mahasiswa pendidikan sejarah

Mahasiswa Pendidikan Sejarah: Gagal Move On?

Mahasiswa Pendidikan Sejarah

Jurusan Sejarah, baik ilmu murni atau pun pendidikan adalah salah satu dari beberapa jurusan di perguruan tinggi yang jumlah peminatnya cukup untuk dibilang sedikit. Di Universitas Tadulako (Untad) sendiri, jumlah mahasiswa Pendidikan Sejarah untuk angkatan 2017 berjumlah 128 orang. Namun, jumlah yang diklaim cukup banyak itu tidak menjamin keseriusan mereka dalam menekuni bidang Pendidikan Sejarah. Diantara 128 orang itu, maksudnya terbagi menjadi tiga.

Pertama adalah mahasiswa yang betul-betul ingin menekuni bidang Sejarah atau Pendidikan, jumlahnya pun sedikit. Ada dua kemungkinan, yakni tertarik dan memang memiliki kecintaan terhadap sejarah, atau memang kehendak dari luar diri mereka. Yang dimaksud dengan kehendak dari luar adalah dorongan motivasi dari teman-teman atau orang tua, guru bisa juga. Kedua, hanya ingin berkuliah mengikuti arus. Maksudnya, meneruskan kuliah hanya karena kebetulan lolos di jurusan Pendidikan Sejarah sebagai pilihan ke-2 atau ke-3 saat mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Tipe mahasiswa yang satu ini cenderung hanya kuliah ikut-ikutan. Mungkin karena gengsi akan rating Universitas Tadulako, atau memang hanya menjadikan kuliah sekadar sebagai hobi dan pengisi kekosongan waktu pasca lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dan yang terakhir, adalah mereka yang kuliah di jurusan pendidikan sejarah hanya untuk mengisi sisa kuota yang disediakan oleh pihak universitas lalu pindah ke jurusan lain saat masuk semester 3. Praktisnya, menjadikan peluang yang ada sebagai batu loncatan untuk masuk ke jurusan lain. Maklum, masuk kuliah di jurusan favorit memang membutuhkan kerja keras, di samping itu kemujuran sangat diandalkan.
Ketiga hal di atas sudah menjadi rahasia umum bagi saya dan beberapa teman-teman. Untuk mengubah pola pikir mahasiswa tipe kedua dan ketiga, perlu dilakukan penguatan-penguatan mengenai pentingnya belajar, bukan berkuliah. Terkhusus lagi dalam belajar sejarah yang selama ini dianggap ilmu yang tertinggal.

Miris, sejarah dianggap sebagai ilmu yang kuno, kolot, kurang penting, dan membosankan. Bahkan, banyak yang merasa terlalu hina untuk memperkenalkan diri ketika ditanya kuliah di jurusan apa. Hal ini sebenarnya berakar dari sejak kita duduk di bangku SMA. Saat SMA, sebagian besar sekolah menempatkan jadwal mata pelajaran sejarah di waktu-waktu yang kurang efektif untuk menerima materi, seperti di siang hari, yang berimbas pada minat siswa terhadap ilmu Sejarah. Waktu-waktu yang efektif untuk menerima materi selalu diisi dengan mata pelajaran yang dianggap penting. Ingat, bukan semua, sebagian besar. Mulai dari sini saja, kesadaran akan sejarah tidak terpupuk bagus.

Selain itu, konsesi yang tertanam di kepala kita juga mempengaruhi pilihan seseorang untuk menentukan pilihan jurusan. Saat ini, konsesi itu berkata bahwa ilmu-ilmu eksakta lebih unggul daripada ilmu-ilmu sosial atau humaniora, khususnya sejarah. Benarkah demikian? Apakah seseorang harus mengambil jurusan eksakta untuk bisa menjadi pintar dan cerdas? Terus, bagaimana dengan Kuntowijoyo, Sartono Kartodirjo, atau T. Ibrahim Alfian yang merupakan profesor dalam bidang sejarah? Serendah apa pikiran mereka? Menganggap cerdas atau pintarnya seseorang sebaiknya jangan sektarian. Masing-masing dari kita punya porsi sendiri—tergantung bidang apa yang kita tekuni.

Belajar sejarah, bukan menjadikan kita berpikiran kolot dan tertinggal, lebih-lebih dicap gagal move on. Pola pikir seperti ini yang membuat banyak orang menganggap Sejarah kurang penting untuk dipelajari, bahkan dihindari dan dijauhi. Banyak orang takut belajar atau menekuni Sejarah karena selama ini siswa diwajibkan untuk selalu menghafal dan mengingat sesuatu. Sejarah bukan untuk dihafal, melainkan dimengerti. Sependapat dengan kata Tan Malaka, belajar untuk mengingat membuat kita seperti mesin, terlalu mekanis. Kunci untuk belajar sejarah itu sebenarnya hanya membaca, membaca dan membaca. Bukan hanya Sejarah sih, semua disiplin ilmu kuncinya hanya itu.

Kebiasaan menghafal ini merupakan kesalahan dalam mempelajari Sejarah. Lagi-lagi saya sebutkan bahwa faktor ini berasal dari bangku sekolah. Cukup banyak guru Sejarah yang menyuruh siswa mereka untuk menghafal setiap kejadian secara kronologis, tanpa memahami latar belakang penyebab mengapa sebuah peristiwa itu terjadi. Sebenarnya secara kodrati, ini melanggar hakikat pikiran manusia. Manusia diciptakan untuk berpikir, menimbang, merasa, kemudian memutuskan untuk menerima atau menolak informasi yang diperoleh—tentunya disertai informasi yang komparatif. Jika menghafal saja, manusia tidak akan memiliki kepribadian yang kuat.
Akhirnya, stigma miring tentang pembelajaran sejarah adalah kenaifan dalam ilmu pengetahuan dewasa ini. Belajar sejarah sebenarnya tak seburuk pemikiran banyak orang, apalagi sekuno materi sejarah. La Historia Me Absolvera..

 

Baca Juga :

 

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

 


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *