Palu Bangkit : Trauma Penikmat Senja

Jika di ibaratkan makanan, langit dan angin adalah dua bumbu utama bagi penikmat senja. langit sebagai cabai, dan angin sebagai garam.., sedangkan warna orange, burung-burung, atau mungkin layang-layang yang biasanya ada di langit senja adalah nasi dan lauk untuk dinikmati. Yaah., tak selalu sama,setiap orang punya alasan masing masing untuk menyukai senja.

Sudah hampir sebulan rasanya, ketika senja kala itu menjadi senja paling pahit untuk dinikmati. Senja yang mungkin adalah senja terakhir yang akan ku nikmati dalam hidup. Bagaimana tidak, saat ini, disaat senja tiba bukan lagi keindahan yang terlintas di benak, melainkan sebuah waktu untuk panik dan siaga dari sebuah guncangan dahsyat, sebuah waktu yang mengingatkan pada kejadian yang menakutkan itu, saat pikiran semua orang menjadi kacau memikirkan banyak hal mulai dari “ya ampun, rumahku hancur’’, ‘’ya tuhan, anakku dimana?’’, “astaga, mobilku”, “ya ampun, istriku” dan lain lain. Kini, senja menjadi waktu yang ku takuti.

Benar, trauma masih menjadi kata yang tepat untukku saat ini., jangankan sebuah getaran, terkadang jika ada seekor kucing berjalan di atas atap seng rumah, atau suara mesin mobil tetangga yang lumayan keras, otakku langsung merespon dengan pikiran “aduh! tamat sudah kali ini, apakah ini gempa susulan?”.

Tulisan ini tidak terlalu banyak menceritakan kejadian pada saat gempa menggetarkan kota sore itu, melainkan lebih menceritakan tentang bagaimana proses perubahan dari seorang penikmat senja menjadi penikmat mie instan. tentang trauma yang membuat suatu perubahan kebiasaan. Mungkin kalian bertanya ”Lah? Kok mie instan?”.

Langit Orange, Di Depan Teras Rumah

Pada jum’at, 28 september lalu adalah hari melelahkan penuh kegiatan. Di pagi harinya, aku mengikuti kegiatan kuliah tamu bersama teman dan senior program studiku, pagi itu adalah pagi penuh semangat, penuh gelak tawa teman teman, penuh senyum manis dari senior senior yang hendak memasuki gedung untuk mengikuti kuliah tamu.

Pada awal presentase dimulai semua mahasiswa mendengarkan dengan baik, namun saat memasuki ¾ dari waktu materi sebagian besar teman dan seniorpun mulai menguap, entah menular atau apa, pada saat itu juga aku ikut menguap namun telingaku masih sangat tajam mendengarkan materi. Pada akhir materi, dari 10 penanya yang diberi kesempatan aku menjadi salah satu penanya, walaupun jawaban dari bapak penyaji materi itu sangat tidak berkaitan dengan pertanyaanku, dan kami tidak diberi kesempatan untuk menyanggah. Tapi ya sudahlah ”ngantuk banget” ujarku dalam hati .

Baca Juga : When The City Smiles

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *