tapi boong !

Ketika tulisan ini dibuat, sesekali saya coba untuk mengambil jeda dalam memahami polemik yang ada. Sebab kita memiliki kecendrungan yang sama, yakni “bias konfirmasi.” Di samping itu, sebuah judul buku, “The Death of Expertise,” tiba-tiba mampir di pikiran saya. The Death of Expertise atau Matinya kepakaran tidak hanya mengkritik perkembangan kepakaran di Amerika. Akan tetapi, kondisi netter di Indonesia juga kurang lebih memiliki kecendrungan yang sama dengan objek yang dikritisi oleh Tom Nicols (Professor di US Naval War Collage dan Harvard Extension School).

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi (Demokratisasi informasi), setiap orang dengan entengnya dapat memberi tanggapan terhadap situasi dan kondisi di luar sana. Internet menjembatani orang-orang awam, akademisi, dan para profesional lainnya dalam satu panggung yang sama. Ini jelas tidak hanya berpengaruh terhadap tersebarnya pandangan-pandangan yang rasional dan berdasar. Tetapi juga pada hoaks, ujaran kebencian,  hal-hal ngawur dan negatif lainnya. Saya tidak akan berbicara tentang setiap orang dapat mengakses informasi yang sama atau berbeda, akan tetapi, ini lebih kepada terpublikasinya sesat pikir yang ditimbulkan ketika setiap orang, awam atau pakar, memiliki akses beropini atau berargumen terhadap yang lainnya.

Baru-baru ini ada sebuah tulisan yang terpublikasi dalam kolom opini di media lokal. “Kampusku Sayang, Kampusku Malang,” sebuah tulisan oleh seorang akademisi Universitas Tadulako yang berisi refleksi bersama terhadap dua kasus yang berbeda. Namun, masih dalam satu lingkungan asal yang sama: Perguruan tinggi. Memang benar, bahwa beberapa pekan yang lalu KPK memberantas sebuah tindakan korupsi oleh salah satu pimpinan perguruan tinggi di Indonesia. Dan di waktu yang berbeda, juga lokasi yang dimaksud juga berbeda, tentunya, beredar berita tentang kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum mahasiswa.

baca juga gabut-antara-setumpuk-tunda-dan-kosong/

Dalam tulisannya itu, Dr. Ir. Muh. Nur Sangadji, DEA. memberi kita refleksi bersama tentang ironi yang menimpa institusi yang kita yakini sebagai tempat orang-orang terpelajar. Jelas ini menjadi pukulan untuk segenap stakeholder di setiap kampus. Bahwa tidak menutup kemunginan kejahatan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Sedang citra perguruan tinggi itu melekat pada orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, baik itu segenap mahasiswa, dosen dan pejabat-pejabatnya. Walaupun yang melakukan tindakan kejahatan itu hanya satu atau segelintir orang saja dalam populasi. Dalam tulisannya, bapak Dr. Ir. Muh. Nur Sangadji, DEA. juga mengajak setiap kita untuk melangitkan doa-doa bersama, demi perlawanan terhadap hal-hal yang batil.

Bagi sebagain besar orang, tulisan ini tentu dapat menjadi stimulan pada kita untuk senantiasa bekerja sama dan terus berupaya menjaga nama institusi pendidikan agar tidak tercoreng oleh oknum-oknum yang ingin memperkaya diri sendiri atau pun hal-hal yang sifatnya merugikan.

Namun, pada 29 Mei kemarin, hanya berselang dua hari setelah tulisan bapak Dr. Ir. Muh. Nur Sangadji, DEA. dipublikasi, sebuah kritik lahir dari mahasiswa yang mempunyai almamater yang sama dengan beliau. Kritik itu tidak menyoroti objek persoalan yang sama dalam tulisan beliau. Justru kritik itu dilontarkan pada buah pikiran dalam tulisannya.

Dalam sebuah judul yang sensasional, “Mahasiswa Untad Protes Keras Pernyataan Nur Sangadji”, mahasiswa tersebut menyatakan dirinya bersama mahasiswa lainnya akan menagih pertanggung jawaban dari beliau. Terus terang saja, saya tidak paham di mana letak kesalahan dalam tulisan akademisi UNTAD tersebut, sampai-sampai harus dimintai pertanggung jawaban. Bahkan saya telah membacanya secara berulang-ulang. Dan tentu saja, saya tidak termaksud dalam “mahasiswa lainnya” itu.

Dasar yang disampaikan oleh oknum mahasiswa yang mengkritisi tulisan tersebut bukan hanya mengandung tafsir yang salah pada tulisan bapak Nur Sangadji, melainkan juga terkesan menasehati dengan kata-kata “bijaknya”. Dan jelas bahwa salah satu poin yang dituntut mahasiswa tersebut adalah “Mahasiswa di kampus mana dan Rektor di kampus mana.”

Barangkali ini tidak layak disalahkan sepenuhnya. Karena ini hanyalah pertanyaan lugu yang lahir dari kekurangan informasi. Atau bisa jadi memang karena membaca opini yang dikritisi tidak sampai selesai. Kalau pun dibaca sampai selesai, barangkali pemahamannya yang tidak sampai pada konteks tulisan tersebut.

Mari kita masuk ke inti poin yang diangkat oleh mahasiswa tersebut. Dalam tulisannya yang mencantumkan isi kitab suci itu, ia mengutip sepotong tulisan bapak Dr.Ir. Muh. Nur Sangadji, DEA. “Dikampusku terungkap kabar tentang kriminal, ternyata pelaku pencurian selama ini adalah mahasiswa. Satu kelompok. Mereka berkeliaran di banyak tempat. Bahkan, di mushola, dengan pura-pura ikut solat.”

Bagi saya kalimat itu adalah renungan, alih-alih tuduhan jahad! yang tidak berdasar. Jelas bahwa, jika kita sekadar memaknai kalimat itu secara literal (Harafiah) maka konsekuensi logis yang kita dapatkan adalah mencari pembuktian fisik juga.

Barangkali kita perlu melihat lebih jauh lagi ke dalam konteks yang dimaksud. Bahwa setiap orang berkewarganegaraan Indonesia adalah berketuhanan yang maha esa, atau memiliki satu keyakinan dalam dirinya. Dan aktifitas peribadatan hanyalah manifestasi dari agama yang dianut oleh seseorang. Sebagai orang yang beragama, Jika kita tersinggung atau terpukul dengan kalimat yang dipermasalahkan tersebut, maka seharusnya kita sudah mati berkali-kali karena tersinggung.

Di luar sana ada banyak kebatilan yang menyimpang dari nilai-nilai agama. Bahkan agama manapun itu. Entah itu penganiayaan, pembegalan, korupsi, nepotisme, oligarki, kemiskinan struktural, politik dinasti, pelecehan seksual dan masih banyak lagi yang lainnya di luar sana, bahkan di sekitar kita. Dan tidak sedikit dari mereka adalah orang yang dalam KTP-nya “beragama” sama dengan kita. Atau dengan kata lain, aktifitas keagamaannya secara fisik sama dengan kita. Tapi tidak sedikit juga di antara kita yang mulai “terserah” dengan semua itu. Sebagai “Mahasiswa” itu mungkin masalahnya.

kita memang perlu lebih waspada, merefleksi diri, belajar lebih kritis dan senantiasa bermunajad kepada tuhan.

*Tulisan ini pernah dimuat di blog pribadi penulis.


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *