Palu Bangkit : Suara Senjaku

Suara Senjaku

“Ibu…” teriaknya
“Ibu, tolong aku…”
“Aku takut,” tuturnya sambil terisak

“IBU”
—–
Air mata tak lagi menjadi simbol duka.

28 September 2018
-Petobo-

Senja di sore itu tak tampak beda dengan hari-hari sebelumnya. Kendaraan berlalu lalang di depan rumah, beberapa anak berlarian menuju ke musolah.
“Ibu mau kemana?”
“Mau ke toko sebentar, Iki tunggu sini ya, ayahkan sebentar lagi pulang, ibu beli lauk untuk sebentar” aku tersenyum simpul
Ia masih menahan tanganku “Ibu ndak usah pergi, beli mie saja di warung” bujuknya
Iki memang manja untuk anak berusia 10, maklum ia tak punya saudara yang menemani hari-harinya.
Ku belai wajahnya “Iki disini dulu ya, nanti ibu belikan es krim, oke, ndak lama kok. Iki kan anak berani” janjiku sambil menyimpulkan seutas senyum.
Wajahnya cemberut, dengan berat hati ia melepaskan tanganku.

Ku ambil motorku, bersiap pergi ke warung penjual lauk langganan, yang tempatnya memakan 20 menit dari rumah
“ibu pergi ya” sahutku

Baca Juga : Trauma Penikmat Senja

“Iki mana bu? Tumben ndak ikut?” tanya mbak Enda, penjual langgananku
“Tunggu papanya mau pulang dari Jakarta” jawabku
“Oalah, seneng pasti yo, sudah mau ketemu papanya, ibunya juga yo mesti seneng” mbak Enda menggoda
Aku tersenyum.
Sudah seminggu Arya meninggalkanku berdua bersama Iki karena urusan pekerjaannya, hari ini Iki begitu bahagia, mendengar Ayahnya akan membawakannya oleh-oleh dari Jakarta.
“Makasih mbak Enda, mari” pamitku.
Ku gantung belanjaan di setir motor. Magrib hampir tiba, langit mulai menggelap, entahlah hanya perasaanku atau suasana begitu hening saat ini

Ku tancap gas motorku, setengah perjalanan menuju rumah, aku teringat pada Iki
“Es krimnya Iki” batinku
Ku putuskan untuk menyandarkan motorku di depan warung terdekat. Tiba-tiba tanah mulai memberontak, bumi bergetar,
“Allahuakbar, Allahuakbar!” seru seseorang.
aku melihatnya, tanah yang kupijak merekah,
“Darah Yesus!” salah seorang wanita paruh baya berteriak melihat rumah di belakangnya ambruk bersama tanah
“Lari Bu!! LARI!” suara seseorang menyadarkanku,
“IKI” air mataku jatuh ,
Aku berlari menuju rumahku,
“Astagfirulahaladzim!”
“Allahuakbar!”

Kepanikan menyeruak dimana, orang-orang berlari mencoba menyelamatkan orang yang mereka sayangi. Aku berlari, bumi masih berguncang, detik berikutnya tanah menuju jalan arah rumahku merekah dan hilang di telan bumi, satu per satu rumah jatuh, tanah mulai bergerak menjauhi kami dan saling bersahutan. Aku melihatnya di depan mataku, ketika alam tak memandang kasih, menelan orang-orang tak bersalah,

“IKI!!!” aku berteriak histeris,
“Pergi dari sini ibu!” tanganku ditarik oleh orang yang tak ku kenali
Aku meronta, menangis sejadi-jadinya
“Iki masih disana!”
“Tolong pak! Anakku masih disana!!” dadaku sesak, air mataku tak berhenti mengalir
Aku tidak di gubrisnya, aku berlari menahan beberapa orang berharap pertolongan mereka
“Tolong… Tolong Anakku”
“Anakku”
“IKI…”

Aku kesana kemari mencari pertolongan di tengah amukan, namun tak ada, seberapapun kerasnya aku meminta, seberapapun tulusnya aku memohon, seberapapun rendahnya kujatuhkan ragaku tak ada yang mau menolongku.
“Iki” seruku lara
beberapa menit kemudian, aku tak merasakan apa-apa, air mataku berhenti.

Teriakan seseorang membangunkanku,
“Ayah..”
“Ibu..”
“Adik…
“Kakak…
Tangisan, seruan, airmata pilu, aku melihat sekitar
“Ya Tuhan” batinku
Tak ada lagi bangunan yang tersisa, tidak, tak ada lagi yang tersisa. aku melihat ratusan orang dalam gelap,

Air mataku terjatuh
“Iki” aku kembali menangis sejadi-jadinya. Malam itu aku hendak mengutuki langit, mengapa bintang masih bisa bersinar terang di tengah ratapan dan air mata.

Aku mengutuk diriku sendiri
“Ibu yang bodoh! Harusnya aku membawanya! Aku bodoh! Aku bodoh”
Aku terus melakukannya hingga tak ada lagi siara dari isak tangisku

“Ibu Yumi?” suara seorang wanita diikuti tangan yang menyentuh pundakku,
Tanpa aba-aba ia langsung memelukku
“Ya, Allah… Alhamdulilah ibu selamat” dia menangis tersedu-sedu
Sedetik aku mencoba mengenali wajahnya di tengah gelap malam
“Mba Enda?”
“Ya Allah bu, anakku yang bungsu masih di tempat ngaji, yang satunya izin mau ke Palu Nomoni, ya Allah…. Astagfirullahaladzim, tinggal mereka yang saya punya, ya Allah”

Aku terdiam seribu kata, aku bahkan tidak berani untuk menguatkannya dan berkata “berdoa saja mbak Enda”. Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini.

Berkas cahaya membelai wajahku, pelan-pelan aku mengerjap, mencari tau apa yang terjadi. Aku berharap aku telah tersadar dari mimpi burukku semalam
” Yumi…” ucap suara parau seorang lelaki
Perlu beberapa menit bagiku untuk mencerna semuanya. Aku melihatnya, ia menggenggam tanganku. Air mataku menetes haru
“Arya” ucapku payah
“Mana Iki? Tadi malam aku mendapat mimpi kalau aku kehilangan Iki, tapi dia ada disini kan?”
Wajah Arya tak lagi terlihat tampan, begitu banyak kerut pilu di bawah matanya,
Ia tersenyum “Aku senang kamu baik-baik saja”
“Iki dimana? Kau sudah mengantarnya ke sekolah?”
“Kamu istirahat dulu, kamu pasti capek” ungkapnya sambil membelai kepalaku
Dia menyodorkanku air mineral dan sepotong roti. Aku memakannya, ku bagi sepotong untuk menyuapinya
“Kamu kapan tiba Pa?”
“Tadi malam,” ucapnya singkat

Aku mengingatnya, aku tak dirumah, ini bukan tempatku, ini semua nyata, Iki, Iki, Iki. Tanganku gemetar aku tak dapat berkata-kata, mulutku hanya bisa mengeluarkan seruan, air mataku tak lagi jatuh karena duka. Arya mendekapku,
“IKI Arya, Iki Ya! Iki..”

Baca Juga : Apakah Saya Trauma ?

“Ibu,”
“Ibu..,”
Ini tidak nyata, ini tak mungkin nyata. Dia disini, dengan lesung pipit pada senyumnya
“Iki”
Aku berlari lalu memeluknya
“Ibu, aku disini. Kenapa ibu tidak pulang”
Air mata kembali menghias wajahku
“Ibu minta maaf, Iki sekarang dimana? Ibu merindukan Iki”
Ia tersenyum
“Iki baik-baik saja ibu, ibu jangan menangis”
Aku mencoba menyentuh pipinya tetapi hanya ada ruang hampa
“IKI!”

Semuanya larut dalam realita. Sudah dua hari pasca gempa dan tsunami di tanah kaili. Tak ada kabar maupun tanda dari anak semata wayangku. Perumnas tempat tinggalku sudah tak lagi ada di kulit bumi.
“Dia masih hidup” batinku
Aku yakin dia hadir di mimpiku karena sebuah petunjuk. Ia pasti lari dan berhasil menyelamatkan diri, atau ada orang baik yang menolongnya.

“Iki masih ada Ya, ia hadir di mimpiku”
Arya membelai pipiku lalu tersenyum
“Kita serahkan semuanya sama yang diatas, aku pasti mengerahkan semua tenagaku untuk mencarinya.”
Wajah Arya sudah tak sama seperti sediakala, bola matanya menunjukan semuanya. Sudah 2 hari ia ikut dengan tim evakuasi di daerah yang kami tinggali.
Aku tak mau kembali membebankan pikirannya lagi, ia sudah cukup lelah, ia juga sangat terluka.
“Aku pergi ya, kamu jangan lupa makan lalu istirahat, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, tinggal kau yang kumiliki saat ini” aku mengambil tangannya
Lalu ia meninggalkanku di tenda pengungsian bersama ratusan kepala lainnya.

Suasana haru melukis suasana di rumah kami. Aku masih terlalu bodoh untuk memahaminya kala itu
“Bu, itu siapa?”
Pria paruh baya itu tersenyum, lalu menyentuh kepalaku
“Anak yang baik”
Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya, begitu banyak air mata dan nyanyian duka. Aku melihat wajah ibu, ia begitu gugup dan ketakutan,
“Apa kau percaya?” tanya pria itu pada ibuku.
Ibuku mengangguk “ya, aku percaya”
Sedetik berikutnya ia membaca doa pengantar mantra. Matanya tertutup, sedetik kemudian terbuka
“Yani,” sapa suara itu
Aku sempat terheran-heran, itu bukan suara pria, itu suara nenek!

“Aku harus pergi” batinku
Iki pasti membutuhkanku, aku pergi mencari tumpangan, orang itu, dia pasti bisa menolongku mencari Iki. Ku coba segala cara agar bisa meminjam motor dari tim relawan di posko pengungsianku, dengan wacana akan menemui kedua orangtua.
“Semoga dia masih ada” gumamku, lalu pergi memberanikan diri.
Ya Tuhan. Betapa besar cobaan ini, ini bukan sekedar cerita pengantar legenda. Sepanjang jalan retakan dimana-mana, bangunan tak lagi mengikat kokoh pada tanah. Butuh dua jam bagiku untuk menemukannya. Ia masih ada, bahkan rumah bata miliknya masih berdiri utuh diatas tanah. Ia terlihat baik, bahkan tanpa luka.
Aku mengambil tangannya,
“Puji bagi Dia kau selamat, bagaimana keluargamu?” tanya wajah dengan berjuta garis yang menghiasinya. Ku simpulkan senyumku
“Arya selamat mbah, tapi Iki masih belum ada kabarnya”
Ia menatap mataku, berjuta peristiwa seakan terlukis dari tatapannya, warna putih kelam rambutnya melambangkan kematian yang sudah sering dilihatnya.

“Kau bukan orang yang percaya sebelumnya. Aku ingat kau begitu ketakutan melihatku waktu itu.” ia terkekeh
“Banyak hal yang tidak kupercaya, menjadi realita dalam hidupku. Sekarang semua hal tak lagi sama di mataku.”
“Ia masih ada, aku menggapainya malam itu. Dia baik-baik saja. Iki pasti masih ada”
Ia maju beberapa langkah, lalu menengadah ke atas
“Taukah kau, terkadang realita tak seindah apa yang kita kira. Hal yang kau lihat nyata bisa saja hanya fatamorgana”
Aku menjatuhkan diriku, aku bersujud di depannya
“Aku mohon, hanya mbah yang bisa membantu saya saat ini” aku meringis
“Bukan aku, tetapi yang ilahi. Aku hanya perantara” ucapnya
“Kau harus belajar rela Yumi,”
Ia memegang kepalaku lalu beranjak dari tempat itu.
Aku menangis tersedu.

Aku termenung, mengapa langit tampak begitu cerah, seakan musibah yang pernah terjadi hanyalah isapan jempol belaka
“Apa yang sedang Iki lakukan saat ini” gumamku
Di tengah keramaian ini, aku merasa begitu sepi dan mati.
“Bu Yumi” sapa seseorang
“Mbak Enda”
Ia tersenyum lalu duduk tepat disampingku. Ia bertanya keadaanku dan Arya, namun aku hanya membisu
“Aku sudah ikhlas. Aku melepas mereka agar mereka bisa tenang disana,” ia menengadahkan kepalanya ke langit
“Aku sangat sayang dengan mereka, tapi Gusti Allah lebih sayang, Gusti punya rencana yang lebih indah setelah ini”
Aku melihat wajahnya, tak ada lagi penyesalan dari pandangannya, ia terlihat begitu tenang sekarang
“Tuhan punya rencana yang indah bu Yumi, memang kadang diluar akal sehat manusia, tapi ia pasti merencenakan sesuatu yang indah pada waktunya”
Ia tersenyum lalu memgang kedua tanganku. Titik putih kembali terjatuh dari mataku.

“Aku sudah rela” ucapku
Ia tersenyum, dan memegang kedua tanganku
“Apa kau yakin?”
Aku mengangguk
Ia lalu duduk disana, tepat dimana semua kenangan indah kubangun, di atas gumpalan tanah perumnas yang telah tiada.

Baca Juga : Tragedi Kelam | Puisi

Bulan menampakkan cahayanya,
Ia mulai berkomat-kamit membaca doa dan mantra.
Aku dapat merasakannya dengan jelas. Suasana pilu dan nestapa, tangisan dan seruan, suara-suara memanggil dari bawah sana. Sedetik kemudian semuanya hening. Doa dan mantra sudah selesai diucap, raut wajahnya mulai berubah, ia terlihat begitu ketakutan
“Ibu,”
Itu suaranya, itu dia, itu anakku
“Iki” jawabku haru
“Ibu, tolong aku,” ia mulai menangis
“Aku takut”
Aku mendekat dan memeluknya,
“Maafkan ibu Iki, maafkan ibu,” pilu kembali menguasaiku
Ia membelai kepalaku
“Tak apa bu, ini bukan salah ibu,” Ia tersenyum
“Ibu jangan menangis lagi ya, ibu jaga ayah baik-baik, Iki sayang kalian berdua”
“Kau dimana Iki? Kau dimana? Ibu akan mencarimu nak”
Rautnya berubah, seakan pertanyaan itu adalah hal yang ia takutkan

“Ibu tidak perlu mencariku, begitu juga ayah, aku berada jauh sekali dibawah sana, disini gelap dan dingin,” ia terdiam beberapa saat. Rautnya menunjukkan ketakutan yang sangat dalam.
“Tapi ibu tak usah khawatir, Iki anak yang berani. Ibu baik-baik ya, jaga kesehatan, jaga ayah baik- baik. Ibu jangan sedih lagi, supaya Iki bisa pergi”
Aku terisak, mencoba menyudahi tangisanku, lalu menyimpulkan senyumku
“Ibu dan Ayah sayang Iki, Iki jangan bersedih, Iki boleh pergi, kalau Iki ketemu nenek sampaikan salam dari Ibu dan ayah” aku tersenyum dan mengelus kepalanya
Ia tersenyum
“Iki pergi ya”
Sekilas aku melihatnya, ia tersenyum dan melambai padaku.

AnakUntad.com adalah media warga. Setiap warga kampus Untad bebas menulis dan menerbitkan tulisannya. Tanggung jawab tulisan menjadi tanggung jawab penulisnya

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *